5

24 6 0
                                    

Bintang memang terkadang tidak terlihat, tapi akan selalu ada di tempatnya. Layaknya bintang yang berhasil mencuri hatiku; berhasil memberiku rasa bahwa menunggu lama itu sama dengan ketulusan. Aku memang tulus mencintainya; menginginkannya.

Masih menjadi misteri kenapa keberadaannya seolah ditutupi, yang bisa aku andalkan hanya Robi. Paling tidak, dia masih mau memberiku informasi tentang bintangku yang tertutup awan. Aku merenung sambil menyetrika baju. Harusnya aku bisa berbuat lebih jauh, toh, raga Bang Indra benar memang ada di satuan ini.

Tidak ada hal istimewa tentang pertemuan tadi siang. Istimewa bagiku, tapi tidak bagi Bang Indra. Lalu, kakinya sudah tidak sempurna, akibat kecelakaan dan koma. Menghilangnya dia akibat koma. Apa logis? Koma selama itu? Ya, mungkin bisa saja, kata Ayah pernah mendapat pasien dengan kasus koma terlama, itupun hitungan bulan. Menghilangnya Bang Indra menurutku menghabiskan tahunan.

Misteri lain, waktu itu tiba-tiba saja orang tua Bang Indra pindah rumah. Bahkan Ayah sebagai tetangganya sempat tidak tahu menau alasannya. Ketika dihubungi melalui telepon, kata orang tua Bang Indra, mereka pindah rumah karena ada urusan penting supaya tidak bolak-balik antar kota. Sebagai tetangga dekat, Ayah berusaha mencari di mana alamat baru orang tua Bang Indra. Namun beberapa waktu sebelum aku berangkat kuliah, Ayah menerima telepon dari Bang Tama, aku sempat menguping. Intinya, keluarga Ayah tidak perlu lagi mencari keberadaan keluarga Indrayana. Namanya juga lewat telepon, tidak sesempurna itu pendengaranku. Ayah berpesan, konsentrasiku tidak boleh pecah hanya karena Indrayana, aku harus lulus kuliah. Menjadi guru adalah pilihanku. Kalau aku terus menanyakan keberadaan Indrayana, kata Ayah, dia tidak mau merestui pilihanku mengambil jurusan pendidikan guru. Aku harus jadi dokter, itu mau Ayah.

Hhhfff ... kembali lagi ke detik hari ini, saat ini juga. Aku berhasil menemukan Indrayana, parahnya aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku sama sekali tidak mengerti kehidupan militer. Kepangkatan apalagi jabatan militer. Apa yang terjadi dengan sikap Bang Tama, sudah menjadi pertanda ada sesuatu terjadi.

Suara ketukan pintu. "Masuk," kataku dari dalam kamar.

Bang Tama membuka pintu. "Kamu nggak jalan sama Robi?"

"Aku nggak janjian sama dia. Lagian ngapain jalan sama Bang Robi, nggak ada tujuan."

Bang Tama duduk di sampingku, seraya aku meneruskan menyetrika pakaian.

"Dek, kamu kan sudah dewasa, tolong jangan bertingkah yang buat Abang malu."

"Kapan aku bikin malu Abang?"

"Tadi siang itu masa kamu makan di bawah pohon dekat koperasi. Padahal jarak rumah sudah nggak terlalu jauh, kan bisa nasinya dibawa pulang, makan di rumah. Abang yakin, tadi siang itu kamu yang maksa Robi makan bareng di bawah pohon. Robi itu memang Adik leting Abang, tapi hormatilah Abang sebagai seniornya. Abang nggak mau dianggap kenalkan guru nggak waras ke Robi. Malu jadinya Abang."

"Siapa yang nggak waras? Masa makan di bawah pohon itu nggak waras? Dari dulu hidupku apa adanya, Bang. Ya sudah, kunikmati aja, nggak suka berteman denganku silakan pergi. Simple is perfect."

"Ya udah, lain kali kalau lapar makan di rumah aja, ya."

Aku mengangguk mengiyakan daripada kena semprot. Setrika kumatikan, mungkin ini kesempatanku mengorek info ke Bang Tama. Nantinya jika respon Bang Tama tidak mengenakkan, berarti ada sesuatu. Robi satu-satunya orang yang bisa aku mintai tolong, bukan lagi Bang Tama.

"Jabatan Abang di sini apa?" tanyaku.

"Kenapa tanya-tanya?"

"Ya tadi aku berbagi cerita di kantor, beberapa rekan guru tanya tentang Abang. Aku jawab apa adanya, pokoknya tentara."

SPASI TANPA JEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang