13. growing fear (1)

1.1K 249 58
                                    

Wajah rupawan nan menggemaskan Bolt terlihat begitu damai ketika terlelap, Hinata tak sedikit pun mampu mengalihkan atensinya barang sejenak. Hatinya diliputi keresahan sekarang. Pada akhirnya ia memilih untuk tidur di kamar Bolt, ia ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan putra semata wayangnya setelah seharian terpisah.

Semalam ketika Naruto mengantar anaknya pulang, ia sengaja menghindar, membiarkan sang ayah yang menemui pria pirang itu sebelum kembali berangkat untuk perjalanan bisnis ke luar negeri. Sedangkan dirinya menunggu dengan tidak sabar di dalam kamar bernuansa biru itu. Ia merasa tak punya nyali untuk bertemu mengingat pertemuan terakhir mereka di butik berakhir kurang menyenangkan.

Tak seperti biasanya wanita Hyuuga itu terlihat begitu memperhatikan sang putra sedetail itu. Entahlah, setelah Bolt pergi bersama Naruto, rasa takut akan kehilangan pria kecilnya semakin menyeruak. Ia seakan tengah mematri setiap inchi raut sang putra, raut wajah yang nyaris serupa dengan milik ayah biologisnya; pria yang bahkan sampai detik ini masihlah merajai hatinya.

Tanpa terasa kedua mata Hinata berembun ketika jari-jari lentiknya membelai pelan pipi bulat Bolt. Ya, wanita itu semalaman tak bisa tidur, bahkan hingga pagi menjelang. Dan meneliti setiap gurat wajah anaknya adalah kegiatan yang ia lakukan. Sungguh, ia tak akan pernah siap untuk kehilangan.

Bukan, bukan hanya karena ia sudah tak mampu lagi untuk mengandung, pula melahirkan keturunan. Andaikan rahimnya masih bersemayam dalam raga pun ia tetap tak akan mampu bila harus jauh dari putranya.

Bolt adalah segalanya bagi Hinata, sosok kecil yang selalu menerima bagaimanapun dirinya, sosok yang selalu ada di masa-masa paling sulit di hidupnya, satu entitas yang membuatnya tetap bertahan hidup hingga sekarang. Bolt adalah separuh nyawanya.

"Mama?"

Hinata terksesiap ketika suara serak khas bangun tidur Bolt membelai telinga. Ah, saking larutnya ia dalam angan, sampai-sampai tak menyadari jika kedua mata biru putranya telah terbuka.

"Kau sudah bangun, Nak?" sembari menghapus cepat jejak air mata di kedua pipinya, wanita itu bertanya. Ia lantas mengukir senyuman, berharap bocah kecilnya tak menyadari jika ia baru saja menangis.

Sedangkan Bolt hanya mengangguk sambil menguap pelan. Tangan-tangan mungil itu tampak mengucek kedua belah kelopak matanya. Pria kecilnya masihlah terlihat mengantuk, dan itu terlihat sangat menggemaskan di matanya.

Hinata terkekeh ringan menatapnya, lantas menekuk salah satu lengannya untuk menopang kepala tanpa melepas perhatiannya pada wajah bak malaikat sang putra. "Bagaimana tidur Bolt? Nyenyak? Bermimpikah?"

"Bolt mimpi, Mama!"

"Wah, mimpi apakah itu? Adakah Mama di dalamnya?" ada nada yang ia buat antusias ketika merespons jawaban riang putra kecilnya. Tangannya yang bebas tiada henti membelai helaian lembut rambut pirang sang putra tercinta.

"Mimpi jayan-jayan cama Akio, Mama."

Kening mulus Hinata mengerut ketika mendengar nama asing meluncur dari kedua belah bibir anaknya. "Akio? Siapa dia?"

"Temannya Bolt." Tentu bocah pirang itu menjawab dengan nada ceria.

"Benarkah? W-wah ... Mama senang mendengar Bolt sudah punya teman. Biar Mama tebak, apakah Paman Naru yang memperkenalkan kalian?"

Kepala balita itu mengangguk, "Benal, Mama. Kata Paman Nalu, Bolt cama tampannya cepelti Akio." Jawabnya, masih tidak mengubah posisinya yang berbaring di sisi sang ibunda.

Hinata tampak tercenung ketika tebakannya tepat sasaran. Entah bagaimana hal tersebut justru semakin memancing rasa ingin tahunya tentang hal apa saja yang dilakukan sang putra dan juga ayahnya selama bersama.

MINE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang