BAB 2

26 2 1
                                    

BEGITU mendapatkan hot news yang benar-benar hot itu, dengan penuh semangat Langen dan Fani segera meluncur ke rumah Febi. Keduanya sudah sangat yakin bahwa berita menggemparkan itu juga akan membuat Febi tercengang. Dan Febi tidak akan lagi berpihak kepada Rei dan kedua sobatnya, Bima dan Rangga.Perlu diketahui, sudah lama Langen melancarkan aksi protes soal banyak seringnya Rei cs pergi ke A, B, C, D, E, dan ke banyak tempat lagi, tanpa satu kali pun mau mengajak. Hanya membawa oleh-oleh cerita, itu pun sering kali tidak lengkap. Sangat tidak lengkap malah. Tapi bukannya membela Langen dan Fani yang notabene sesama cewek, Febi Justru selalu berada di pihak Rei cs. Gimana aksi protes kedua cewek itu tidak selalu gagal kalau hasil akhir voting selalu dua lawan empat!Mending kalau Febi mendukungnya cuma dengan ngomong ''iya'' atau anggukan kepala. Febi tuh selalu saja memberi nasihat. Selalu saja memakai wejangan. Gimana kekalahan tidak menjadi semakin telak, dinasihati panjang-panjang soal kodrat laki-laki dan perempuan di depan cowok-cowok yang justru anti-emansipasi!"Ternyata mereka selama ini bohong, Feb. Katanya nggak pernah ada cewek yang ikut. Nggak taunya banyak. Apalagi Stella. Tuh cewek nggak pernah absen! Iya kan, Fan?" kata Langen."Bener banget!" tandas Fani langsung."Dan cewek-cewek yang ikut itu ternyata juga bukan yang model-model Xena atau Laila Ali, gitu. Fisiknya pas-pasan. Makanya selalu aja ada yang sakit. Malah ada yang sampe pingsan!" Langen meneruskan hasutannya."Betul!" tandas Fani lagi."Dan si Stella itu pakarnya pingsan, Feb. Apalagi kalo di depan cowok yang lagi diincer. Waaah, pingsan mulu dia! Biar ditolongin, diperhatiin, dijagain. Dan lo tau sendiri kan, kalo cowok udah sampe ditaksir sama cewek satu itu? Wassalam! Udah nggak bisa diapa-apain lagi. Tingggal bisa didoain doang, semoga tahan godaan.""Tapi gue nggak percaya Rangga akan begitu," ucap Febi tenang."Kita bukan lagi ngomongin Rangga, Feb. Tapi Stella! Steeeella! Kita kudu jaga-jaga. Itu maksud gue!""Jaga-jaga kan bukan berarti kita mesti ikut. Ya kayak yang lo bilang tadi. Didoain. Gue rasa cukup. Malah lebih manjur."Didoain doang!? Langen melotot. Ini anak udah kayak emak-emak aja!"Lo nggak takut, Feb?""Nggak." Febi geleng kepala.Langen berdecak. Saling pandang dengan Fani. Sudah waktunya mengeluarkan hot news!"Gue dapet informasi yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, Feb" katanya, dengan nada sungguh-sungguh dan ekspresi muka sangat serius. "Katanya Stella sampe pernah.....bugil! Di depan Bima!"Febi kontan ternganga. Tapi hanya sesaat. Setelah itu dia tersenyum geli. Hampir tertawa, tapi buru-buru ditutupnya mulutnya dengan telapak tangan."Siapa yang bilang begitu? Nggak mungkin itu. Pasti bohong. Isu, gosip.""Bima sendiri yang ngomong, Feb. Dia cerita sama gue kok. Bener!""Bohong itu, Fan. Jangan percaya.""Tapi Bima sendiri yang ngomong!" Fani ngotot. Kedua matanya sampai melotot.Tapi Febi tetap cuma senyum-senyum. Tetap tenang. Tidak terbakar sama sekali. Benar-benar jauh dari perkiraan Langen dan Fani, bahwa dia bakalan shock berat terus pingsan. Ini boro-boro shock apalagi pingsan, percaya seuprit juga nggak!"Itu udah pasti berita bohong. Kalian berdua mikir dong. Emangnya itu nggak menghancurkan nama dan harga diri?""Tapi....""Udah. Udah," potong Langen, menghentikan protes sahabatnya. "Okelah, kita anggap itu bohong. Tapi sekarang kita tau, ternyata setiap mereka pergi itu ada ceweknya! Nah, pertanyaannya....." Langen menatap Febi lurus-lurus. "Kenapa mereka nggak pernah mau ngajak kita?""Gue punya jawabannya." Febi tersenyum lebar. Agak geli. "Mau denger?""Apa?"Sejenak Febi menatap ke luar jendela. Kedua temannya ini memang tidak tahu batasan. Tidak bisa mawas diri. Meskipun pacar, orang yang paling dekat, tetap ada garis yang tidak bisa dilanggar. Perempuan itu harus tahu kodrat!"Sini ta' kasih tau," Febi memulai wejangannya. "Mereka pasti punya alasan untuk nggak ngajak kita."
"Alasannya, jelas karena mereka nggak mau direpotin! Apa lagi?" jawab Langen cepat.
"Bukan juga. Aku, eh, gue liat bukan itu. Mereka itu kan emang senengnya kegiatan-kegiatan keras begitu. Sementara kita.....," Febi mengangkat kedua alisnya, "boro-boro!"
"Kan bisa belajar!"
"Belajar emang bisa. Tapi untuk apa, coba? Kalo tujuannya cuma untuk menyaingi mereka, gue rasa nggak bagus. Kegiatan-kegiatan yang kayak begitu kan emang udah dunianya cowok. Kalopun ada ceweknya, itu cewek-cewek yang pada dasarnya emang bener-bener suka. Bukan karena ikut-ikutan atau punya tujuan lain. Jadi nggak usahlah kita ribut. Nuntut ini, nuntut itu. Jadi perempuan itu mesti tau kodrat, La. Kamu juga, Fan. Mesti bisa mawas diri. Mesti tau mana yang pantes dan mana yang nggak."

iiiiuuugh! Langen mendesis pelan. Jadi tambah dongkol lagi.
"Terus juga....," sambung Febi. Kali ini nada suaranya sangat hati-hati. "Mereka itu kan udah semester enam, dua tahun lebih tua dari kita. Jadi elo seharusnya manggil Rei itu 'Mas Rei', La. Elo juga, Fan, jangan panggil 'Bima' gitu aja. 'Mas Bima', atau 'Bang Bima' kalo pake adat Betawi. Atau 'Kak Bima'-lah, kalo elo malu panggil dia 'Abang'."

Langen dan Fani sontak terperangah.
Mas Rei? Abang Bima? Oh, Tuhan......berikanlah petunjuk-Mu kepada teman kami yang sungguh sangat budiman ini! Keduanya berdoa dalam hati dengan kata-kata yang nyaris sama.

Febi kemudian meneruskan kalimatnya, tak peduli dengan sorot kengerian di dua pasang mata di depannya akibat kata-katanya barusan.

"Kita harus hormat pada orang yang lebih tua. Apalagi kalo langgeng nih mereka akan jadi calon suami. Dan selamanya, suami adalah tuan!"

Makin tercenganglah Langen dan Fani.
Oh, no! No! Tidak! Tidak!!!
Benar-benar deh, si Febi ternyata memang produk zaman Majapahit!

***
"Febi itu kok bisa sampe kuno banget gitu ya, La? Amit-amit deh!" Fani geleng-geleng kepala.
"Emang! Sebel!" dengus Langen.
"Pantesan aja Rangga cinta mati sama dia. Hari gini bo, di mana lagi bisa dapet cewek kece, tajir, tapi geblek banget gitu! Lo denger tadi? Kita disuruh manggil cowok-cowok itu 'Mas' atau 'Abang'? Kebayang nggak sih lo?Bang Bimaaaa!?" Fani membelalakkan matanya lebar-lebar. "Gue pilih nyikatin Monas dari tangga paling bawah sampe ke ujung emasnya, daripada manggil Bima 'Abang'!"
"Iya, emang gila tuh anak!" Langen serentak bergidik. "Hampir aja gue epilepsi denger usulnya tadi."
"Jadi sekarang gimana nih?"
Langen mendecakkan lidah, lalu mengetukkan jari-jarinya di dasbor. Mencari akal bagaimana caranya melibatkan Febi ke dalam rencana besar mereka. Harus! Karena kalau tidak, itu akan jadi bahaya besar. Bukan karena Febi tukang ngadu, tapi karena cewek satu itu terlalu polos dan sama sekali tidak bisa berbohong. Selama ini dia selalu kena hasutan Rei dan Bima dengan gampang dan sukses. Kalau kedua cowok itu merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan cewek-ceweknya, mereka akan langsung mencari tahu lewat Febi. Dan Febi, dengan falsafah hidup ''Bohong itu dosa'', jelas saja langsung membeberkan semua yang dia tahu.

Makanya, setelah tahu bahwa Febi ternyata sangat ''berbudi luhur'' begitu, Langen dan Fani jadi ekstra hati-hati. Jangan sampai kelepasan ngomong di depannya.
"Ah, iya! Ya ampun!" seru Fani. "Gampang banget, lagi. Kita minta tolong Salsha aja."
Langen terbelalak sesaat, lalu dipukulnya kuat-kuat jok yang didudukinya.
"Ide lo brilian banget! Puter arah, Fan. Kita ke tempat Salsha sekarang!"
"Oke, Bos!"

***
Salsha itu teman sekelas mereka waktu kelas 1 SMA. Seru banget sekelas sama dia. Mukanya sih sangat kalem. Genderung innocent malah. Badannya juga imut, kecil. Tapi, kalau kelas jadi ribut atau ingar-ingar, 75% itu pasti gara-gara dia.

Salsha langsung ketawa-ketiwi begitu Langen menceritakan maksud kedatangannya. Dia memang paling senang kalau ada yang minta pertolongan model-model begitu.
"Itu sih gampang. Urusan gini aja pake nyari gue."

"Nggak usah sok penting deh lo!" Langen menjitak kepala temannya. "Ada alasannya kenapa kami sampai terpaksa nyariin elo. Tapi itu ntar aja. Cerita lengkapnya menyusul."

Sekali lagi Salsha memerhatikan tiga lembar foto yang tadi diserahkan Langen padanya. Foto-foto Rei, Bima, dan Rangga.
"Oke deh!" Dia acungkan satu jempolnya. "Serahin ke gue!Dua hari kemudian Salsha muncul di kampus Universitas Sagarmatha. Dia langsung menuju gedung Fakultas Ekonomi dan menghampiri tiga cewek yang sedang duduk di satu bangku panjang, dengan lagak kebingungan.
"Ehm, maaf. Fakultas Perminyakan di mana ya?"
"Di gedung belakang." jawab Langen, pura-pura tidak kenal. Salsha memang sudah memberitahukan rencana kedatanganya lewat telepon tadi malam. Karena itu siang ini Langen dan Fani memaksakan diri bermanis-manis targetnya. "Cari siapa?" tanya Langen.
"Rangga."
Sepasang mata Febi langsung melebar. "Rangga?" tanyanya.
"He-eh," jawab Salsha centil. Membuat kedua mata Febi jadi semakin lebar lagi.
"Rangga Dipa Dilaga?" Febi mulai antusias.
"He-eh. Keren banget ya namanya?" Salsha mengedipkan mata kirinya sambil senyum-senyum bangga."Kenal juga ya? Tapi tuh cowok dari dulu emang ngetop. Wah, pokoknya udah selebriti deh!"
"Mbak ini....siapanya? Dulu......pacarnya?" suara Febi langsung putus-putus.
"Emangnya kenapa?" Salsha menatap Febi tajam. "Dia punya pacar!?" tanyanya galak. "Awas aja tuh orang kalo sampe berani punya pacar!"

Muka Febi kontan pucat. Sementara Langen dan Fani langsung bengong. Bengong sungguhan karena mereka berdua memang tidak tahu sandiwara Salsha. Soalnya semalam di telepon, Salsha hanya mengatakan akan datang ke kampus, tanpa mau menjelaskan apa yang akan dilakukannya. "Pokoknya surprise deh!", cuma itu kalimat penutupnya.
"Oke deh. Makasih ya, informasinya. Yuk, dadah!" Salsha melenggang pergi. Tapi tak lama dia balik lagi. "Di mana tadi kelasnya? Saya lupa."
"Emang belom dikasih tau!" Jawab Langen agak kesal. Fani meringis. "Digedung belakang. Yang di tempat parkirnya ada pohon cemara. Lantai tiga. Tapi biasanya dia suka nongkrong di ruang senat."
"Oke deh. Makasih ya? Daaaah."
Salsha pergi. Melenggung dengan gaya dibuat-buat.
"Ngapain dia nyariin Rangga ya?" Langen mulai mengipaskan bara.
"Tau tuh. Centil banget, lagi. Siapa sih tuh cewek?" Fani langsung membantu.
Febi terus menatap Salsha dengan ekspresi muka yang susah dibaca. Tiba-tiba dia berdiri.
"Yuk!" ujar Febi tiba-tiba.
"Ke mana?" Langen berlagak bego.
Febi tidak menjawab. Dia tidak tahu, dua orang di belakangnya mengikuti sambil meringis dan saling main mata.

Sementara itu Rangga bingung ketika tiba-tiba saja seorang cewek yang sama sekali tidak dikenalnya mendatanginya. Apalagi cewek itu bertanya dengan suara mendesah dan gaya yang begitu menggoda.
"Rangga, ya?"
"Siapa lo?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Kenalin," Salsha mengulurkan tangan kanannya, masih sambil menebar senyum genitnya yang disambut agak ragu oleh Rangga, "gue kurirnya Ratih yang baru!"
Rangga tersentak. Mukanya kontan pucat dan genggamannya terlepas.
"Ng......maksud lo?"
"Gue dimintain tolong sama Ratih buat nyariin elo. Kalo udah ketemu, gue disuruh bilang, elo disuruh ke rumahnya. Penting katanya. Elo ke mana aja sih? Sampe dia mengiba-iba ke gue dengan sangat mengenaskan, minta tolong supaya gue nyariin elo. Elo tau nggak? Itu anak sampe sakit, katanya gara-gara lo udah nggak pernah dateng lagi. Jadwal pentasnya sampe banyak yang dibatalin, tau nggak? Elo jangan gitu dong! Habis manis sepah dibuang. Elo dulu bilangnya kan cinta mati sama dia. Dan hanya maut yang akan memisahkan kalian! Gitu kan janji basi lo? Makanya Ratih sampe nyiptain tarian khusus buat elo, waktu eli lulus-lulusan dulu banget itu. Terus dia nyiptain tarian baru lagi, khusus buat elo lagi, waktu instingnya merasa sesuatu telah terjadi. Jangan bilang udah lupa deh! Jadi...." Salsha sengaja memenggal kalimatnya untuk meningkatkan intensitas ketegangan di sekitarnya. "Elo ditunggu. Secepatnya!"

Rangga semakin pucat. Gelisah diliriknya sekeliling.
"Ya udah. Cuma itu doang. Oke, ya? Bye!" Salsha langsung balik badan. Rangga buru-buru mencekal satu tangannya. Tapi cepat dia lepaskan lagi saat tidak sengaja menoleh, mata dingin Febi menyorot tajam. Akhirnya cowok itu bingung mau ngomong apa.

"Apaa?" tanya Salsha pura-pura tak sabar. "Sori nih, gue buru-buru banget. Mendingan lo temuin aja deh tuh..... Si Ratih. Dia nyariin lo udah dari kapan tau. Ntar gue dikira nggak usaha, lagi. Oke? Dateng bener lho ya. Jangan sampe nggak. Kasian dia. Ntar dia sakit lagi." ditepuknya satu bahu Rangga, lalu buru-buru pergi. Tinggal Rangga berdiri kikuk di tengah lima orang yang menatapnya dengan sorot semakin tidak mengerti.
"Siapa, Ga?" tanya Bima.

Rangga langsung memberi isyarat untuk tidak bertanya. Lembut, digamitnya lengan Febi.
"Kita perlu ngomong, Feb," katanya halus. Dan dibawanya Febi pergi dari situ.CONTINUE BAB 3

Girl!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang