20. confess (2)

1.3K 249 41
                                    

Gaun tidur telah melekat di tubuhnya yang ramping, pun wangi sabun beraroma lavender menguar dari setiap jengkal kulitnya yang terawat. Kini wanita beranak satu itu telah siap untuk menuju lelap setelah berjam-jam lalu berendam dalam bathub; hal yang sangat jarang ia lakukan setelah melahirkan.

Ia memang sengaja mengubur dirinya sendiri berlama-lama di dalam air untuk merilekskan pikiran, pula mencoba melupakan kejadian ketika bersama si pria pirang. Satu lagi hari yang berat telah terlewati, meskipun sebenarnya sangat sukar untuk ia jalani.

Bibirnya masihlah membengkak, dan rasanya teramat perih; sepertinya Naruto sengaja menggigitnya terlalu kuat tadi. Ah, Hinata yakin jika esok luka di bibirnya akan berubah menjadi sariawan. Bahkan Gaara tiada henti bertanya mengenai hal itu ketika mengantar dirinya pulang, namun tentu saja Hinata memilih untuk diam.

Jujur saja, menghadapi Naruto yang seperti itu membuatnya takut. Pria itu benar-benar telah berubah, bukan lagi Naruto yang lembut padanya. Dahulu pria itu tak pernah sekali pun meninggikan suara, tatapannya selalu memancarkan ketulusan, pun belaian tangannya begitu memanjakannya.

Tapi, sekarang semua menjadi terbalik. Pria itu membentaknya, menyakiti fisiknya dan tentu saja hatinya. Padahal Hinata tak tahu salahnya di mana?

Okay, dia memang menolak niat baik pria itu untuk bertanggung jawab atas apa yang mereka perbuat. Namun, apakah pria itu sadar jika akan ada hati wanita lain yang terluka? Apakah pria itu berniat melukai perasaan kekasihnya?

Lagi pula ... tak perlu ada yang dipertanggungjawabkan, hubungan badan mereka tak akan pernah mampu lagi menciptakan keturunan. Bahkan wanita itu begitu yakin jika Naruto tahu tentang kondisinya yang tak lagi sempurna, pria itu pasti akan mundur teratur kemudian lenyap dari kehidupannya.

Pria mana yang sudi menikahi wanita mandul seperti dirinya?

Hinata tersenyum miris lantas menghela napas panjang untuk sekedar membuang sesak yang tiba-tiba datang. Ia segera mengayunkan langkah ke luar dari kamar. Sebelum bergelung menjemput mimpi, ia ingin mengecek keadaan putranya sekali lagi.

Bolt, putra semata wayangnya memang sudah kembali sebelum ia berendam mandi, pasti pria kecilnya sudah tidur sekarang. Ia hanya ingin memberikan kecupan selamat malam, sekaligus melepas rindu.

Yah, rasa rindu sudah sangat menyiksa meskipun ia hanya berpisah selama beberapa jam saja dengan sang putra, lantas bagaimana jika pada akhirnya ia akan berpisah selamanya?

Setelahnya, Hinata tampak menggelengkan kepala.

Tidak. Ia tak akan pernah membiarkan Bolt pergi dari sisinya!

Naruto memang ayahnya, pria itu tentu boleh membawa Bolt selama beberapa saat. Namun, jika untuk dijauhkan dari dirinya untuk selamanya, maka demi Tuhan Hinata akan mencegahnya sekuat tenaga.

Ia ... lebih memilih mati daripada harus kehilangan buah hatinya.

Pada akhirnya kedua kaki berbalut sandal rumahan berbulu itu berhenti tepat di depan pintu kamar sang putra. Setelah menghela napas sejenak, ia segera memutar gagang pintu.

Dan ... kedua netra indahnya membeliak.

Bagaimana tidak? Sosok Bolt dan pengasuhnya masih terlihat bermain bersama! Pria kecilnya masih terjaga ketika jarum pendek jam dinding sudah hampir menyentuh angka sebelas malam, tak sesuai ekspektasinya.

"Astaga, sudah sangat larut malam dan anak Mama yang tampan ini masih belum tidur?" Hinata berucap seraya berjalan mendekati putranya.

"Beyum ngantuk, Mama." Dan Bolt menjawabnya tanpa sedikit pun menoleh pada presensi sang ibunda, ia masih tampak sibuk dengan mainannya.

MINE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang