4

26 7 0
                                    

Terkadang, pertemuan dan perpisahan terjadi begitu cepat, namun ada kenangan dan perasaan tinggal terlalu lama. Aku sendiri pernah membuat kenangan kecewa. Aku sesumbar bahwa aku tidak ingin melihatnya lagi. Aku bilang, kenangan terlalu busuk untuk kutengok lagi. Salah ... aku salah besar. Hanya membuang energi membunuh kenangan. Kenangan selalu dan selalu menari di memori, kecuali, diriku sendiri yang aku bunuh maka aku akan mati dan hanyut bersama kenangan. Bodoh! Untungnya, aku tidak sebodoh itu membunuh diriku.

Hari masih lumayan gelap dan basah embun, aku sudah siap dengan seragam kebanggaan. Sarapan dengan lauk telur dadar sudah kusiapkan untuk keluarga Bang Tama di meja makan. Ini hari pertamaku kerja di kota orang. Aku tidak boleh terlambat, kesan baik harus kutunjukkan. Ah, lupa, di meja makan belum kusuguhkan teh hangat, kebetulan aku terbiasa minum teh hangat di rumah orang tua.

Sembari aku membuat teh hangat, kutengok ke arah dapur Mbak Amel di seberang sana. Sejak tadi menjalankan rutinitas bungkus membungkus nasi. Sesekali dia menengok ke arahku yang kebetulan sibuk menggoreng di dapur rumah Bang Tama. Dia tersenyum padaku. Aku suka kegigihan Mbak Amel, istri tentara tapi tidak malu berjualan keliling sampai ke pasar. Suaminya pasti lelaki hebat, mampu mendidik istrinya semandiri itu. Apa nantinya Robi bisa mendidikku seperti itu, ya? Eh ... kenapa Robi? Siapa juga yang ingin berjodoh dengan Robi!

Pagi mulai cerah, sudah terdengar pergerakan manusia hidup dari kamar Bang Tama. Suara Mbak Tanti juga cecar membangunkan Dio.

"Dek, kamu bawa motor Abang aja berangkat kerjanya. Hari ini Abang sibuk nggak bisa antar kamu." Bang Tama menyeruput teh hangat, membenarkan posisi baret cokelat di kepala.

"Sekolahnya di seberang pos, 'kan? Buat apa aku naik motor, jalan kaki juga bisa," jawabku.

"Sudah lihat sekolahnya?"

"Sudah, Bang Robi yang beri tahu."

Mbak Tanti yang baru saja bergabung di meja makan, senyum-senyum sendiri melihatku.

"Diihh ... senyum-senyum, ada apa, Mbak?" tanyaku.

"Mulai akrab, ya, sama Robi, Mbak ikut senang. Kalian berdua itu cocok."

"Orangnya asyik diajak bercanda, pendengar yang baik juga, itu menurutku sejauh ini." Aku bicara sambil mengunyah roti tawar isi cokelat. "Oh iya, Bang, Bang Indra itu leting Abang bukan, sih? Seingatku leting Abang, 'kan?"

Sebenarnya agak takut juga aku melempar pertanyaan itu. Tetapi kapan lagi, sosok Bang Indra seakan terus disembunyikan oleh Bang Tama. Andai Bang Tama tidak menyetujui hubunganku dengan Bang Indra, setidaknya dia memberiku alasan tepat. Seperti ini malah persis main kucing-kucingan.

Raut wajah Bang Tama berubah. "Kenapa masih tanya-tanya tentang Indra? Mulai sekarang, Abang minta kamu lupakan Indra."

"Kenapa?"

Mbak Tanti beranjak dari duduk, pura-pura menyibukkan diri mengambil sapu, padahal tadi subuh aku sudah menyapu seisi rumah ini.

"Pokoknya mulai sekarang Abang minta kamu lupakan Indra."

"Tanpa alasan jelas, kenangan bersama Bang Indra akan terus aku ingat!"

"Kenangan apa yang pernah kalian buat? Semua cuma kenangan anak-anak remaja, cinta monyet, nggak abadi."

"Semua memang nggak ada yang abadi, 'kan? Apa salahnya aku berusaha."

"Kamu berusaha untuk apa?"

SPASI TANPA JEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang