13 (Ending)

43 6 3
                                        

Ada yang dekat tapi didorong menjauh. Ada yang jauh bahkan tak saling mengetahui justru selalu berada di sisi, paling terdahulu. Kita ini lucu, rela meminta-meminta pada sesuatu yang dipercaya atas praduga sendiri.

Hingga nanti ketika jawaban sudah diberi, justru mengeluh karena kembali berakhir pilu. Padahal dulu, sempat jadi manusia pertama yang berteriak mengelu-elukan. Kita ini lucu, rela jatuh untuk seuatu yang belum tentu utuh.

Lalu beramai-ramai berteriak menjadi korban atas satu sama lain. Meskipun tahu, jika sejak awal ada rasa yang lebih banyak dimiliki salah satu. Maka kesempatan untuk sakit dengan terlalu, tidak akan dimiliki keduanya. Kita ini lucu, sibuk mengeluh dan berseru tak'kan lagi jatuh tapi semenit kemudian tertarik pada sesuatu yang sanggup mengalihkan.

Atau mungkin ini memang cara semesta untuk berikan kabar bahwa kita belum benar-benar usai dengan apa yang dianggap selesai.

Menarik napas panjang kali ini tidak melegakan. Detik ini, satu jam yang lalu, aku masih berdiri menghadap jendela memandang ke seberang sana. Jemariku mengaduk teh selama satu jam, tapi hati sibuk bermain tebak-tebakan yang tak kunjung mendapat jawaban pasti. Dari dapur rumah Bang Tama, mataku terus menatap aktivitas dua sejoli di dapur rumah seberang. Hebat, bukan? Dua sejoli ....

Aku tidak tahu, dua sejoli di seberang sana paham keberadaanku di sini atau mereka sengaja pura-pura tidak melihat keberadaanku. Seharusnya, jika aku cerdas, buat apa aku berdiri menatap dua sejoli yang sudah rujuk itu, menghabiskan daya menguras emosi. Tetapi sungguh, untuk beranjak saja aku tak sanggup. Jika boleh kuberi tahu, wahai semesta, aku berdiri di sini sama sekali tidak merasakan sakit atas kemesraan dua sejoli di seberang sana. Sama sekali tidak ada sakitnya, dan memang sudah tidak sakit. Bahkan dua sejoli itu berciuman di depanku saja, aku tidak apa-apa. Perih juga tidak. Sekali lagi tidak ada sakit, tidak ada perih, tapi aku ... merasa sepi. Tepatnya kesepian. Ada sesuatu yang hilang. Apa, ya? Aku juga tidak tahu. Apa aku kehilangan Bang Indra? Atau Pak Deni? Kurasa bukan.

**

Tanggal merah bagi pegawai sepertiku seharusnya menjadi tanggal yang dinanti untuk bermalas-malasan. Glibak-glibuk di atas kasur sendirian dari tadi, tidak tahu harus apa. Sarapan sudah aku siapkan di meja makan. Mandi, memakai parfum kesukaan, merias wajah tipis-tipis sampai cantikku tumpah-tumpah juga sudah. Sepi ... aku merasa sepi.

Aku beranjak keluar kamar berharap Mbak Tanti memberiku tugas di dapur atau apalah. Kulihat Mbak Tanti malah sibuk menulis-nulis semacam laporan di ruang tamu.

"Mbak, sibuk apa, sih?" tanyaku. Aku duduk di sebelah Mbak Tanti memegang-megang buku tulis tebal bersampul hijau pupus.

"Ini laporan bulanan, Dek. Mbak kan pengurus PERSIT jadi, ya, ada kewajiban nulis laporan. Nanti kalau kamu nikah sama tentara, begini ini kerjaannya. Harus ikhlas, bikin begini nggak ada gajinya."

"Ohh gitu." Anggaplah angin lalu, lagi pula kapan juga aku nikah. "Abang ke mana, Mbak? Rumah sepi amat, Dio juga nggak ada. Pada ke mana?"

"Abang ke peleton, Dio main sepeda."

"Peleton itu apa? Lah, ini kan tanggal merah, masa tentara nggak libur?"

"Abdi negara itu nggak peduli tanggal merah atau hitam, namanya tugas, ya, harus dilaksanakan. Susul aja Abang ke peleton, paling dia sendirian di sana. Persiapan latihan di luar satuan."

"Emang boleh aku nyusul ke peleton?"

"Ya, boleh. Taggal merah juga, pasti di sana sepi. Sana jalan-jalan aja ke lapangan tembak habis itu mampir peleton naik sepeda. Sekalian bawakan kue, ya, untuk Abang. Tuh kuenya ada di meja."

SPASI TANPA JEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang