Di bawah temaram lampu bumi, kutuliskan sebuah kisah baru. Tentang dia yang telah meninggalkan; sengaja meninggalkan lalu kembali untuk pergi lagi. Aku tidak tahu pantas kusebut apa? Aku berada di pihak yang paling menyakitkan atau justru dia yang mungkin pernah tersakiti olehku hingga akhirnya memilih pergi?
Tidak ada alasan kuat mendukung kepergiannya, tapi faktanya seperti itu. Kini kisah lama itu telah usang. Biarlah hilang tersapu angin bersama debu-debu tiada guna. Aku masih perih, sangat menyakitkan, aku tidak munafik, sedikit cinta itu masih ada. Sedikit saja. Hhhfftt ... harus aku buang. Aku harus terbiasa melupakannya, harus bisa.
Robi ....
Ah, tiba-tiba saja nama itu mengganggu. Tapi ke mana dia? Dia berjanji siang tadi akan datang makan bersama, namun sampai malam ini tidak ada juga raganya muncul. Ada rasa ingin bertanya dengan Bang Tama, tapi aku malu. Sudah pasti Bang Tama akan mengejek.
Akan tetapi ... sungguh, aku khawatir dengan Robi. Aku takut masih terjadi sesuatu padanya. Bukan ... bukan sebab aku telah membuka hati untuknya, melainkan aku tidak ingin seseorang yang tidak tahu apa-apa malah terjerumus ke lubang pesakitan sepertiku.
Suara motor terdengar berhenti depan rumah. Langsung saja kuintip dari jendela. Itu dia! Entah apa sebutanku kali ini, aku mengaku semringah melihat kedatangan Robi. Aku segara keluar rumah, Robi menyambutku penuh senyum. Ini Robi, benar Robi, bukan Robi yang berbeda seperti pagi tadi.
"Kenapa baru datang?" tegurku.
"Akhirnya ngaku juga kalau lagi kangen."
"Siapa yang kangen?"
"Lah, ngapain nunggu aku?"
"Katanya mau makan siang di sini, nyatanya nggak ada!"
Robi tersenyum, mengusap wajahnya dengan tangan, lebam itu semakin terlihat. Dasar ulah Bang Tama!
"Bang Tama mana?" tanyanya.
"Ada di kamar. Kenapa?"
"Mau minta izin ajak kamu keluar."
"Aku lagi nggak pengen keluar, di sini aja, ya." Aku menunjuk kursi teras, mengajak Robi duduk di situ. Dia mengangguk.
"Kamu nggak 'papa kalau duduk di sini?"
"Memangnya kenapa?" Aku paham maksud Robi. Tanpa sadar aku menoleh ke samping, memandang rumah dinas di seberang sana. Terlihat sepi seperti tak berpenghuni.
Tangan Robi memegang pipiku seraya memutar wajahku agar memandang ke arahnya. "Jangan lagi melihat ke samping, supaya nggak jatuh di tempat yang sama, lebih baik lihat ke depan. Aku tau rasanya sakit, tapi kamu jangan egois. Dirimu sendiri butuh dihargai. Memang nggak semudah itu melupakan seseorang yang kita cintai, apalagi kamu sering menyebut cintamu ini begitu tulus. Berlatihlah menghargai dirimu sendiri, berdamai dengan hati. Kalau logika memaksamu mengingat dia lagi, kamu harus perbaiki hati, bukan logika. Jangan biarkan ada spasi tanpa jeda. Lelah, ya, istirahat, tapi tidak untuk berhenti di tempat. Membiarkan celah sakit itu kembali mengusik, sama aja kamu egois. Membiarkan diri sendiri dibunuh rasa sakit."
Aku menunduk. Tepatnya ingin mewek lagi. Sekilas tebersit kenangan tentang dia yang pernah kucintai, namun lebih banyak terharu oleh kalimat Robi. Apa dia memiliki sayap di belakang punggungnya? Barangkali Robi jelmaan malaikat sampai dia bisa merangkai kalimat seindah itu.
"Udah, nggak usah nangis lagi." Robi mengeluarkan dua bungkus gulali. Gulali yang tadi pagi basah dan lusuh. "Udah nggak pantas aku beri ke kamu. Basah ikut masuk ke kolam. Aku ngajak kamu keluar malam ini mau gantikan gulali yang rusak. Kamu malah maunya di sini."
"Ya ampun, lagian buat apa gulali itu masih disimpan?"
"Aku sudah bilang, ke mana-mana bawa gulali seperti ada kamu di sampingku."
Gombal aja terus!
"Abang sudah makan?"
Robi menggeleng. "Gajian masih lama, ya?"
"Kenapa nanya gitu?"
"Uangku di dompet sisa lima puluh ribu."
"Uang tinggal segitu mau ajak aku jalan?"
"Bagiku kebahagiaan sumbernya bukan dari uang."
"Terus kenapa ngeluh isi dompet sisa lima puluh ribu?"
"Nggak ngeluh, aku cuma ngetes. Dengan materi yang sedikit itu apa kamu masih mau jalan sama aku."
Aku menarik napas panjang. Tidak tahu harus berbuat apa menghadapi seribu gombalan seorang Robi. Tiba-tiba saja mataku memicing melihat luka lebam di wajah Robi. Kudekap wajahnya dengan kedua tanganku.
"Tunggu di sini!" kataku seambil melompat dari kursi. Aku ingin mengambil sebaskom air hangat dan handuk lembut di dalam.
"Eh, mau ke mana?"
Tak kuhiraukan. Aku tetap masuk ke dalam rumah. Aku ingin mengompres wajah lebam Robi. Biarlah langit saksinya betapa aku berusaha melupakan pesakitan itu. Mungkin raga Robi salah satu cara Tuhan memberi kode pengobatan paling mujarab dari goresan luka hati yang sulit sembuh.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
SPASI TANPA JEDA
RomanceBerlatar kisah cinta prajurit. Kisahnya nggak gimana-gimana banget. Receh. Seorang wanita yang sengaja ngurus mutasi kerja demi mengejar masa lalunya. Alih-alih bertemu masa lalu malah ketemu orang baru yang lebih bisa membuatnya takut kehilangan. N...