BAB 22 (2/2)

9 0 0
                                    

Mendadak pintu di ujung lorong terbuka. Refleks Fani menurunkan kepala, lalu mengintip lagi pelan-pelan. Dilihatnya Bima berjalan cepat ke depan. Buru-buru Fani melompat turun. Perlahan dibukanya pintu kamar mandi dan diintipnya keluar. Dapur kosong. Si mbok itu entah ke mana. Tanpa buang waktu, Fani berlari ke ruang tamu lalu meringkuk di belakang sofa.Lewat jendela di ruang tamu, Fani melihat Bima berdiri di gerbang depan, sedang memandangi buku yang disodorkan petugas pos. Cewek itu semakin meringkuk saat Bima lewat di depan jendela, kembali ke pintu samping.Begitu terdengar pintu samping dibuka lalu ditutup kembali, Fani langsung berlari keluar. Disambarnya sepatu ketsnya di teras dan dipakainya sambil terus berlari menuju pintu pagar. Dan setelah lima detik mengerahkan seluruh cadangan tenaga, pintu pagar itu boro-boro terbuka, bergeser sedikit pun tidak. Terpaksa Fani menggunakan keahlian yang diperolehnya semasa SMA. Keahlian yang wajib dimiliki oleh setiap murid yang datang telat. Dia memanjat pagar tinggi itu lalu melompat keluar dan langsung berlari sekencang-kencangnya.Karena sudah mendapatkan penempaan fisik yang cukup, kecepatan berlari Fani menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Tapi tetap, kalau urusannya melawan Bima, taktik lebih diperlukan daripada kecepatan. Karena itu sambil terus berlari, otak Fani juga berputar. Dan begitu dilihantnya seorang ibu sedang kerepotan mengangkati jemuran sambil menggendong anak balitanya yang rewel, Fani langsung menghampiri.''Sini, Bu. Saya bantuin,'' ucapnya. Ibu itu menoleh kaget. Ditatapnya Fani dengan kening berkerut. ''Sini saya bantu ngangkatin jemuran. Kayaknya Ibu repot banget.''''Oh, iya. Ini anak saya, badannya lagi panas. Makanya rewel terus. Terima kasih ya. Sebentar saya bawa dulu dia ke kamar.''Ibu itu berjalan masuk ke rumah. Fani memandang berkeliling. Dia harus membuat penyamaran dulu, karena baju-baju yang dijemur hanya akan menutupi badan dan kepalanya. Sementara kaki sudah pasti akan terlihat jelas. Tatapannya berhenti di sehelai kain kumal yang menggeletak di lantai teras. Fani jadi tahu kenapa kain itu ditelantarkan, setelah meraihnya. Ternyata baunya ''yeeekh!'' sekali. Sepertinya ini ompol paling gres bayi tadi. Tapi tidak apa-apa. Sip malah. Ini namanya penyamaran ala sigung!Cepat-cepat Fani melilitkan kain itu sampai menutupi sepatunya. Kemudian dia segera memulai pekerjaannya. Sambil pura-pura mencopoti jepitan baju, ia bersembunyi di balik kain-kain lebar, seperti seprai dan selimut. Karena hanya dua itu yang nantinya tidak menyisakan celah terbuka. Tepat di selimut terakhir, Bima muncul. Fani yang sudah hafal benar dengan langkah-langkah kaki itu, seketika merunduk di balik selimut.Bima berjalan mondar-mandir. Tarikan napasnya sudah seperti dengus banteng aduan. Bukan cuma karena habis lari ke sana kemari, tapi juga karena dia sedang sangat marah!Setelah berkali-kali menoleh ke segala arah, akhirnya Bima pergi. Dia sama sekali tak berminat untuk memeriksa seseorang di balik jemuran. Soalnya bila dilihatnya dari kain buluk yang dipakai, cewek itu sudah pasti pembantunya yang punya rumah."Terima kasih, ya?"Teguran itu membuat Fani nyaris menjerit. Alamak! Nyaris amat ibu ini nongolnya ya? Desisnya dalam hati."Maaf. Kaget, ya?""Iya." Fani tersenyum basa-basi lalu cepat-cepat melepaskan kain bau yang dipakainya."Itu kan kotor?" Ibu itu mengerutkan kening.Fani cuma meringis. Tak bisa menjawab."Bu, kalo mau ke jalan besar, lewat mana ya?""Oh, itu. Kalau nanti kamu sampai di pertigaan depan, beloj kiri. Terus....."Ibu itu menjelaskan apa yang diminta Fani. Setelah mengucapkan terima kasih dan setelah sekali lagi menghafalkan arah yang jelaskan, Fani langsung tancap gas. Lari sekencang-kencangnya menuju gerbang kebebasan!Pelarian itu nyaris sukses. Fani nyaris sampai di rumahnya dengan selamat, sehat, dan utuh. Tapi sekali lagi.....nyaris.Hanya nyaris.Hanya berjarak kurang dari dua ratus meter dari pintu pagar rumahnya, sebuah Jeep Canvas muncul tiba-tiba. Melaju dari sisi kanan dan memaksa taksi yang ditumpangi Fani untuk menepi, dengan satu teriakan klakson yang memekakkan telinga. Fani terkesiap."Pak! Pak! Cepet, Pak! Ngebut! Itu tinggal deket lagi! Cepetan!" dia menjerit-jerit panik.Terlambat!Jeep Bima telah melintang di tengah jalan. Cowok itu melompat turun dan dalam sekejap telah berada di luar jendela taksi di saat Fani belum sadar dari keterpanaannya."Stop pinggir, Pak! Cepet!"
Perintah itu terdengar jelas meskipun seluruh kaca jendela tertutup rapat. Si sopir taksi, yang mengira dirinya sedang dirampok, langsung menurut. Bima berjalan kembali ke Jeep-nya. Fani tersadar."Pak! Nanti begitu mobilnya minggir, langsung ngebut, Pak!"
Tapi si sopir taksi menggeleng kuat-kuat. "Jangan, Neng. Biarin aja. Uang saya cuma sedikit kok. Baru keluar. Baru dapet dua puluh ribu. Biar aja dia ambil, daripada mobil saya dirusak atau nyawa saya melayang!""Dia bukan perampok, Pak! Dia itu pembunuh!" ucap Fani nyaris menjerit."HAH!?" si sopir taksi terkesiap dan kontan semakin pucat. "Pe....pe....""Iya! Makanya cepetan kita kabur!" seru Fani.Tapi karena kata-kata Fani itu, si bapak sopir jadi shock. Dia cuma bisa mematung. Dan ketika Bima kembali dan mengetuk-ngetuk kaca, menyuruhnya membuka pintu belakang sebelah kiri karena Fani telah menguncinya, lagi-lagi dengan patuh diturutinya perintah itu."Jangan! Jangan! Jangan dibuka! Jangan biarkan dia masuk!" jerit Fani. Mati-matian berusaha disingkirkannya tangan si sopir taksi dari tombol kunci.
Di luar, Bima memerhatikan dengan tidak sabar. Diketuk-ketuknya lagi kaca jendela, meminta si sopir taksi untuk membuka pintu di sebelahnya. Dan begitu pintu itu terbuka, Bima mengulurkan tangan ke dalam. Mengenyahkan kesepuluh jari Fani yang menutupi tombol kunci rapat-rapat, kemudian menarik tombol itu ke atas bersamaan dengan tangan kirinya menarik hendel dari luar.
Dan tertangkaplah sang pelarian!"Halo, Sayang!" desis Bima tajam. "Urusan kita belom selesai. Aku belom jawab tantangan kamu yang terakhir!"
Fani memucat di ujung jok belakang. Si sopir taksi menatap tegang, mengira sesaat lagi akan terjadi pertumpahan darah. Dia sudah membayangkan akan masuk tivi, di salah satu progam khusus kriminalitas.
Bima bergerak maju, nyaris merapatkan tubuhnya dengan tubuh Fani."Apa kamu bilang waktu itu? Berani nggak aku peluk terus nyium kamu di depan mama kamu?" ditepuk-tepuknya kedua pipi Fani. "Kecil! Akan aku buat mama kamu, bahkan papa kamu, setuju kalo sekalian kuminta......kita kawin sekarang!""HAAA!? A-APA!?"
Fani terperangah amat sangat. Shock. Pucat pasi. Putih seputih kertas. Bima tersenyum puas. Yang diperlukannya saat ini memang wajah sekarat ini. Cowok itu menoleh ke sopir taksi, yang masih mengikuti setiap adegan dengan ekspresi terpana."Kenapa, Pak?""Ng.... Nggak! Nggak apa-apa!""Kalo gitu tolong ke rumah sana itu, Pak. Yang pagernya abu-abu." Bima mengulurkan selembar uang. "Kembaliannya buat Bapak."
Si sopir taksi menerima dengan heran. Ternyata pembunuhan yang ini baik sekali, soalnya tip yang dia berikan jumlahnya nyaris dua kali lipat dari argo. Taksi lalu berhenti tepat di depan pintu pagar rumah Fani."Tolong klaksonin, Pak!'' kata Bima sambil bergegas turun. Dibukanya pintu di sebelah Fani dan diraihnya cewek itu ke dalam pelukan.''Apa-apaan sih? Gue bisa....''Bima membenamkan wajah Fani di dadanya. Membungkam protes itu seketika. Kemudian digendongnya Fani dengan cara yang membuat cewek itu tidak bisa menggerakkan tangan maupun kedua kakinya. Ijah, yang keluar karena mendengar bunyi klakson, kaget melihat nona majikannya yang biasanya bisa jalan sendiri, sekarang sampai harus digendong. Buru-buru dia berlari menghampiri.''Non Fani kenapa, Mas?''''Tadi dia pingsan, Jah.''''Pingsan? Di mana?''''Di kampus. Tolong bukain pagernya.''''Iya! Iya!'' Ijah membuka pintu pagar lebar-lebar, lalu berlari masuk rumah sambil menjerit-jerit. ''NYAH! NYONYAH! NON FANI PINGSAN!!!''
Tak lama mama Fani keluar sampai bergopoh-gopoh. Rambutnya berantakan, bajunya kusut, keliatan sekali kalau di bangunkan dari tidur. Dan begitu melihat anak semata wayangnya sampai harus digendong, jelas saja dia jadi panik.''Fani kenapaaa!? Dari tadi kamu Mama cari-cari.....''
Fani sudah siap-siap bicara, tapi Bima mengetatkan pelukannya. Cowok itu cepat-cepat menyela.''Iya, sori, Tante. Tadi saya jemput Fani nggak bilang-bilang. Saya ngajak dia ke kampus. Tapi dia di kampus pingsan, Tante,'' jawab Bima. Dia telah menyetel tampangnya dengan ekspresi sangat cemas dan sangat khawatir. Saking betapa khawatir dan cemasnya dia, dipeluknya Fani kuat-kuat, dan diciumnya pipi Fani di depan mata sang mama!
Maka terjwablah sudah seluruh tantangan!Pelan dan hati-hati, Bima lalu merebahkan Fani di sofa panjang. Sang mama langsung duduk di sebelah anaknya itu, memerhatikan dengan kecemasan yang benar-benar menggunung.''Kamu kenapa? Kok bisa pingsan? Mukanya sampe pucet begini.''
Baru saja Fani mau menjawab, eh.....sekarang si Ijah yang menjawab pertanyaan itu.''Non Fani kan tadi pagi nggak mau sarapan, Nyah. Cuma gara-gara Ijah lupa beli roti tawar, trus gantinya Ijah bikinin nasi goreng pake telor ceplok. Eh, Non Fani nggak mau. Katanya kolestrol tinggi. Udah nasinya berminyak, masih dipakein telor, lagi! Gitu, Nyah.''''Nah, itulah. Jelas aja jadi pingsan.'' Mama Fani menghela napas.''Tapi Fani ini emang makannya susah, Tante,'' kata Bima.''Oh, iya. Betul itu. Memang begini nih anak, Nak Bima.''''Kalau saya paksa-paksa makan, dia marah, Tante.''''Iya, emang begitu!''Fani tercengang menatap Bima. Idih! Kapan lo maksa-maksa gue makan!?
Mulutnya sudah terbuka. Siap meneriakkan itu sama sekali tidak benar, tapi Bima langsung mendahului.''Padahal maksud saya baik, Tante. Jangan cuma gara-gara biar badannya tetep langsing, terus nggak makan. Kalo jadi sakit begini kan malah repot.''''Iya memang!'' Mama Fani langsung mengangguk setuju.''Tau tuh!'' Ijah ikutan ngomel.''Dan Fani ini juga nggak peduli kesehatan, Tante. ''Hobinya makan rujak!''''Kamu kelewatan bener sih, Fan?''''Itu bohong, Ma! Bohong! Nggak bener! Fitnah!'' Fani melompat bangun.Fani membantah sampai nyaris histeris, tapi dua orang di depannya sama sekali tidak percaya. Cewek itu lalu menoleh dan menatap Bima penuh dendam. ''Elo.....!''
Bima menyambut tatapan itu dengan senyum samar dan kedipan sebelah mata. Fani memalingkan lagi mukanya dengan perasaan dongkol yang makin menjadi.''Kalo udah kena maag, baru kapok kamu, Fan!'' omel mama Fani.''Iya emang, Nyah!'' Ijah ikut-ikutan lagi.
Fani menepuk dahi keras-keras. Hancur sudah! Lenyap semua harga dirinya dimarahi mamanya dan Ijah di depan drakula sialan ini!''Beraninya pada keroyokan! Kalo emang gentle, ayo di luar! Satu lawan satu!'' serunya.''Ini anak kenapa sih!? Nggak tau orangtua kuatir, malah ngajak bercanda!'' Kuping Fani langsung kena jewer. Fani memekik dan buru-buru menyelamatkan kupingnya.''Aduh, sakiiit.'' Diusap-usapnya kupingnya yang memerah.''Untung aja ada Nak Bima. Coba kalo nggak? Siapa yang nganter kamu pulang? Siapa yang jaga kamu di jalan?''''Untung ada diaaa!!!?''Fani menjerit melengking. ''Wah, Mama! Justru untung Fani masih hidup, Ma! Cuma pingsan doang! Sebelom-sebelomnya sampe ada yang jadi kuntilanak gentayangan, saking matinya nggak ikhlas! Penasaran! Malah ada yang.....ADOH!!!''
Kedua telinganya diplintir sang mama kuat-kuat.''Kurang ajar memang ini anak! Ditolong bukannya terima kasih!''''Iya, emang!'' Ijah ikut membentak. Lalu dia menoleh ke Bima, yang sedang setengah mati menahan tawa. Saking bibirnya sudah tidak bisa lagi ditahannya untuk tidak meringis, cowok itu terpaksa melepaskan ikatan rambutnya lalu menyembunyikan muka di balik uraiannya. ''Udah, Mas. Lain kali kalo Non Fani pingsan lagi, biarin aja dia nggeletak di jalanan. Nggak usah ditolongin!''Bima cuma bisa mengangguk-angguk.''Sekarang makan sana!''Fani mendengus mendengar perintah mamanya itu. Mana ketelen!''Ogah! Fani mogok makan!''''Nah, kan? Coba aja itu!'' seru sang mama gusar.''Emang hari ini Mama masak apa?''''Banyak, Non. Saya yang masak,'' Ijah yang menjawab. ''Kan tadi temen-temennya Tuan pada rapat di sini. Ada kesenengannya Non, sop sosis sama sosis goreng pedes.''''Sosis sapi, ya? Kuno! Sekarang udah nggak ngetren sosis sapi. Sekarang yang ngetop tuh.... Sosis monyet sama burger lutung!''
Mama Fani tidak sabar lagi. ''Udah! Udah, Jah! Nggak usah kamu ladeni dia! Malah ngelunjak!''''Tau tuh, Nyah! Ijah kirain serius!'' dengus Ijah.''Sekarang makan sana! Cepet!'' Mama Fani memelototi anaknya. Segera saja Bima memafaatkan peluang itu.''Makan yuk, Fan?'' bujuknya lembut. ''Nanti makin sakit lho. Kamu kan baru aja terkapar di kampus. Untung....''''Yang mengaparkan gue itu elo, tau!'' bentak Fani.''FANI!!!''Cewek itu mencelat dari sofa begitu melihat mamanya menjulurkan tangan.''Bener, Ma! Fani nggak bohong! Ini semua gara-gara dia!''
Bima segera menghentikan rentaan kalimat Fani yang bisa membahaykan dirinya itu, dengan mengeluarkan sesuatu dari kantong baju.''Tadi saya mampir ke apotek, Tante. Beli multivitamin. Kalo Fani masih susah disuruh makan, ini bisa untuk menjaga kondisinya. Supaya nggak ambruk lagi kayak sekarang ini.''
Ah, busa banget nih lutung! Pikir Fani.
Langen saja di mata mama Fani, Bima menjelma menjadi pria sejati. Calon menantu sempurna. Apalagi di zaman sekarang ini, rasanya tidak mungkin lagi bisa menemukan laki-laki yang bisa dipercaya dan bertanggung jawab seperti Bima ini.''Aduuuh, terima kasih lho, Nak Bima. Maaf ya, sudah dibuat repot sama Fani. Ini anak memang agak susah diatur.''''Nggak apa-apa, Tante.'' Bima langsung menampilkan wajah bak malaikat, yang selalu siap menolong.
Rentetan kalimat panjang Fani memang jadi terhenti karena itu. Dengan kening berkerut, diperhatikannya plastik bening berisi vitamin yang disodorkan Bima dan baru saja diterima mamanya dengan sangat terharu.''Itu pasti obat pelet!'' seru Fani.''Ih, nih anak!'' desis sang mama berang, dan dicubitnya lengan anaknya keras-keras.''Iyaow!'' Jerit Fani dan buru-buru menjauh. ''Bener, Ma! Kalo nggak obat pelet, itu pasti vitamin penjilat!''
Bima tertawa pelan dan menahan mama Fani yang sudah bersiap menghampiri anaknya dengan gulungan majalah di tangan.''Jangan, Tante. Dia cuma bercanda kok.''''Bercanda kok keterlaluan kayak begitu. Kayak nggak pernah sekolah aja!''''Tau emang!'' Ijah ikut membentak nona majikannya.''Apa lo!?'' balas Fani seketika. Jengkel banget dia karena Ijah ikut-ikutan.''Udah sana makan, cepet!'' perintah mama Fani. ''Udah, Jah! Jangan kamu ladeni dia!''
Meskipun telah menang mutlak, Bima tetap meneruskan aktingnya. Lembut, dibujuknya Fani untuk makan. Dan dengan lembut juga dibawanya cewek itu ke ruang makan. Maka makin jatuh cintalah sang mama, saat dilihatnya betapa sayangnya Bima pada anak tunggalnya itu.
Apalagi saat Bima menyendokkan nasi buat Fani, mengambil lauk, merayu-rayu supaya makan. ''Ayo dong, dimakan. Sedikit nggak apa-apa. Daripada perut kosong. Lagi pula kasian sedikit sama Ijah. Dia udah masakin makanan kesenengan kamu. Jangan dikira masak itu nggak capek lho, Fan. Coba deh kamu sekali-sekali gantiin tugasnya Ijah. Biar tau capeknya orang masak.''
Bisa pas juga Bima ngasih nasihat. Padahal dia sendiri seumur-umur belum pernah menyentuh panci atau penggorengan. Langsung saja di mata Ijah, cowok itu menjelma jadi ''Pahlawan Pembela Rakyat Kecil''!
Dan supaya semakin terlihat sebagai cowok yang santun dan tahu tata krama, Bima mempersilakan mama Fani.''Silakan makan, Tante.''''Oh, iya. Iya. Tante sih gampang. Kalian aja makan dulu.''''Ih, iya, Tante.... Oom mana?'' tanya Bima dengan ekspresi pura-pura sok perhatian.''Oh, Oom pergi lagi sama teman-temannya,'' jawab mama Fani.
Dan, selain santun dan bertata krama. Bima juga harus terlihat berbudi luhur dong. Biar komplet! Karena itu dia persilakan juga si Ijah.''Kamu udah makan, Jah? Ayo makan sekalian.''''Oh! Saya sih gampang, Mas. Mas Gen.....eh, Mas Bima makan aja dulu,'' jawab Ijah buru-buru.
Ijah langsung terharuuu sekali. Ternyata selama ini dia salah sangka! Ternyata Mas Bima itu orangnya baik sekali. Mau memerhatikan dia juga. Apalah arti dirinya yang cuma PKRT ini. Karena itu dia bertekad, akan sekuat tenaga berusaha supaya Mas Bima dan Non Fani-nya tetap awet sampai kapan juga!Dan kekalahan Fani semakin telak ketika malam itu juga dia dengan ''resmi'' diserahkan ke pihak lawan. Tak lama selesai makan, Bima pamit. Tapi mama Fani ternyata tidak mengijinkan.''Ada yang mau Tante bicarakan sama kamu.''''Ya, Tante?'' dengan perasaan heran, Bima duduk kembali.''Begini lho, Nak Bima. Tante mau minta tolong. Tolong Fani ini dijaga, diawasi.''Fani terperangah amat sangat. Sama sekali tak menyangka mamanya akan bicara begitu.''Diawasin!?'' dia menjerit nyaring. ''Emangnya Fani copet, apa!? Rampok!? Jadi mesti diawasin!?''''Jangan suka ikut campur kalo orangtua lagi ngomong!'' bentak mamanya.''Ma! Mendingan mama nyewa polisi aja deh. Atau detektif, buat ngawasin Fani. Itu malah lebih aman. Daripada dia. Dia ini psikopat, Ma! Bener-bener berbahaya!''
Sang Mama tidak mengacuhkan jeritan anaknya. Beliau tetap mengarahkan tatapannya pada ''calon menantu sempurna dan telah sangat langka di jagat raya'' idaman hatinya itu. Yang sedang menahan-nahan senyum di depannya.''Tolong ya, Nak Bima.....''''Iya, Tante. Nanti saya awasi dia. Mm.....gimana kalau sekalian saya ajak dia aktif di organisasi saya, Tante? Nggak apa-apa?''''Organisasi apa?''Fani langsung menyambar, ''Organisasi Bajak Laut Se-ASEAN, Ma! Dia kan ketuanya, eh, gembongnya!''Sekali lagi mama Fani tidak memedulikan sinyal tanda bahaya yang dijeritkan anaknya.''Mapala, Tante.''
Bima kemudian bercerita panjang-lebar tentang organisasinya. Komplet dengan semua kegiatan yang telah mereka lakukan, prestasi-prestasi yang telah mereka capai, dan visi-visi mereka ke depan. Dan makin terpukaulah mama Fani. Poin Bima di matanya semakin melejit tinggi-tinggi. Ternyata Ak Bima ini bukan hanya bertanggungjawab terhadap perempuan yang dipilihnya untuk dipacari, tapi juga terhadap kelestarian planet bumi!
''Oh, iya. Bagus sekali itu. Tante setuju! Daripada keluyuran nggak jelas. Lebih baik Fani belajar berorganisasi. Sekalian itu tadi, Tante minta tolong Fani ini dijaga, diawasi, dia memang agak susah diatur. Jadi kalau dia bandel, marahin saja. Jewer kupingnya kalau perlu!''
Bima jelas saja segera mengiyakan titah calon mertuanya itu dengan khidmat, dan berjanji akan melaksanakan perintah itu dengan penuh tanggung jawab. Perkara hasilnya nanti Fani malah jadi depresi, itu soal belakang. Yang penting kartu pas telah di tangan!
***
Begitu Bima pulang, Fani langsung mengemasi barang-barangnya dalam dua koper besar.''Mau ke mana kamu? Malam-malam begini?'' tanya mamanya heran.''Ke rumah Langen! Fani mau diadopsi sama mamanya Langen. Sekarang mama nggak punya anak lagi. Syukurin!" Dia balik badan dengan sombong. Diiringi senyum geli sang mama, Fani meninggalkan rumah malam itu juga.''Kenapa, lo?'' tanya Langen. Kaget ketika mendapati Fani berdiri di teras rumahnya dengan dua koper besar di kiri-kanan.''Minggat! Ada perkembangan baru, La! Parah banget! Bener-bener abis gue sekarang!''''Apaan?''''Besok aja ceritanya. Sekarang gue mau mandi trus tidur!''
***
''HAH!? GILA! GILA! GILA!!!'' Langen menjerit melengking. Ditatapnya Fani dengan mata yang benar-benar melotot. ''Elo gila, Fan! Sarap!''''Gue bener-bener nggak nyangka dia bakalan nekat, La!''''Elo harusnya nyangka, dong! Bima itu kan selalu nekat!''''Yah, jadi sekarang gimana dong? Lo malah teriak-teriak. Bukannya bantuin gue!''Langen tersadar.''Sori,'' ucapnya pelan. Dia lalu menoleh ke Febi yang tidak juga bersuara dari tadi. ''Gimana sekarang, Feb?'' tidak ada jawaban. ''Febi? Woiiii!''Febi tergeragap. ''Eh, sori. Sori. Tapi Bima mau tanggung jawab kan, Fan?''''Aduh!'' seketika Fani memukul kepalanya sendiri dengan bantal.''Mereka cuma berbikini berdua, Feb!'' tegas Langen. Dia lalu menoleh dan menatap Fani. ''Iya kan, Fan? Lo cuma berbikini berdua, kan? Nggak ngapa-ngapain lagi, kan?''''Mana gue tau! Gue kan lagi pingsan!''''Tapi setelah lo sadar, ada rasa-rasa gimana, gitu?''''Gue sih nggak ngerasin apa-apa. Tapi si lutung itu ngomongnya begitu, tauuu?'' Fani menjerit saking jengkelnya.''Mereka cuma berbikini berdua!'' tanda Langen. Dia menarik kesimpulan sendiri. Menolak adanya kemungkinan lain.''Tapi tetep aja....,'' Febi menatapnya tajam, ''Fani udah kehilangan kehormatan!''''Ah, norak lo! Lo pasti nggak pernah ke kolam renang atau ke pantai!''''Jadi gimana niiih!?'' Fani menjerit melengking. ''Malah pada ribut, lagi! Bukannya bantuin gue!''
Langen berdecak. Dia lalu berjalan mondar-mandir dengan kening terlipat. Berpikir keras mencari jalan keluar. Tak lama dia berhenti lalu menatap kedua temannya bergantian.''Cuma ada satu cara supaya ini semua selesai..... Perang terbuka!''CONTINUE BAB 23

Girl!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang