Sudah pagi lagi ....
Burung pun masih menyiapkan kicau merdunya, aku sudah siap dengan seragam kebanggaan aparatur sipil negara. Di teras, aku menyemir sepatu agar terlihat bersih dan mengkilap. Di seberang sana nampak kesibukan seorang wanita menyiapkan bungkusan yang disusun dalam keranjang. Aku hanya melirik sekilas. Kukedipkan mata berulang agar pesakitan itu tidak kembali mengganggu. Mereka, penghuni rumah dinas di seberang sana sudah berjodoh. Siapa pun itu tidak berhak mengganggu kehidupan rumah tangga mereka, siapa pun itu, termasuk aku.
Sudahlah, lebih baik aku mencari jalan masa depan sendiri. Aku yakin, Tuhan sudah menyiapkan untukku, walau masih tersembunyi. Untung saja aku bukan tipe wanita penyimpan rasa sedih berkepanjangan. Sakit itu masih ada tapi siapa lagi yang bisa mengobati selain diri sendiri. Dibuat enjoy saja.
"Bang, aku berangkat dulu," pamitku pada Bang Tama yang sedang menyeruput teh hangat bersama Mbak Tanti di ruang tamu.
"Robi mana?" tanya Bang Tama.
Aku heran, harusnya memberi pesan padaku agar berhati-hati di jalan, malah tanya keberadaan Robi. Mereka sangka aku menyimpan Robi dalam kantong ajaib.
"Kenapa nanya Bang Robi? Ya mana aku tau, Bang."
"Robi nggak antar kamu?"
"Buat apa diantar? Biasa juga aku jalan kaki, kasih pesan hati-hati coba, nanyanya malah di mana Bang Robi. Nih, di ketek mungkin!" Aku menunjukkan ketiakku pada Bang Tama. Disambut tawa oleh Mbak Tanti.
"Kamu ini, ditanya baik-baik malah nyodorin ketek. Ya udah, hati-hati di jalan," pesan Bang Tama.
Aku berjalan melewati jalan biasa menuju gerbang utama detasemen. Sambil bersenandung lagu-lagu lawas, berharap hatiku akan baik-baik saja melewati hari ini. Di ujung jalan blok perumahan militer, berdiri seorang wanita menenteng keranjang. Aku hapal siapa wanita ini. Duh, bagaimana ini?
Aku sedang tidak ingin melihatnya dengan jarak dekat. Bukan, bukan aku benci. Justru aku menghindarinya agar tidak terbentuk bulatan kebencian dalam hatiku. Mbak Amel—istri Bang Indra—berdiri di ujung blok seolah sedang menunggu seseorang. Dia melihatku berjalan ke arah yang sama, senyumnya begitu manis. Aku menoleh ke belakang, barangkali dia sedang senyum pada orang lain di belakangku. Ternyata tidak ada siapa-siapa di belakang. Terpaksa aku membalas senyum itu. Senyum manis namun sebenarnya pahit.
Berjalan mendekati posisi Mbak Amel berdiri membuatku pura-pura menundukkan kepala seraya menghormatinya. "Permisi, Mbak," kataku agak kaku. Entah kenapa jadi sekaku ini sekadar menegurnya.
"Tunggu, ada yang mau aku bicarakan denganmu. Bisa beri aku waktu?"
Eh, apa katanya? Garis matanya menyiratkan pembicaraan ini begitu sakral, menakutkan. Bak terpidana yang akan dihukum mati, sungguh, aku belum siap bicara apa pun dengannya.
"Maaf, Mbak, aku buru-buru," jawabku sambil melihat ke arah gang sekolah yang terlihat dari balik pagar detasemen.
Mbak Amel melirik jam di tangannya. "Masih jam 7 kurang, apa nggak bisa sebentar aja?"
Melihat mata sayunya, hatiku menghangat. Walau kelakukanku suka ngablak, aku tipe wanita yang tidak tega jika melihat sesuatu dirundung pilu.
"Ya udah, Mbak Amel mau bicara apa?"
Mbak Amel mengulum bibir bagian bawah. Meletakkan keranjang berisi nasi bungkus ke tanah. Tangannya menarik tanganku. Eh, ada apa ini? Matanya berkaca-kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
SPASI TANPA JEDA
RomansaBerlatar kisah cinta prajurit. Kisahnya nggak gimana-gimana banget. Receh. Seorang wanita yang sengaja ngurus mutasi kerja demi mengejar masa lalunya. Alih-alih bertemu masa lalu malah ketemu orang baru yang lebih bisa membuatnya takut kehilangan. N...