Hari ini aku tidak terlalu konsen mengajar. Pikiranku terpecah belah. Bahkan, perintah kepala sekolah agar aku mengisi kelas yang kebetulan gurunya berhalangan hadir, malah aku berjalan ke kantin, bukan ke kelas. Beberapa rekan kerja justru tertawa melihat tingkahku.
Sejak di kelas, aku lebih banyak diam. Menerangkan materi sebentar, lalu memberi tugas ke siswa. Biasanya sambil menunggu siswa mengerjakan, aku sibuk mengoreksi pekerjaan di hari kemarin yang belum selesai. Namun hari ini tidak, menunggu siswa menyelesaikan tugas, waktu kuhabiskan untuk melamun. Sesekali memandang arah jendela, bayangan masa lalu menari-nari di sana. 'Dia' bukan masa lalu. Dia sudah kembali, esok atau esoknya lagi pasti akan aku ukir masa depan sesuai janjinya dulu.
Selepas mengajar, aku berjalan lunglai ke depan gang. Masih dengan pikiran melayang. Apa benar yang dikatakan Robi? Apa benar Bang Indra sudah menikah? Jika benar adanya, pantas saja Bang Tama selalu berbeda setiap kusebut nama Indra.
Hhhffftt ....
Aku duduk di bangku kayu sebelah pedagang gulali. Jam seperti ini tidak terlalu ramai anak-anak dikarenakan mereka pulang 2 jam sebelum para guru pulang. Aku menengok ke arah warung di sebelah gang, siapa tahu Bang Indra ada di sana. Tidak ... tidak ada. Sebesar apa, sih, detasemen baret cokelat ini? Apa aku tidak boleh masuk ke markas sekadar mencari Indrayana?
"Belum pulang, Bu Guru?" tegur pedagang gulali. Laki-laki paruh baya ini begitu ramah menegurku.
"Ini baru aja selesaikan kerjaan di kantor."
"Nunggu jemputan?"
"Nggak, Pak. Saya pulang jalan kaki, itu di seberang sana rumah yang saya tumpangi."
Betapa dulu aku begitu mengagumi permen manis yang disebut gulali, namun dengan kondisi seperti ini yang terlihat manis pun tidak mampu menarik perhatianku.
"Nunggu siapa, sih?" tegur suara yang datang dari samping.
"Duuhh ... Abang lagi, Abang lagi!"
Robi datang dan langsung jongkok di depan gerobak gulali yang diletakkan meleseh. "Mau gulali, nggak?" tawar Robi.
"Nggak."
"Mau aja, ya, aku yang traktirin, kok. Gantinya nasi bungkus kemarin."
Aku tak menjawab. Pandanganku berpendar ke jalan raya. Sesekali menengok ke arah warung, berharap raga Indrayana ada di sana.
"Pak, uang sepuluh ribu dapat gulali berapa?" tanya Robi pada pedagang gulali.
"Dapat lima bungkus."
"Bentuknya bisa dibuatkan sesuai permintaan, Pak?" tanya Robi lagi.
"Bisa. Pak Tentara mau bentuk apa?"
"Bentuk love, ya, Pak, untuk calon istri saya."
Ehhh ... apa katanya? Aku menoleh tajam, bibirku melipat bak huruf M. Aku kembali menatap jalan raya.
"Calon istrinya di mana, Pak?" tanya penjual gulali.
"Nih, lagi ngambek. Mukanya udah mirip lemak perut, terlipat-lipat." Telunjuk Robi mengarah padaku.
"Enak aja!" sahutku.
"Geseran dikit." Robi memintaku menggeser posisi duduk. Sementara penjual gulali masih membuatkan pesanan Robi. "Aku nunggu dekat gerbang kenapa nggak muncul-muncul, ternyata nongkrong di sini. Nunggu siapa, sih?"

KAMU SEDANG MEMBACA
SPASI TANPA JEDA
RomanceBerlatar kisah cinta prajurit. Kisahnya nggak gimana-gimana banget. Receh. Seorang wanita yang sengaja ngurus mutasi kerja demi mengejar masa lalunya. Alih-alih bertemu masa lalu malah ketemu orang baru yang lebih bisa membuatnya takut kehilangan. N...