3

32 7 0
                                    

Indrayana Basudewa—kakak kelas yang perhatiannya begitu luar bisa terhadapku. Hari ini ... sekitar enam tahun yang lalu, Bang Indra, begitu aku memanggilnya, berpamitan ingin mengejar mimpi menjadi seorang tentara. Lulus sekolah menengah atas bersama Bang Tama lalu mendaftar tentara di kota orang. Mereka berdua lolos. Aku juga ikut ketika Bang Tama dilantik, namun aku tidak melihat Bang Indra bersama Bang Tama.

Singkat cerita, Bang Indra memintaku menunggunya. Suatu saat ketika dia sudah memakai seragam loreng lengkap, dia akan menjemputku. Membawaku membangun mahligai lebih serius. Andai dia tahu, sampai sekarang betapa aku setia menunggu dia menjemput.

Selama menempuh pendidikan di bangku kuliah, tak sekali pun aku menerima kedekatan dengan laki-laki yang menginginkanku. Semua kulakukan demi Bang Indra. Sampai pada hari ini ... aku pun berhasil meraih mimpi menjadi pegawai negeri, tak kunjung datang sekadar bayangnya di depan mataku.

Bersusah payah aku mencari tahu tentangnya, sampai kudapatkan informasi dari orang tuanya yang waktu itu masih berhubungan baik dengan orang tuaku. Orang tuanya pindah rumah secara tiba-tiba ketika aku masih mengenyam bangku kuliah.

Melalui telepon selular, orang tuanya mengatakan bahwa Bang Indra dinas di tempat yang sama dengan Bang Tama. Aku bersikeras meronta-ronta pada orang tuaku agar diberi izin merantau ke kota tempat Bang Tama dinas.

Tuhan memihakku, saat ini aku berada di Kota Bontang. Kota teduh nan nyaman yang bebas dari macet. Aku bahagia, harapan itu pasti ada. Harapan menemukan yang pernah menghilang tanpa kabar.

"Heh, ngelamun! Kapan selesainya motong wortel, yang ada malah jarimu terpotong," tegur Mbak Tanti.

Benar, aku tenggelam dalam lamunan. Posisiku berdiri menghadap ke jendela dapur. Rumah dinas ini begitu menarik, di dapurnya terdapat jendela lumayan besar dengan pintu menuju ke garasi.

"Eh, Mbak, tetangga depan itu pangkatnya apa?"

Pertanyaanku membuat Mbak Tanti yang sedang duduk meleseh memotong bawang langsung mendongak ke arahku. Raut wajahnya begitu kaget.

"Kamu lihat apa di rumah seberang?"

"Nggak ada, aku cuma lihat Mbak Amel, itu baru pulang bawa keranjang jualan yang tadi. Kenapa kaget gitu, sih?"

"Oh, aku kira kamu lihat suaminya Mbak Amel."

"Memangnya suami Mbak Amel kenapa? Ngeri?"

"Jelek, kayak hantu, Dek."

"Ah, masa? Suaminya ke mana, Mbak? Rumahnya sepi gitu, cuma ada Mbak Amel kulihat."

"Suaminya itu suka pergi."

"Ke mana? Pergi tugas maksudnya?"

"Ya nggak tau, udah ah, ngapain sih nanya-nanya rumah tangga orang," jawab Mbak Tanti agak kesal. Aku masih penasaran, setahuku, penghasilan tentara itu lumayan kalau hanya untuk makan, tapi kenapa Mbak Amel sampai rela berjualan nasi bungkus di pasar?

"Aku salut aja sama Mbak Amel. Subuh-subuh sudah bungkusi nasi. Jalan kaki ke pasar bawa keranjang jualan, terus pulang ke asrama jalan kaki lagi. Suaminya kenapa nggak antar istrinya, Mbak?"

"Dek, sudah ya, itu rumah tangga orang. Mbak yang tetangganya aja, nggak pernah kepo kayak kamu."

"Tapi kan dia letingnya Mbak Tanti, masa sama leting nggak perhatian?"

"Ya perhatian, Dek, cuma kalau urusan rumah tangga sudah urusan masing-masing. Udah ah, lanjutin itu potong-potongnya."

Haha ... iya juga, kenapa aku begitu ingin tahu urusan tetangga depan? Bahkan aku tidak mengenal sama sekali siapa Mbak Amel, hanya sebatas nama saja.

SPASI TANPA JEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang