CHAPTER 26 (1/3)

9 0 0
                                    

Evan, yang mendapatkan tugas untuk melakukan pengintaian sehubungan dengan kejanggalan yang muncul, kembali ke tempat teman-temannya menunggu dengan berita buruk. Langen dan Fani sempat terjatuh dan mendapatkan pertolongan dari musuh-musuh mereka, kemudian terjadi pembicaraan serius yang sayangnya tidak dapat dicuri dengar karena jaraknya terlalu jauh.''Mereka luka?'' tanya Theo.Evan mengangkat bahu. ''Nggak tau. Jaraknya terlalu jauh.''''Luka nggak luka....,'' desis Iwan, ''yang jelas mereka pasti bener-bener sekarat sekarang!''''Yang gue liat tadi kayaknya begitu.'' Evan mengangguk cepat.Sementara Rei cs berleha-leha, Iwan cs berunding dengan cepat. Hasilnya, suara bulat kemudian memutuskan untuk mengakhiri perang terbuka itu. Saat ini juga!
Theo, sang algojo, langsung mengeluarkan senjata rakitannya, yang khusus diciptakan untuk keperluan ini. Katapel dan batu pipih sebagai peluru. Setelah memeriksanya sesaat, dimasukkannya kedua benda itu ke salah satu saku celana lapangannya.''Oke?'' tanya Iwan.''Sip!'' Theo mengacungkan satu jempolnya.''Lo tunggu di sini, Yud!'' ucap Iwan sambil menurunkan carrier-nya.''Oke!'' Yudhi mengangguk.
Evan dan Theo juga melepaskan carrier masing-masing. Ketiganya lalu bergegas menyeruak lebatnya pepohonan dan semak belukar. Meninggalkan Yudhi sendirian sebagai penjaga carrier. Sambil berjalan, Evan mengikatkan seutas pita merah dalam jarak-jarak yang terlihat ruang pandang.Ketiganya baru berhenti menyelinap di antara pohon dan semak-semak, setelah menemukan tempat mengintai yang tepat. Dari tempat itu Rei cs serta Langen dan Fani yang sedang beristirahat terlihat jelas.
Namun posisi Rei cs yang berbaring berdampingan seperti jejeran ikan asin yang dijemur para nelayan, membuat eksekusi belum bisa dilakukan. Selain itu, posisi berbaring tidak akan memberikan hasil maksimal.Tidak ada pemandangan yang lebih exciting selain melihat tubuh sang target tersentak ke belakang dan akhirnya roboh!

***

Akhirnya sepuluh menit waktu istirahat telah terlewat.''Time is up!'' seru Rei, dan langsung bangkit berdiri. Bima dan Rangga mengikuti. Dengan gaya berlebihan, ketiganya lalu melakukan senam-senam ringan untuk melemaskan otot-otot tubuh.Langen dan Fani melirik dengan dongkol. Tubuh keduanya masih terasa luluh lantak dan break yang hanya sepuluh menit itu justru memperparah. Jangankan bersenam-senam seperti kubu lawan, untuk berdiri tegak saja mereka harus mengerahkan seluruh kekuatan.Di tempat lain, terhalang rimbunnya semak belukar, Theo bersiap-siap. Sepasang matanya mengikuti setiap gerakan calon korban. Sementara kedua tangannya merentangkan karet ketapel pelan-pelan.Hanya ada satu kali kesempatan. Jadi harus berhasil! Target tidak perlu terluka parah, karena serangan ini tanpa jaminan asuransi. Yang penting, perang terbuka ini berakhir.Setelah membersihkan mug dan memasukkannya kembali ke carrier, dengan nada tegas dan tanpa kompromi Rei memerintahkan kedua lawannya untuk bergerak. Bersamaan dengan itu, sebuah batu pipih dilepaskan dari rentangan maksimal sebuah ketapel. Berdesing menyibak daun-daun yang menghalangi dan bergerak cepat, lurus ke sasaran. Dan beberapa detik kemudian.....''AAAKKKH!!!!''Satu teriakan keras membelah keheningan belantara. Bima terkapar dengan lengan kiri berlumur darah!Sedetik semuanya hanya berdiri diam dalam keterperangahan dan kebingungan. Erangan Bima beberapa saat kemudian menyadarkan Rei dan Rangga. Serentak keduanya menghampiri Bima yang masih tergeletak di atas semak-semak yang patah karena tertimpa badan besarnya.Sesuatu telah merobek bukan hanya lengan kiri kemeja birunya, tapi juga daging di baliknya! Dan dari darah yang mengalir deras, luka sayatan yang menganga itu sepertinya cukup dalam.Langen dan Fani hanya bisa berdiri sambil terus ternganga-nganga selama Rei dan Rangga melakukan tindakan P3K terhadap Bima. Kedua cewek itu benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya baru saja terjadi.Begitu selesai membersihkan luka Bima dan membebatnya, dan bersama Rangga membantu cowok itu berdiri, Rei langsung balik badan. Kemeja kremnya bernoda darah. Cowok itu menghampiri Langen dengan kedua rahang mengatup keras.''Lo pasti bisa jelasin, apa barusan itu tadi!'' ucap Rei dengan nada tajam.''Bima kenapa?'' Langen malah bertanya bingung.''Justru itu yang gue pengen tau!'' bentak Rei.''Hah?'' Langen menatapnya dengan ekspresi semakin bingung. ''Kenapa nanya gue?''Rei mendesis tajam. Benar-benar marah sekarang. Dicekalnya kedua lengan Langen kuat-kuat dan di tariknya mantan ceweknya itu rapat-rapat di depannya. Refleks Langen meletakkan kedua tangannya di dada Rei. Membuat jarak.Tapi Rei langsung mengenyahkan penghalang itu dari dadanya. Kemudian dipeluknya Langen sampai benar-benar tidak ada jarak, dengan kekuatan yang membuat Langen menggigit bibir menahan sakit."Nggak akan ada saksi mata kalo gue apa-apain lo di sini, La!" ancamnya dengan gigi gemeretak."Mau lo apain juga, gue tetep nggak bisa bilang apa-apa. Gue bener-bener nggak tau!"Lekatnya persahabatannya Rei dan Bima, kerap membuat keduanya mengaburkan batas benar dan tidak. Rei siap menjadi arca batu untuk apa pun tindakan Bima. Begitu pun sebaliknya. Karena itu, meskipun di depan mata Rei sedang mendekap Langen dengan begitu kuatnya, sampai-sampai siluet keduanya di atas permukaan tanah seperti menampakkan kembar siam yang hanya terpisah di kepala, Bima hanya menyaksikan tanpa memberikan reaksi apa-apa. Sementara Rangga, yang statusnya sahabat new comer, tentu saja harus mengikuti aturan main yang sudah ada.Di tempatnya berdiri, Fani hanya bisa pasrah. Tidak berani memberikan pertolongan karena sepasang mata Bima mengawasi setiap gerak-geriknya dengan tajam. Tidak perlu diperhitungkan satu tangan cowok itu yang terluka, karena tangannya yang lain sudah lebih dari cukup untuk mematahkan tulang-tulangnya, kalau dirinya berani nekat."Lo pilih ngomong, atau paru-paru lo jebol?" desis Rei. Langen tidak bisa menjawab. Dia benar-benar sulit bernapas. Dekapan Rei membuat paru-parunya tidak bisa bergerak bahkan untuk mengambil sedikit saja udara."Oke.....gue.....akan.....ngomong....," ucap Langen akhirnya. Fani terperangah. Rei menyipitkan kedua matanya."Coba bilang sekali lagi!" perintahnya."Gue.....akan.....ngomong..... Tolong.....lepas.....tangan lo....," pinta Langen dengan suara semakin terengah. Rei melepaskan kedua tangannya yang memeluk Langen. Begitu saja. Membuat Langen seketika terhuyung dan hampir tersungkur kalau tidak buru-buru ditahan Fani.Cewek itu membungkuk. Menekan dadanya dan terbatuk-batuk. Ditariknya napas panjang-panjang untuk mengisi paru-parunya yang seperti kosong."Cepet!" bentak Rei, masih terus mengawasi Langen. Masih dengan satu tangannya menekan dada, Langen berusaha menegakkan badan. Tapi tidak bisa benar-benar tegak karena dadanya masih agak sakit. Kedua bola mata cokelatnya lalu menatap Rei, lurus dan tajam."Elo.....banci!!!"Rei terperangah. Sementara tawa Bima kontan meledak keras. Di sebelahnya, Rangga geleng-geleng kepala, menatap Langen tak percaya."Dari awal udah gue kira, dia nggak bakal buka mulut," ucap Bima setelah tawanya reda. "Bawa ke sini cewek gue. Kalo dia, gue yakin pasti akan bicara!"Fani tersentak. Juga Langen. Keduanya langsung berpelukan kuat-kuat. Bima menepuk bahu Rangga. Segera Rangga menyusul Rei yang sedang berjalan ke arah kedua cewek itu. Dengan paksa kedua cowok itu kemudian melepaskan pelukan erat Langen dan Fani. Rangga langsung menyeret Fani menuju tempat Bima berdiri, sementara Rei berdiri di hadapan Langen, untuk menghalangi cewek itu menyelamatkan sahabatnya."Halo, Sayang....." Bima membungkukkan badannya dan menyapa Fani dengan lembut. "Aku lagi sekarat nih. Peluk aku, ya? Mau, nggak?"Refleks, Fani langsung geleng kepala kuat-kuat. Dia akan bergerak mundur, tapi tidak bisa karena Rangga berdiri rapat di belakangnya dan mencekal kuat-kuat kedua lengannya. Bima tertawa geli dan mendongak menatap Rangga."Mana pernah dia mau meluk gue," katanya, lalu tatapannya kembali ke Fani. "Tapi kalo jawab pertanyaan, mau, kan? Harus mau! Karena itu tadi, aku lagi sekarat. Jadi mumpung aku masih bernapas, kamu lebih baik koorperatif, supaya aku matinya nggak penasaran. Karena kalo sampe mati penasaran, nanti arwahku nggak tenang dan kamu aku gentayangin tiap malem. Dan yang namanya jurik itu nggak punya batas ruang. Jadi nggak ada gunanya kamu ngunci pintu atau ngumpet di dalam lemari.''''Tapi....tapi....gue nggak tau elo kenapa....,'' jawab Fani terbata.''Oh, ya?'' Bima pura-pura kaget.''Iya. Gue nggak tau. Bener!'' Fani mengangguk kuat-kuat.Iwan memang sengaja tidak memberitahu kedua cewek itu cara dia dan keempat temannya mengakhiri perang terbuka itu. Semata untuk melindungi keduanya dari kemungkinan tekanan pada saat interogasi, yang sudah pasti akan dilakukan di tempat dan sedetik setelah serangan terjadi. Tapi tetap itu tidak membuat Langen dan Fani terhindar dari situasi sulit.''Mungkin dengan begini kamu jadi tau.'' Bima menatap lengan kirinya yang luka. Darah merembes dari balutan luka itu. Mengalir turun. Dengan jari telunjuk, ditahannya aliran darah itu sesaat, kemudian dioleskannya darah itu ke bibir Fani. Fani tersentak. Karena tidak bisa bergerak mundur juga tidak bisa menggerakkan kedua tangannya, dipalingkannya wajahnya. Tapi Bima langsung menghadapkan kembali wajah itu ke arahnya. Kembali dia oleskan darah lukanya ke bibir Fani. Cewek itu memejamkan mata rapat-rapat. Tidak tahan dengan bau anyirnya.''Ini untuk mengenang Left Eye TLC....,'' ucap Bima sambil membuat garis darah di bawah mata kiri Fani. Kemudian dia membuat bulatan darah tepat di tengah-tengah dahi Fani. ''Left Eye dari India.....''Langen menatap cemas tanpa mampu menolong. Di depannya Rei masih berdiri menjulang dengan ekspresi garang. Akhirnya Fani menyerah setelah Bima yang sedang bereksprimen sebagai make up artist dengan menggunakan darahnya sendiri mulai membuat bulatan-bulatan merah di kedua pipinya.''Mau bilang?'' tanya Bima. Fani mengangguk cepat-cepat. ''Sweet girl.....'' Bima mengecupnya sekilas. ''Lepas, Ga!''
Rangga melepaskan cekalannya.''Ng....tangan lo itu...''''Iya? Apa yang udah bikin tanganku jadi sobek begini?''''Ng....ituuu....'' Fani berpikir keras mencari jawaban. Tiba-tiba dia melakukan dua gerakan dengan sangat cepat. Menyikut ulu hati Rangga kuat-kuat lalu memukul luka Bima keras-keras. Langen, yang bisa membaca gelagat itu sejak awal, di saat yang bersamaan meninju dada Rei dengan kedua tangan dan dengan seluruh kekuatan.
Bersamaan dengan teriakan ketiga cowok itu, darah segar menyembur dari luka di lengan Bima yang masih menganga. Fani berlari menghampiri Langen lalu keduanya berdiri saling merapat.''Kami bener-bener nggak tau! Sumpah!'' seru Langen saat Rei dan Ranga berjalan menghampiri dirinya dan Fani dengan marah. Sambil menekan kuat-kuat lukanya yang mengucurkan darah, Bima ikut mendekat.''Sumpah!'' Langen mengulangi. Kali ini dengan kedua tangan terangkat. ''Demi Tuhan, kami bener-bener nggak tau!'' dan ketika ketiga cowok itu tetap bergerak maju, Langen meneruskan dengan sumpah yang benar-benar fatal. ''Kalo kami bohong, gue sama Fani nggak bakalan selamet sampe rumah!''''Jelas! Dan mau tau apa yang akan bikin lo berdua pulang dalam keadaan nggak selamet?'' desis Rei tajam. Dia benar-benar geram. ''Kalian harus kalahin kami! Kalau tidak....'' Rei menghentikan langkahnya yang tinggal satu rentangan tangan. Bima dan Rangga ikut berhenti di sisi kiri-kanannya. ''Elo berdua akan kami serahkan ke keluarga masing-masing.....dengan visum dokter!''
Langen menatap Rei dengan ekspresi takut tapi juga bingung.''Maksudnya.....cacat?'' tanyanya terbata.''Jelas!'' tandas Rei seketika.''Ng.....maksudnya.....memar-memar, gitu? Atau patah kaki-tangan?''''Bukan.....'' Rei tersenyum dingin. ''Cacat yang paling ditakutin cewek!''Muka Langen dan Fani kontan putih!
***
Sementara itu di tempat lain, Iwan, Theo, dan Evan, jadi gelisah sekaligus berang menyaksikan peristiwa itu. Theo memukul-mukul kepala botaknya dengan kedua telapak tangan. Benar-benar menyesali kegagalannya.''Goblok-goblok!'' desisnya berulang-ulang.Iwan menepuk bahunya. Mengingatkan bahwa ini di luar dugaan. Soalnya, apabila semua berjalan sesuai rencana, Theo akan melakukan tugasnya di sebuah tempat, di mana dia bisa mendekati sang calon korban sampai jaraknya yang cukup dekat, hingga bisa memilih bagian tubuh mana yang menjadi target katapelnya.''Daripada fatal, ntar malah berabe urusannya!''''Jadi gimana sekarang? Lo liat tuh!'' tunjuk Theo dengan dagu, ke kejauhan di bawah. ''Begitu lebih baik?''Jauh di bawah, dengan paksa Rangga merenggut Fani dari Langen lalu menyeretnya ke hadapan Bima.''Jadi?'' tanya Iwan tanpa menoleh.''Udah, kita ribut aja! Pengecut, tau nggak? Ngumpet-ngumpet begini!''''Setuju!'' Evan mengangguk.Iwan terdiam beberapa detik. Kemudian.....''Oke. Yuk!''Ketiganya meninggalkan tempat itu.''Turun, Yud!'' ucap Theo begitu sampai di tempat Yudhi dan carrier-carrier mereka ditinggalkan.''Turun?'' Yudhi memandang tak mengerti.''Kacau!'' ucap Iwan sambil menyambar carrier-nya. ''Theo pilih ribut!''''Yeee....,'' sambil menyandang carrier-nya di punggung, Yudhi menatap ketiga temannya bergantian. ''Kenapa nggak dari kemaren-kemaren? Jadi nggak buang-buang waktu sama tenaga. Udah cabut kuliah pula.''Keempatnya balik badan. Segera kembali ke arah semula.Inilah peperangan Langen dan Fani yang sesungguhnya.Iwan cs gagal memberikan pertolongan. Dan apabila kedua cewek itu sampai kalah, masa depan mereka akan hancur berantakan.Waktu baru berjalan lima belas menit, tapi Langen dan Fani telah terserang mountain sickness parah. Seperti ada jarum besar besi pasak tenda, dihunjamkan tepat di ubun-ubun kepala. Terasa seperti ada sesuatu yang ditusukkan dari pelipis yang satu menembus ke pelipis yang lain. Juga seperti ada sebuah benda yang mahaberat diletakkan tepat di dada, hingga terasa sangat sakit saat memaksa untuk menarik napas dalam-dalam.Keringat mengalir deras seperti alur sungai. Kaus yang dikenakan kedua cewek itu jadi melekat di badan dan membuat mereka tidak nyaman.''Stop sebentar!'' ucap Bima tiba-tiba. Semuanya berhenti dan menatapnya. Bima menunjuk kemejanya yang ternyata juga kuyup karena keringat. ''Ganti baju dulu.''Langen dan Fani saling pandang diam-diam. Ini memang yang mereka harapkan, tapi tidak sekarang. Waktunya tidak tepat. Lokasinya apalagi.Rei, Bima dan Rangga menurunkan carrier mereka dari punggung. Langen dan Fani segera mengikuti. Kesempatan untuk sejenak mengistirahatkan otot-otot bahu yang sakit. Ketiga cowok itu lalu melepas kemeja masing-masing.Tanpa sadar Langen dan Fani bergerak mundur, menjauh beberapa langkah sambil menyeret carrier masing-masing. Dada-dada telanjang itu, yang terlihat jelas terbentuk karena olah fisik yang rutin dan berat, juga lengan-lengan yang besar dan berotot, membuat keduanya merasa terancam.''Nggak ganti baju?'' tanya Bima tiba-tiba. Dia lalu menoleh ke segala arah. Dan ketika didapatinya kondisi sekeliling yang tidak menyediakan tempat tertutup, pandangannya kembali ke Langen dan Fani, dengan seringai jail di bibir. ''Cuma soal waktu. Dan itu nggak lama lagi.'' ucapnya dengan nada seolah-olah dirinya turut prihiatin. ''Jadi nggak ada salahnya diperlihatkan dari sekarang. Terutama untuk Rei. Kalo gue nggak perlu, soalnya.....gue udah ngeliat.'' sepasang mata hitam yang dinaungi alis tebal itu kemudian terarah ke Fani. Bima lalu mengedipkan sebelah mata dan tertawa geli ketika tindakannya itu membuat muka Fani seketika jadi merah padam.''Tapi....,'' Rangga menyambung, menatap ke arah Langen dan Fani, ''apa yang menurut lo berdua sangat berharga, tetep harus lo pertahankan. Kalo perlu sampai titik darah penghabisan!'' tapi detik berikutnya dia ngomong lain. ''Tapi kalo Bima sih udah jelas bakal jadi suami lo, Fan. Jadi lo nggak perlu nutup-nutupin lagi.....''Rei dan Bima kontan tertawa geli. Keduanya menunda memakai kaus yang baru mereka keluarkan dari carrier. Sengaja berlama-lama memperlihatkan dada telanjang mereka, karena sepertinya itu membuat pihak lawan terintimidasi.Mendadak sifat iseng Bima kumat. Tiba-tiba, dibuatnya gerakan seolah-olah ingin memeluk Fani. Cewek itu kontan menjerit dan berlari ke belakang punggung Langen. Bima tertawa.''Hm,'' ucapnya sambil melirik kedua sahabatnya. ''Kalo nanti ada yang menjerit-jerit, harap tutup telinga ya. Oke?''''Yang jelas gue nggak sempet ngurusin urusan elo,'' jawab Rei. ''Karena gue juga pasti lagi sibuk.''Langen langsung jadi emosi. Dipungutnya sebuah batu dan dilemparnya ke arah Rei kuat-kuat. Dengan sigap cowok itu berkelit.''Jangan ngomong sembarangan lo! Gue sama Fani belom kalah, tau!''''wkwkwk!'' Rangga geleng-geleng kepala. ''Masih galak juga!''''Tenang,'' Rei menepuk bahu Rangga. ''Sebentar lagi akan gue bikin dia jadi semanis kelinci.''Mendengar percakapan itu, Langen langsung naik pitam. Darah di kepalanya kontan mendidih. Seribu sumpah serapah sudah siap dilontarkan, tapi kemudian tersangkut di ujung lidah. Dia tidak terbiasa memaki, itu yang membuat sumpah serapah itu jadi tertahan.Gantinya, cewek itu lalu bicara dengan nada tinggi, ''Bisa nggak sih elo-elo nggak pake cara-cara intimidasi? Lo bertiha curang, tau nggak? Nggak fair! Naik gunung ya naik gunung aja! Nggak usah pake ngancem-ngancem! Ngomong ini-itu!''''Tapi sah-sah aja, kan?'' jawan Rei. Bima dan Rangga tertawa geli mendengar ucapan Rei.Tiba-tiba Langen bergerak maju. Rei cs tersentak kaget dan refleks bergerak mundur bersamaan. Ternyata cuma Rei yang diincar Langen. Penuh emosi cewek itu langsung menerjang Rei dan memukuli dada cowok itu.''Wow! Wow!'' Rei berusaha menahan serangan Langen. ''Mulai menggunakan kekerasan nih!'' dengan sigap ditangkapnya pergelangan tangan. Dan segalanya berlangsung cepat. Di depan semua mata, Rei menarik Langen ke arahnya, lalu dengan tangan kirinya yang bebas, dipeluknya mantan ceweknya itu kuat-kuat. Kemudian cowok itu menundukkan kepala.....dan mencium sepasang bibir di bawahnya!Bisa dia rasakan, tubuh dalam pelukannya menegang dan seketika berontak, berusaha melepaskan diri. Tapi itu justru membuat Rei semakin mengetatkan dekapannya. Beberapa saat kemudian cowok itu mengakhiri ciumannya dengan satu bisikan tajam, tepat di telinga kiri Langen.''Jangan harap lo bisa menang!''Kemudian Rei melepaskan pelukannya dengan tiba-tiba. Cowok itu lalu melangkah mundur.Wajah Langen merah padam. Ditatapnya Rei seperti tidak percaya, cowok itu tega melakukan hal itu padanya. Rei membalas tatapan Langen dengan tenang.''Nangis aja, kalo elo pengen nangis,'' ucapnya datar.Mati-matian Langen berusaha meredam kemarahan yang menggelegak di dadanya. Sementara itu Fani tetap berdiri di tempatnya. Masih terpaku dalam keterperangahan. Tidak disangkanya Rei bisa sadis begitu. Dan ini kali pertama disadarinya, Rei dan Bima ternyata mempunyai sifat yang hampir sama.Rei menggerakkan kedua tangannya, menepuk pelan bahu Bima dan Rangga yang berdiri di kiri-kanannya. Ketiga cowok itu lalu meraih kaus masing-masing dan memakainya, lalu meraih carrier dan menyadarinya.Bima dan Rangga langsung balik badan. Sementara Rei sejenak tanpa perasaan.Begitu ketiga cowok itu menghilang, Fani segera menghampiri Langen dan memeluknya. Didapatinya sepasang mata sahabatnya itu merebak.''Gue baru tau, dia ternyata juga bajingan. Sama kayak cowok lo,'' desis Langen dengan gigi gemeretak. Fani mengusap-usap punggung sahabatnya.''Kalo sifatnya nggak sama, nggak mungkin mereka bisa sohiban.''Keduanya lalu terdiam. Napas Langen memburu, turun-naik dengan cepat karena menahan emosi. Fani hanya bisa menenangkan dengan cara terus memeluknya.''Udah?'' tanyanya kemudian, dengan nada pelan dan hati-hati.Langen mengangguk. Cewek itu kemudian menghapus habis air matanya yang mengalir turun tanpa ada isak yang terdengar.''Mereka kira kita udah kalah,'' desisnya geram.''Biar aja mereka kira begitu.''''Lo siap, kan?''''Ah, elo!'' kembali Fani memeluk Langen. ''Kalo nggak siap, gue nggak akan sampe sini, lagi!''Kembali keduanya terdiam. Langen memejamkan mata rapat-rapat. Menarik napas panjang dan dalam, berulang-ulang. Fani memeluknya dengan tangan kiri sementara tangan kananya menggenggam satu tangan Langen.''Yuk!'' ucap Langen setelah beberapa detik yang hening. Fani mengangguk tegas. Keduanya kemudian meninggalkan tempat ini.CONTINUE TO BAB 26 part 2

Girl!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang