BAB 3

22 0 0
                                    

"RATIH itu siapa, Sha?" Langen langsung bertanya gitu pintu di depannya terbuka."Gue juga nggak tau," sambil melebarkan daun pintu, Salsha menjawab ringan. Dua orang di depannya kontan menatap nyureng dengan kedua alis menyatu."Gimana sih lo!?" seru Langen dan Fani hampir bersamaan. Salsha tertawa geli."Ya emang gue nggak tau cewek itu siapa. Gini lho....." Salsha berjalan ke arah meja tamu dan menarik sebuah album foto dari bawahnya. "Ceritanya sih simpel aja. Waktu lo bilang cowok tiga itu jebolan SMA Santo Martin, iseng gue pinjem album fotonya Saskia. Tau kan lo? Sepupu gue yang sekolah di sana juga? Dan gue nemu ini....." Salsha menunjuk salah satu foto. "Nih, coba liat!"Langen dan Fani langsung duduk di kiri-kanan Salsha. Dan mata mereka kontan membesar. Di foto itu, di depan satu spanduk besar bertuliskan ''ACARA PELEPASAN'', terekam lensa kamera, Rangga duduk di rumput. Menatap ke arah kamera dengan tawa lebar dan lambaian tangan kanan. Sementara tangan kirinya memeluk erat seorang cewek manis berambut panjang, yang dengan manjanya menyandarkan kepala di dada Rangga."Gile, mesra amat. Jadi ini yang namanya Ratih?" tanya Langen.Salsha mengangguk."Apa anehnya?" tanya Fani. "Mungkin ini emang ceweknya Rangga waktu itu, waktu dia belom kenal Febi. Rangga sama Febi jadiannya belom ada setaun, lagi. Ini acara perpisahan taun berapa?""Tahun kemaren. Barengan kita lulus-lulusan juga.""Yah, sebenernya mau gue tunjukin ke elo berdua tuh.....ini!" Dengan gaya penuh kemenangan, Salsha menarik sebuah majalah dari bawah meja, lalu membuka bagian tengahnya. "silahkan diliat!"Dengan kening terlipat, Langen meraih lembaran foto yang ada di tengah-tengah majalah. Seketika dia dan Fani ternganga. Foto-foto itu, foto-foto Rangga yang tengah memeluk Ratih. Ratih yang dibalut busana penari Jaipong dengan bahu terbuka dan kostum yang membentuk tubuhnya seperti bas betot."Itu foto dua bulan lalu!" ucap Salsha dengan nada puas. "Waktu itu Ratih lagi pentas. Di Taman Mini, anjungan mana gitu. Gue lupa. Untuk diketahui, Ratih itu penari. Info ini gue dapet dari Saskia. Kata Saskia, Ratih kalo nari Jaipong, wiiiiih.....heboh! Erotis, gitu!""Febi juga penari," kata Langen tanpa mengalihkan matanya dari foto-foto itu."Dan kata Saskia mengutip dari anak 'Pustaka & Dokumentasi', organisasi ekskul fotografi SMA Santo Martin-lah yang dapet tugas dari sekolah untuk mendokumentasikan keikutsertaan wakil sekolah mereka di acara itu.....,"sambung Salsha. "Abis acara itu, Ratih nangis-nangis bombai, terus besoknya nggak masuk sekolah sampe tiga hari!""Nggak masuk sekolah?" Langen dan Fani bertanya hampir bersamaan. "Dia belom kuliah?" sambung Langen."Belom. Dia masih kelas tiga SMA!""Hah!?" Langen dan Fani berseru bersamaan."Kaget, kan? Kaget, kan?" Salsha meringis. Senang usahanya berhasil mengagetkan teman-temannya."Jelas Ratih ini ceweknya Rangga yang laen!" tegas Fani. "Orang dia sampe nyiptain tarian khusus segala. Kalo bukan pacar, ngapain lagi sampe begitu?""Iya emang? Tarian apaan sih?" tanya Salsha."Lha, kan elo yang bilang waktu itu?""Bilang apa?""Yeeee!" Fani kontan melotot. Langen tertawa geli, sudah bisa menebak bahwa itu hasil karangan Salsha. "Jangan bilang waktu itu lo asal ngomong deh, Sha.""Emangnya gue bilang apa aja sih waktu itu? Soalnya gue lupa nih. Bener!""Lo kayak nggak tau Salsha aja, Fan. Dia kan suka asal buka mulut.""Wah, emang nekat lo!" Fani ternganga. "Jadi lo ngomong blabla panjang bener waktu itu, ngarang semua?""Sebagian besar. Saskia cuma tau Ratih itu suka nari sama baca novel-novel Harlequin, gitu. Terus gue kembangin aja berdasarkan itu," jawan Salsha enteng. "Gue ngarang mendadak tuh. Makanya sekarang lupa!""Ya ampun!" Fani geleng-geleng kepala. "Kok bisa pas sih?""Saskia tau, yang pasti Ratih itu siapanya Rangga?" tanya Langen."Nggak. Orang dia nggak kenal sama tuh cewek. Nggak pernah sekelas. Tapi dia pernah ngeliat Ratih berkali-kali dijemput Rangga. Malah kalo jalan pake dipeluk segala. Kayak foto-foto yang lo liat itu.""Wow....!" Langen dan Fani saling pandang sambil memainkan alis. "Mister Nice Guy-nya Febi ternyata....."Dua-duanya nyengir lebar.Di areal parkir di depan gedung rektorat, Rangga duduk terdiam di belakang setir Jeep Wrangler cokelatnya sejak beberapa saat lalu. Ia masih tidak percaya, rahasia yang selama ini disimpannya rapat-rapat, terbongkar tiba-tiba. Harus dia cari tahu siapa cewek yang sudah datang ke kampus dan bikin gara-gara itu! Karena setelah dia ke rumah Ratih kemarin, cewek yang belum lama dipelasnya itu juga sama kagetnya.
Ratih mengaku telah bisa menerima cerita cinta mereka yang berakhir dua bulan lalu itu, dan menjadikannya masa lalu. Ia tak ingin lagi berusaha mengingat, apalagi bertemu. Dan saat Rangga menyebutkan ciri-ciri cewek sialan itu, juga semua omongannya, Ratih geleng kepala. Mengatakan tidak mengenal cewek itu sama sekali. Bingung, kan?"
Kepala Rangga langsung terangkat saat Kijang hijau tua yang ditunggunya muncul di gerbang kampus. Buru-buru ditekannya klakson, memberi isyarat agar Langen parkir di sebelahnya."Wah, kayaknya dia tau kalo kejadian waktu itu gara-gara kita, La!" desis Fani."Gimana bisa?""Itu buktinya. Dia sengaja nungguin kita di sini. Gimana nih?"
Langen menatap Rangga yang kelihatan semakin tidak sabar. Tangan cowok itu melambai, minta mereka supaya cepat. Dengan cemas Langen menuruti perintah itu."Ada apa?" tanyanya dengan sikap yang dipaksa terlihat wajar."Soal cewek yang dateng ke sini waktu itu."
Kedua cewek itu kontan tercekat, tapi Langen buru-buru menutupi kekagetannya."Iya, kan? Ketauan juga lo akhirnya!" tukas Langen. "Dari pertama gue udah nggak percaya. Lo pasti cuma pura-pura alim. Biar Febi nggak curiga. Iya, kan?""Gue nggak perlu komentar lo. Gue nunggu di sini karena ada yang mau gue tanya. Dia bilang apa aja waktu itu? Sebelum nemuin gue.""Nggak ada. Dia cuma nanyain kelas lo. Ya gue tunjukin.""Cuma itu? Febi nanya apa aja ke dia?""Febi nggak ngomong apa-apa.""Yang bener?""Bener!"
Rangga terdiam, kelihatan lega. Dia tidak tahu, kedua cewek di depannya juga merasa lega, karena tidak terbongkar merekalah biang keroknya."Lo bisa nolongin gue nggak, La? Tolong cari tau siapa tuh cewek.""Kan dia disuruh Ratih. Lo tanyain si Ratih dong. Eh, tapi Ratih itu siapa sih?"Rangga menyeringai. "Nggak akan gue kasih tau!""Nggak masalah." Langen mengibaskan tangan. "Lagian siapa juga yang pengen tau? Febi emang polos. Tapi gue nggak. Model kayak elo sih, gue bisa baca!"
Fani tertawa. Tapi buru-buru diam begitu Rangga menatapnya tajam."Ratih nggak kenal tuh cewek!""Hah! Nggak kenal?" Langen berlagak kaget banget. "Wah! Aneh banget tuh! Oke deh. Lo tenang aja. Ntar gue selidikin siapa cewek kurang ajar itu!""Kapan gue dapet kabar?""Ya nggak bisa dipastiin. Orang nyarinya ke mana aja, kami belom tau. Pokoknya begitu udah kami temuin tuh cewek, secepatnya kami kasih tau elo.""Oke kalo gitu. Gue tunggu. Thanks banget, La.""You're welcome," Langen menjawab manis.Rangga pergi tanpa curiga. Dan begitu dia hilang di koridor utama kampus, Langen dan Fani kontan cekakakan sampai perut. Dan agar niat mereka untuk menolon itu kelihatan serius, mereka berdua lalu menyatroni SMA Rangga dulu yang juga SMA-nya Rei dan BimaSMA Santo Martin.
Langen dan Fani duduk di bangku semen di dekat gerbang dan mulai memerhatikan siswi-siswi SMA itu satu per satu. Mencari satu orang saja yang agak mirip-mirip Salsha.
Ajaibnya... Ada lho! Kontan keduanya melongo begitu cewek itu melintas di hadapan mereka. Memang tidak mirip-mirip amat sih. Tapi tidak masalah. Yang penting ada target buat dijadikan kambing hitam!
Keduanya langsung melompat bangun dan diam-diam mengikuti dari belakang. Dan dari beberapa orang yang menyapa cewek itu, mereka jadi tahu nama cewek itu Vinka. Tanpa buang waktu, Langen langsung lapor ke Rangga bahwa dia sudah menemukan oknum teroris itu."Namanya Vinka, Ga. Anak Santo Martin juga. Tapi nggak tau kelas berapa.""Nggak apa-apa. Itu juga udah cukup. Thanks."
Dan tanpa selidiki lagi malah tanpa buang waktu lagi Rangga langsung menemui Ratih, memintanya untuk bicara dengan si Vinka itu apa maksud semua tindakannya. Bersamaan dengan itu, Langen mengontak Salsha. Minta tolong supaya, Saskia, sepupu Salsha yang sekolah di Santo Martin, untuk memonitor.
Dan menurut laporan Saskia via Salsha, besoknya Ratih dan Vinka ribut besaaaar!
Ratih mendatangi Vinka di kelasnya dan langsung mengamuk. Dia membentak-bentak Vinka saat kelasnya sedang ramai. Memaksa cewek itu mengaku, apa maksudnya mencari Rangga sampai ke kampus segala!Sementara Vinka yang tidak mengerti ''ada apakah gerangan?'' jelas saja tidak terima dimaki-maki di depan banyak mata begitu. Dia langsung balas marah-marah juga. Perkembangan berikutnya benar-benar di luar dugaan. Ratih dan Vinka muncul di kampus Universitas Sagarmartha!"Siapa yang namanya Rangga!?" tanya Vinka galak."Gue," jawan Rangga bingung."Elo!?" seketika kedua mata Vinka menyorot Rangga dengan tajam dan penuh kemarahan. Dia lalu melangkah mendekat dan pasang badan di depan Rangga persis. Meskipun badannya imut, mirip Salsha, tapi berhubung telah menjadi korban fitnah dengan sangat semena-mena, dia jadi tidak takut. "Apa maksud lo!? Kapan gue pernah dateng ke sini nyariin elo!? Siapa lo aja gue nggak tau! Jangan sembarangan dong lo! Dia marah-marah sama gue!" tangannya menunjuk muka Ratih, dekat dan lurus-lurus. "Nuduh gue macem-macem. Gue udah punya cowok tau! Ngapain juga gue ngerebut pacar orang!?"
Langen menarik Fani keluar dari kerumunan. Keduanya semakin memasang tampang se-innocent mungkin. Saat suasana kisruh begitu, Febi menunjukkan satu poin lebihnya sebagai cewek yang dibesarkan di lingkungan aristokrat tulen. Dengan suara anggun, tenang, dan berwibawa, dipotongnya omelan Vinka yang sudah seperti petasan renceng saking emosinya."Kita ngomong di tempat lain. Bisa ditahan emosinya sebentar, kan?"
Febi, Rangga, sang ''Sephia'' Ratih, dan si ''kambing hitam malang'' Vinka, lalu pergi entah ke mana."Rangga..... Rangga..... Ada-ada aja!" Bima tertawa geli. Di sebelahnya, Rei menyeringai lebar. Tertawa tanpa suara."Ada apa sih? Siapa tuh cewek?" tanya Langen dengan ekspresi muka setenang permukaan danau pada saat angin malas bertiup."Nggak tau." kedua cowok di depannya geleng kepala bersamaan.
Lama juga. Setengah jam lebih baru Rangga kembali dan langsung menghampiri Langen."Bukan dia, lagi!" desisnya dongkol."Yaaa, sori deh, Gaa....," Langen berlagak menyesal telah salah tunjuk. "Abisnya gue lupa-lupa inget tampangnya. Namanya juga baru ngeliat sekali.""Kenapa nggak lo cari sendiri?" tanya Rei tajam. Tidak terima ceweknya disalahkan."Ck!" Rangga berdecak. Ingin marah tapi tidak tahu harus ke siapa. "Lo pada pulang duluan deh. Gue masih ada urusan!""Oke!" Bima mengangguk, menahan tawa. "Udahlah, nggak usah disesalin. Dari dulu gue udah bilang, mendingan kayak gue. Punya belang kasih liat aja. Daripada kebongkar begini."
"Dasar babon!" bisik Fani di kuping Langen."Yuk, balik! Balik!" ajak Rei sambil meraih tangan Langen. Berempat, kemudian mereka tinggalkan tempat itu. Juga Rangga yang mukanya lecek berat.
***
Langen baru pulang dari rumah Salsha bersama Fani, menyampaikan perkembangan heboh itu, waktu ibunya bilang bahwa seharian Febi bolak-balik menelepon. Langen dan Fani saling pandang sesaat, lalu buru-buru berlari ke meja telepon."Kenapa dia nggak telepon ke HP sih?" ucap Langen sambil memutar nomor."Berarti dia shock berat, La. Sampe jadi bego!" jawab Fani sambil menarik kursi rapat-rapat ke sebelah Langen."Halo? Juminem? Ndoro Gusti kamu ada nggak? Ini dari yang Mulia Ndoro Gusti Langen!""Elo, La!" Fani terkikik, tapi buru-buru menutup mulut. Takut terdengar orang di seberang.
"Halo? Ada apa, Feb? Kata nyokap gue, lo bolak-balik nelepon....? Iya, gue abis nganterin Fani. Lo kan tau dia paling nggak bisa kalo ngeliat ada kaus yang lucu. Pasti pengen punya..... Oh, iyalah. Kaus di toko. Bukan di jemuran orang. Kalo itu sih gue cuma ogah nemenin. Bukan apa-apa. Tanggung soalnya kalo cuma kaus. Mending sekalian sama jins atau seprai, gitu. Apalagi kalo bisa dapet baju pesta. Lumayan banget tuh!''
Sampai di situ, omongan Langen terputus tawa berderai Fani. Sementara Febi cuma tersenyum tipis. Sudah tidak kaget lagi dengan mulut Langen yang memang sering ngaco.
"Itu, La....waktu ke rumah gue itu, lo sebenernya mau ngomong apa?""Oh, yang waktu itu? Nggak. Gue cuma mau ngasih tau lo aja, cowok-cowok itu ternyata pada bohong. Selama ini kan mereka selalu bilang kalo kegiatan-kegiatan itu cuma untuk intern. Kalo nggak begitu, ya mereka ngasih alasan macem-macem deh. Kesannya orang awam gunung kayak kita-kita gini bakalan cuma ngerepotin, nyusahin aja. Makanya gue punya rencana mau bikin mata mereka melek. Kalo cuma naek gunung aja sih..... Kita juga bisa!""Terus?""Terus apanya?""Ya rencana lo itu."
Sepasang mata Langen melebar. Si ningrat ini terbakar jealous juga akhirnya! diancungkannya jempol ke Fani sambil mengedipkan mata. Lalu diubahnya suaranya seperti orang yang sudah pasrah.
"Yaaah, gimana ya? Setelah gue pikir-pikir, omongan lo itu ada benernya juga, Feb. Buat apa protes? Orang mereka dari dulu emang udah begitu. Ya udahlah. Terima aja.""Hmmm, begitu?" suara Febi terdengar agak sedih, tapi Langen berlagak tidak paham."Iya, Feb. Begitu aja. Ngapain lagi pusing-pusing? Emang kenapa sih?""Nggak! Nggak apa-apa!" jawab Febi buru-buru. "Tapi..... Waktu lo datang ke rumah gue itu....lo udah punya rencana mateng atau baru gagasan?""Ya jelas planning mateng dong.""Besok pulang kuliah lo langsung ke rumah gue ya? Gue pengen tau.""Buat apa? Kan nggak jadi?""Nggak apa-apa. Gue cuma pengen tau aja. Ya?""Iya deh. Terserah elo."Telepon di seberang ditutup. Langen langsung tertawa keras-keras."Berhasil, Fan! Jealous juga dia akhirnya. Emangnya enak, dibohongin di belakang? Besok kita disuruh ke rumahnya. Dia mau nanyain soal rencana gue itu!"Jam dua belas tepat, kuliah hari ini berakhir."Makan somay dulu yuk, La? Dari semalem gue belom makan nih. Terus itu kita makan rujak sebentar.""Rujak melulu lo. Diare baru tau rasa. Kita makan di rumah Febi aja. Pasti deh ntar ditawarin makan.""Tidak! Cukup sekali!"
Langen tertawa. Dia tahu kenapa Fani ogah. Mereka memang pernah makan malam di rumah Febi. Sekali. Namanya ditawari makan, jelas saja langsung mereka sambut dengan girang. Barangkali saja mereka akan menemukan masakan zaman kerajaan-kerajaan dulu.
Tapi ternyata, suasana di meja makan di rumah Febi jauh lebih khidmat daripada upacara tujuh belasan di Istana Negara! Mirip di film-film horor, begitu hening dan sunyi mencekam! Hanya bunyi desau-desau angin yang menggoyang pucuk-pucuk didaunan di luar sana.
Gimana nggak? Makan tidak boleh sambil ngomong, apalagi cekikikan kayak kuntilanak. Mulut juga harus terus ditutup. Bibir harus rapat dan baru boleh dibuka kalau makanan mau masuk. Saat sendok beradu dengan garpu atau piring, tidak boleh sampai mengeluarkan suara. Dan makannya juga harus sampai benar-benar bersih. Satu butir nasi pun tidak boleh ada yang tertinggal.
Alhasil, dimana-mana yang namanya habis makan kan biasanya jadi kenyang. Tapi kalau di rumah Febi, habis makan malah jadi puyeng!
Sementara itu Febi sedang melamun di teras rumahnya, menunggu. Ini pertama kalinya dia membuka diri. Tadinya dia berpikir, dirinya takkan pernah membutuhkan Langen dan Fani. Karena di mata Febi, dua cewek itu benar-benar cewek kasar! Tipikal masyarakat golongan kasta rendah. Urakan, tidak tahu tata krama. Kalau bicara seenak udel. Ketawanya juga mirip Buto Ijo! Kalau bercanda tidak peduli tempat, tidak peduli situasi. Meskipun sedang makan, mulut penuh, keduanya bisa saling mencela dengan sangat seru dan riuh.
Dan yang sempat membuat Febi shock, tiba-tiba saja dia dianggap bukan siapa-siapa. Langen dan Fani sama sekali tidak terkesan dengan darah biru tulen dan gelar kebangsawanan di depan namanya. Boro-boro hormat seperti kebanyakan orang memperlakukan dia dan keluarganya. Memandangnya saja cuma dengan sebelah mata.
"Permisiiii....."Febi tersentak dari lamunan. Dia berdiri dan segera melankah menuju pintu gerbang."Masuk," ajaknya. Langen dan Fani melangkah masuk dengan tertiba lalu duduk dengan sopan di kursi teras. "Makan dulu yuk? Udah jam satu lewat nih."
Keduanya kontan menjawab kompak, "Nggak usah, Feb. Terima kasih. Kami udah makan kok. Nggak usah repot-repot deh.""Ya udah kalo begitu," Febi tidak memaksa. "Kita ke kamar gue aja yuk?" Dia berjalan ke dalam. Langen dan Fani buru-buru berdiri dan mengekor di belakannya."Jadi rencana gue itu begini, Feb," Langen langsung menjelaskan rencananya, setelah mereka duduk berhadapan di dalam kamar. Tentu saja dengan tidak lupa berakting seolah-olah dia sudah tidak ada niat untuk balas dendam lagi. Seperti kebiasaanya, Febi mendengarkan tanpa menyela, sampai Langen selesai menjelaskan semuanya. "Begitu, Feb, rencana gue."
Febi mengangguk lambat-lambat. Ditatapnya dua wajah di depannya. Tanpa dia tahu, wajah-wajah itu cuma polos luarnya saja."Kalo kita jadiin, gimana?" tanya Febi."Maksudnya?" tanya Langen, dalam hati siap sorak-sorak."Maksudnyaa....ya kita bikin mata mereka melek!"Wajah-wajah di depannya langsung tersentak dan menatapnya lurus. Tidak percaya."Bener nih? Lo setuju?" seru Langen tertahan."Iya dong! Cowok-cowok kita kan pada kompak. Jadi kita harus kompak juga!"CONTINUE TO BAB 4

Girl!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang