"Kau benar-benar sudah baik-baik saja, Ino?" sembari mencatat stok kain yang baru datang, Hinata bertanya. Atensi kedua netra indah itu lantas beralih sepenuhnya pada wajah jelita Ino Yamanaka. Wanita berambut pirang yang tengah hamil muda itu tampak semakin pucat sore ini. "Jangan dipaksakan jika masih belum kuat."
Kepala pirang dengan rambut menjuntai panjang itu menoleh, sesaat menghentikan kegiatannya menata gaun-gaun terbaru pada display di hadapan. "Aku baik, Hinata ... aku masih butuh uang, makanya aku harus berangkat bekerja." Ia lantas kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Ah, apakah suamimu yang pelukis itu sudah gulung tikar?" Sakura---dengan sebuah gaun berwarna peach di kedua tangannya---menimpali sembari mengangkat satu alisnya kala bersitatap dengan Ino, namun tiada menghentikan langkah kakinya menuju meja kasir. Sedangkan di belakang tubuh ramping itu terlihat dua sosok yang mengekorinya. Ah, wanita Uchiha tersebut sedang melayani pelanggan rupanya.
Tentu Ino menoleh cepat ke arah sumber suara, dengan bersungut-sungut menanggapi candaan Sakura. "Sialan sekali si Jidat itu. Kusumpahi kau hamil anak kembar!"
Dan seperti biasa, Hinata hanya mampu menghela napas panjang jika kedua sahabatnya mulai berdebat ria. "Ya sudah ... jika lelah, beristirahatlah. Jangan paksakan dirimu." Wanita itu lantas menyimpan beberapa tumpukan kain berbagai warna pada rak di sisinya.
Namun, tak lama kemudian handphone wanita itu bergetar, menimbulkan bunyi berderit-derit ketika bergesekan dengan permukaan meja. Ketika kedua netra indah itu mengalihkan atensi pada ponsel pintarnya, sebuah nomor baru tertera pada layarnya yang menyala.
"Halo?"
"Aku kembali membawa Bolt. Jangan mencarinya, aku akan mengantarnya pulang seperti semalam. Kau tenang saja."
Sontak saja tubuh Hinata bergetar mendengar suara dari ujung sana. Suara maskulin yang begitu familier; suara Naruto Uzumaki.
Sungguh, seakan hawa dingin dari air conditioner pada ruangan tempat ia berada menjadi dua kali lipat lebih dingin, bahkan meresap hingga ke pori-pori terdalamnya. Membuat ia tak mampu mengeluarkan sedikit pun kata. Apalagi ketika lamat-lamat telinganya mampu mendengar suara tawa anaknya di ujung telepon sana.
Bolt terdengar semakin akrab saja dengan ayah kandungnya.
***
Kemacetan merupakan sebuah rutinitas yang biasa terjadi di kota metropolitan, tak terkecuali Tokyo. Beberapa kendaraan roda empat lain tampak berbaris rapi di hadapan, menunggu giliran untuk melaju membelah jalanan menuju arah jalan pulang.
Kedua mata indah Hinata tampak kosong menatap bulevar, sedangkan kedua tangannya tiada beralih dari setir bundar. Sembari menunggu lampu lalulintas berubah hijau, kepalanya serasa penuh memikirkan banyak hal, terutama tentang Bolt; putra satu-satunya. Ini kali kedua Naruto membawa sang putra jauh darinya.
"Sepertinya ada yang tidak beres?" Sakura yang sedari tadi terdiam di kursi penumpang pada akhirnya mencetuskan sebuah pertanyaan, membuat wanita beranak satu di sisinya tersentak dari lamunan.
"Tidak, Sakura. Semua aman terkendali. Pesanan untuk acara lamaran minggu depan sudah hampir selesai, bukan?" kedua belah bibir ranum itu merekah ketika bertemu mata, mencoba tampak baik-baik saja di hadapan Sakura.
"Bukan masalah pekerjaan, tetapi dirimu."
"Aku tidak---"
"Jangan membohongiku. Aku sangat hafal dengan gelagatmu." Sakura memotong ucapan Hinata, membuat wanita Hyuuga itu menelan kembali ucapannya. "Apa yang terjadi? Jangan bilang ini tentang Naruto lagi?" tebaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MINE✔
Roman d'amourSequel dari cerita "Promise" Menjadi seorang single parent adalah pilihan hidup Hinata, pula sebagai jalan untuk menebus rasa bersalahnya terhadap Gaara, mantan suaminya. Pada mulanya kehidupan dirinya beserta Bolt, sang putra baik-baik saja, semua...