BAB 1

89 1 0
                                    

PINTU dan semua jendela sekretariat Maranon, organisasi pencinta alam Universitas Sagarmatha, tertutup rapat saat Langen dan Fani tiba sore itu. Kedua cewek itu tidak bisa mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam ruangan, karena seluruh tirainya membentang, menutupi semua jendela yang ada."Rapat lagi kayaknya nih!" desis Langen jengkel. "Gimana, Fan?""Tungguin ajalah," kata Fani. Tidak tega mau ngajak Langen pulang.Tapi setelah keduanya menunggu berjam-jam sampai nyaris lumutan, begitu pintu itu terbuka, eeeh.....orang yang ditunggu dengan enteng malah menyuruh mereka pulang. Setelah sempat terperangah di ambang pintu, dengan langkah-langkah cepat Rei segera menghampiri Langen dan Fani yang duduk bersila di lantai koridor."Sori, La. Aku ada rapat. Sampe malem kayaknya. Kamu nggak apa-apa kan, pulang sendiri?" ucapnya tanpa rasa bersalah. Jelas Langen langsung emosi."Nggaaak. Nggak apa-apa kok. Rapat aja lagi......sampe besok. Tanggung kalo cuma sampe malem!""Sabtu depan kita jalan. Aku janji.""Sabtu kemaren kamu ngomongnya juga begitu!""Sabtu kemarennya lagi juga!" Fani langsung menimpali."Juga Sabtu kemarennya dan kemarennya daaan kemarennya!"Rei nyuekin celetukan Fani. "Tapi Sabtu depan bener, La. Janji!" tegas Rei."Siapa yang percaya?" sentak Langen. "Pulang yuk, Fan!""La, please? Jangan ngambek begitu dong." Rei buru-buru meraih tangan Langen, tapi langsung ditepis oleh si pemilik tangan."Aku nggak ngambek! Aku marah, tau!" Langen hampir menjerit."Tapi aku janji.....""Nggak! Aku nggak mau denger!"Harapan Rei langsung beralih ke sahabat karib Langen. "Fan, tolong jelasin ke Langen, ya? Sabtu depan bener!""Elo jelasin sendiri. Enak aja. Lagian juga paling lo bohong lagi. Kayak gue nggak tau elo aja!" tolak Fani mentah-mentah."Sori ya, sayang? Aku nggak bisa dateng lagi nih......"Bima, sahabat Rei yang sejak tadi hanya berdiri diam di ambang pintu, menatap Fani dengan ekspresi "betapa apa yang baru saja dikatakannya tadi telah membuat hatinya menjadi sangat sedih". "Padahal aku kangeeen banget sama kamu.""Iih!" Fani langsung buang muka. "Siapa juga yang ngarepin lo dateng?"Bima jadi tertawa geli. Kalau saja di sekitar mereka tidak banyak orang, pasti sudah dibekapnya cewek yang telah berhasil dipaksanya untuk jadi pacarnya yang teranyar itu. Lalu diberinya satu ciuman!Terpaksa Rei dan Bima membiarkan Langen dan Fani pergi dari hadapan mereka.***"Mereka emang gitu, La. Udah......nggak usah dipusingin," hibur Fani, ketika mereka sudah meninggalkan sekretariat Maranon."Iya sih, tapi yang bener aja dong! Udah berapa kali malem Minggu, coba? Tiap Sabtu-Minggu pasti ada acara. Datengnya malah malem Jumat. Emangnya gue sundel bolong?"Fani meringis. Tiba-tiba disikutnya pinggang Langen. "Liat, tuh. Ndoro Gusti Raden Ajeng Febriani."Langen melirik sebal. Raden Ajeng Febriani Kesumoningrat atau yang biasa dipanggil ''Febi'' itu ceweknya Rangga. Rangga itu ya masih komplotannya cowok dua tadi. Febi termasuk cewek antik. Masih keturunan bangsawan atau ningrat. Katanya sih dia dan keluarganya masih keturunan langsung prabu siapa, gitu. Dibilang antik, soalnya itu cewek lembutnya minta ampun. Jalannya luamaaa. Ngomongnya juga pelaaan. Dan yang paling aneh, kalau ketawa nyaris tanpa suara! Itu juga jarang. Paling sering Febi cuma senyum-senyum doang."Mau ikut jalan, Feb? Mending malem Minggu-an sama kita" dengan santun dia mohon pamit."Sebel banget gue sama tuh cewek. Sok bangsawan banget!" dengus Langen."Iya emang!" Fani mengangguk. "Tau gitu kenapa juga lo ajak dia tadi?""Basa-basi doang. nggak bakanlah dia mau. Ntar bisa turun dia punya kasta!""Lagian juga dia pasti bohong. Kursus apaan malem Minggu gini?""Kursus masang konde, kursus pake kebaya, sama kursus ngeracik jamu-jamuan" dengus Langen lagi.Fani terkekeh geli.Langen berdecak. "Kalo gue pikir-pikir, tuh cowok tiga kurang ajar banget deh. Seenaknya sendiri aja. Mereka pikir kita apa sih?""Ah, udah deh......nggak usah dipikirin. Mendingan kita jalan-jalan." Fani merangkul bahu sahabatnya dan membawanya ke tempat parkir utama kampus, di depan gedung rektorat, tempat Langen meninggalkan Kijang-nya tadi siang.***Senin siang, di tengah ruang sekretariat Maranon, Andreas, salah seorang anggotanya, sedang duduk di salah satu meja. Menghadap ke seisi ruangan."Waktu SMA, gue pernah bikin acara maraton gunung. Khusus yang tingginya di atas tiga ribu DPI..... Waktu itu lima gunung. Start di Pangrango, lanjut ke Cireme, nyambung ke Slamet, terus ke Sumbing, dan finish di Merbabu. Seru banget, gila! Yang berhasil ngabisin lima-limanya cuma tujuh orang. Padahal pesertanya hampir empat puluh. Usul gue,gimana kalo kita bikin acara kayak gitu? Nanti libur semesteran. Biar tambah seru dan dahsyat, kita abisin Pulau Jawa! Gimana?"Wajah-wajah di sekitarnya meratap ternganga. Lalu...... "SETUJUUUU!!!"Gemuruh teriakan membahas seketika. Membuat ruang sekretariat Maranon tenggelam dalam ingar-bingar."Dan usul lagiiii.....!!!" seru Andreas. Dipukul-pukulnya whiteboard dengan batang kayu. Ruangan mendadak sepi. Semua kepala menoleh ke arahnya. "Minggu ini kan ada libur dua hari. Tiga sama hari Minggu-nya. Gimana kalo kita pemanasan? Maraton Salak-GedePangrango?""SETUJUUU!!!!"Kembali ruangan itu dipenuhi suara riuh. Di salah satu sudut, tiga cowok sibuk mendiskusikan bagaimana caranya memberitahu cewek masing-masing bahwa sialnya, lagi-lagi! malam Minggu ini terpaksa absen!Rei yang paling pusing. Dia sudah bisa menebak seperti apa respons Langen nanti. Bima sebaliknya, justru kecewa. Karena dia tahu benar, Fani pasti benar-benar bersyukur dia tidak muncul. Sementara Rangga seperti biasa, tenang. Karena Febi-nya yang tersayang adalah cewek aristokrat yang tidak pernah diajar untuk menuntut. Jadi aman."Alasan baru lagi, kan? Selalu aja gitu. Minggu besok mau ke sini. Minggu depannya mau ke situ. Ke sana. Kemari. Selalu aja ada acara. Dan semuanya penting. Nggak ada yang nggak penting!" Langen langsung berseru jengkel begitu tahu maksud kedatangan Rei.Rei berdiri, mendekati ceweknya yang sedang cemberut berat itu lalu memeluknya dari belakang dengan mesra. Disandarkannya dagunya di bahu Langen, kemudian diberinya Langen satu ciuman di pipi, begitu lembut dan penuh cinta. Harus begitu memang kalau tujuannya ingin tetap bisa tercapai seperti kemarin-kemarin. Meninggalkan Langen di rumah.....lagi!"Kalo dipikir-pikir.....aku egois banget, ya?" bisiknya. Menuduh diri sendiri dulu biar kesannya sadar kalau bersalah.Basi! dengus Langen dalam hati."Tapi kamu tau nggak, kenapa aku nggak pernah ngajak kamu? Karena gunung bukan tempat yang aman buat cewek. Banyak bahayanya. Binatang buas, misalnya.""Kamu kok nggak kenapa-kenapa?""Aku cowok, La."Nah, ini! Ucap Langen dalam hati. Terus kenapa kalo cowok? Emangnya macan nggak doyan cowok, apa? Nggak masuk akal banget alasannya!"Belum lagi dinginnya yang gila-gilaan. Lagi pula ini bukan kegiatan untuk pemula. Bukan sekadar hiking. Ini latihan fisik. Jadi sifatnya juga intern."Pelukan Rei makin menguat. Dibenamkannya tubuh Langen dalam pelukannya. Satu ciuman lembut dia berikan untuk bibir cemberut Langen. Tapi cewek itu sudah tidak terpengaruh. Sudah bosan! San! San! San......! Lagu lama!Medannya beratlah, bukan buat pemulalah, internlah, bahayalah, dan masih banyak lagi alasan lainnya. Tapi intinya cuma satu. Rei tidak ingin dia ikut! Itu saja. Tapi ngomongnya repot.Melihat Langen diam, Rei mengira lampu hijau telah menyala. Meskipun nggak hijau-hijau amat. Menurut Rei, tempat terbaik buat cewek memang di rumah. Di dekat ayah-ibu, juga saudara-saudara!Harap dicatat!!!Di rumah Fani, Bima juga sedang menjelaskan bahwa hari Sabtu dan Minggu besok dia ''terpaksa'' absen lagi. Tapi cowok itu tahu, penjelasannya itu sebenarnya percuma, karena Fani justru akan sangat bersyukur kalau dirinya tidak muncul. Telat datang menjemput sebentar saja, cewek itu sudah lenyap. Telepon ke rumahnya sering dibilang tidak ada, sementara langsung ke ponsel Fani lebih sering jadi usaha sia-sia. Dibanding cewek-cewek Bima terdahulu, baru ini yang benar-benar bertingkah. Membuat Bima jadi sering senewen.Bima menatap wajah sang nona rumah yang sama sekali tidak welcome itu."Ada yang mau aku omongin, Fan. Coba tolong duduk," ucapnya lembut. Fani duduk ogah-ogahan. Bima berdeham. Menyete. Tampang sedih dulu, biar lebih meyakinkan. "Malem Minggu besok aku kayaknya nggak bisa dateng lagi, Fan. Soalnya......""Aaaah, nggak apa-apa....."Belum juga Bima selesai bicara, sudah dipotong. Tapi disabarkannya hati dan diteruskannya kalimatnya yang terpenggal."Maranon ada acara.....""Iya. Nggak apa-apa...."Dipotong lagi! Cowok itu mendesis jengkel. Dua mata elangnya mulai menajam. Tapi Fani menentang tatapan itu berani. Iyalah, di rumah. Coba di luar? Tidak bakalan cewek itu punya nyali!"Bisa aku ngomong sampe selesai?""Nggak usah. Aku udah tau. Maranon ada acara kan malem Minggu besok? Makanya elo, eh, kamu nggak bisa dateng. Mau acaranya apa kek, pokoknya ada acara aja!""Nggak pengen tau acaranya?""Nggak!""Tapi aku pengen ngasih tau!" tandas Bima."Tapi aku nggak kepengen tau, tauuu!" tolak Fani. Tandas juga.
Sepasang mata Bima berkilat. Tapi dia tidak menyerah. Cewek di hadapannya ini harus tahu dengan siapa dia pacaran. Cowok yang digilai banyak cewek! Kurang ajar benar kalau matanya terbuka satu pun tidak!"Jangan kamu kira kalo pergi-pergi begitu aku enjoy, Fan" katanya bohong. "Nggak sama sekali. Soalnya, selalu aja ada cewek yang harus aku jaga. Lia, Nuke, Silvi, Dian. Banyak. Apalagi Stella. Dia nggak pernah absen. Selalu ikut setiap kegiatan Maranon dan selalu aja sakit.""Kenapa?" tanya Fani tanpa minat."Macem-macem keluhannya. Pusing, perut mual, dada sakit. Malah tuh cewek sering pingsan.""Ya nggak apa-apa. Namanya juga temen lagi sakit. Masa mau dicuekin?""Bikin repot, Fan. Karena harus selalu dijaga.""Ya nggak apa-apa. Nolongin orang itu banyak pahalanya. Ntar kalo mati, kamu bisa langsung masuk surga." Fani tetap tidak terbakar cemburu sedikit pun."Tapi aku jadi ingat cewek yang kutinggal di rumah.""Aku rasa mama kamu pasti setuju. Kakak kamu juga. Adik kamu juga pasti.""Aku nggak lagi ngomongin cewek di rumahku! Nggak usah pura-pura bego, Fan!" akhirnya Bima tidak bisa menahan geram."Oh.....jadi maksud kamu tuh aku?" Fani menunjuk dadanya. "Aaaah, kalo aku sih kayak gitu-gitu no problem. Aku orangnya santai kok. Fleksibel, pengertian. Semua tindakan kamu nolong-nolong tadi, aku dukung seratus persen!"
Bima menarik napas panjang. Lagi-lagi berusaha menyabarkan hati. Tapi wajah menjengkelkan di depannya membuat cowok itu akhirnya mengarang satu cerita yang benar-benar panas.
"Kalo masih wajar-wajar kayak gitu sih emang nggak masalah. Tapi kalo udah sampe nggak wajar.....?" Diangkatnya alisnya tinggi-tinggi. "Bukan cuma cewek yang mesti bisa jaga diri. Cowok juga!""Maksudnya?" Fani tidak mengerti."Maksudnya....." Bima memajukan badannya. Ditatapnya Fani lurus-lurus. "Sampe ada yang nekat bugil di depanku!"
"HAAAAA!?" Bima berhasil kali ini. Cewek di depannya kontan kaget banget. Gila asli! "Siapa!? Siapa!?" seru Fani seketika."Nggak penting itu siapa."
Bima tidak bohong. Memang pernah ada cewek yang melakukan aksi bugil di depannya. Mantan istri Bruce Willis, Demi Moore. Dan si pirang seksi yang memang tidak tahu malu. Madonna.
Tapi cowok itu jelas tidak bersedia memberitahu. Dibiarkannya Fani tercengang dengan dugaannya sendiri. Dan orang yang ketiban sial disangka bugil adalah Stella. Soalnya cewek satu itu memang sudah kondang. Centil, suka overacting, dan kalau pakai baju selalu ngablak. Perutnya adalah pemandangan yang sudah biasa di kampus. Belahan dadanya apalagi.
"Stella pasti!" desis Fani. "Iya, kan?"
Stella tripleks begitu? Siapa yang tertarik melihat, walaupun dipampang di depan mata? Soalnya sudah bisa dipastikan, tidak ada pemandangan yang bisa menyehatkan saraf mata.
"Tapi nggak mungkin. Bohong kamu! Ngarang! Aku tau tuh cewek emang gila. Tapi nggak mungkinlah otaknya sampe korslet banget gitu!""Kenapa aku mesti bohong?" tanya Bima kalem. "Kenapa mesti ngarang cerita? Tanya aja sama orangnya kalo nggak percaya!"
Maksud Bima, tanya sama Demi Moore atau Madonna. Tapi karena dari awal memang sudah miskomunikasi alias mis-objek pembicaraan, kalimat itu membuat Fani yakin Stella-lah yang telah melakukan aksi bugil di depan Bima. Dan makin shock-lah dia tanpa bisa menyembunyikan ekspresinya. Dengan puas Bima menikmati keterperangahan itu.
"Sampe begitu, Fan! Tapi aku tetap inget cewek yang kutinggal di rumah. Yang sekarang ini duduk di depanku. Yang selalu aku bawain edelweis tapi nggak pernah bilang terima kasih. Yang kalo aku telepon sering dibilang nggak ada. Yang kalo aku dateng jarang disambut dengan manis. Tapi tetep....," sepasang mata Bima berubah lembut, "Aku nggak akan bikin dia menangis!"
***
Fani langsung lari ke meja telepon begitu Bima pulang, karena ada hal mahagawat yang harus disampaikannya pada Langen dengan segera. Tapi ternyata sahabatnya itu telah berpesan kepada seisi rumahnya bahwa dia benar-benar tidak ingin diganggu. Sementara ketika dicobanya menghubungi Langen via ponsel, tidak aktif. Terpaksa Fani cuma bisa menunggu, dan langsung terbirit-birit begitu telepon berdering."Ya ampun, La! Elo ngapain aja sih?""Gue marah banget, Fan!""Mereka kan dari dulu emang gitu. Nggak bisa liat libur lamaan dikit."
"Tapi nggak bisa gitu terus dong! Emangnya mereka nganggap kita tuh apaan? Nggak ada jalan lain. Kita harus balas dendam! Tadi waktu semedi gue udah nemu caranya. Tapi kita ngomonginnya di tempat Febi, aja."
"Di rumah Febi? Ngapain di sana? Elo kan tau dia orangnya ngeselin.""Justru itu! Mau nggak mau kita harus ngajak dia. Bahaya kalo nggak.""Emang lo mau ngomongin apa sih?""Ya masalah ini. Kita harus balas dendam. Harus bikin perhitungan! Santai aja mereka, pergi-pergi melulu, tapi nggak pernah ngajak kita satu kali pun!""Febi mana mau, lagi?""Kita hasut sampai mau!"
Fani diam, berpikir. Tiba-tiba dia ingat tujuannya menelepon Langen. "Oh, ya! Bilangin Febi, kalo setiap mereka pergi, Stella pasti ikut! Pasti Febi langsung panas. Nggak perlu dihasut lagi.""Stella? Masa? Orang badannya kayak keripik gitu? Mana kuat naik gunung?""Tapi katanya Bima gitu, La. Kalo anak-anak Maranon bikin acara, si Stella pasti ikut.""Hah?!" sepasang mata Langen kontan melotot bulat-bulat. "Masa sih, Fan?""Iya! Gue juga taunya barusan, waktu Bima ke sini. Sekarang yang jadi masalah bukan kerempengnya. Nekatnya itu lho. Elo tau sendiri kan Stella orangnya gimana kalo udah seneng sama cowok. Kejar pantang malu! Mau tuh cowok udah punya cewek kek, bodo amat dia!""Pantesan aja mereka mati-matian nggak mau ngajak kita. Kasih alasan ini-itu. Bukan buat pemula-lah intenlah. Emangnya si Stella itu udah pakar, apa? Lagian dia juga bukan anggota Maranon. Orang Maranon nggak punya anggota cewek. Dasar! Kurang ajar! Jadi gitu ceritanya?!" desis Langen berang."Dan ada cerita yang lebih menggemparkan lagi, La!""Apa tuh? Apa!? Apa!?""Aksinya Stella udah makin nekat. Sekarang dia udah sampe pake antraksi..... Siap-siap, ya....." Siap-siap.....!" BUGIL!!!!""Haaa!?" Langen menjerit gila-gilaan. Lalu.....bruk! Cewek itu terjatuh gara-gara tulang keringnya terantuk telak-telak saat akan memutari meja telepon. " ADOOOh!" kontan dia menjerit kencang lagi. Lalu hening."Langen? La? Elo kenapa? Heh? Lo mati ya? Langen? Halo? Halo?" panggil Fani. Sambil tengkurap, Langen meraih gagang telepon yang tergantung-gantung."Sori aja ya kalo gue mati gara-gara Stella!""Nah tadi lo kenapa?""Tulang kering gue kena meja, gara-gara kaget. Eh, Stella bugil di mana? Di toilet, kan?""Kalo di toilet, gimana Bima bisa tau?""Haaah!?" Langen berdecak. " Ini bener-bener gaswat! Bener-bener bahaya besar! Nggak tau malu banget tuh cewek! Dasar nggak bermoral!""Makanya! Ntar kasih tau tuh si Febi!"CONTINUE BAB 2

Girl!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang