12. about true feelings (2)

1.1K 236 86
                                    

"Setelah semua ini, apakah ... kau membenci ibunya?" suara lembut Ameno teralun ragu. Namun, ia segera meralat pertanyaannya sendiri setelahnya. Ia merasa tak enak hati. "M-maaf, jika kau merasa tak nyaman dengan pertanyaanku, kau boleh tidak menjawabnya."

Naruto tak langsung menjawab, pria itu tampak menegakkan posisi duduknya terlebih dahulu lantas menarik napas panjang. Tak lama, sorot mata biru itu berubah hampa kala bersibobrok dengan mata hazel wanita di sisinya.

"Rasa benci itu jelas ada, sangat banyak, bertumpuk di dalam sini." Ujar pria itu, salah satu tangan besarnya meremas kemeja bagian dada kiri. "Tapi, Ameno ... sebenci apa pun aku padanya, entah bagaimana aku masih mampu merasakan bahwa rasa cinta itu masih ada, sekuat apa pun aku berusaha menampiknya." Dan kedua mata itu terpejam dengan pedih setelahnya. Entahlah, hatinya terkadang memang tidak bisa sejalan dengan logika.

"..."

Sedangkan Ameno tak menjawab atau pun menanggapi ucapan pria pirang di sampingnya. Selain karena ia tahu jika masih ada hal lain yang akan pria itu katakan, ia pun tengah sibuk mengatur laju jantungnya yang tiba-tiba berdenyut menyakitkan.

Namun, sekali pun ia tak berusaha memutus tatapan. Ia sedang berusaha menjadi pendengar yang baik sekarang. Ia sangat paham bahwa tidak semua orang yang berkesah membutuhkan nasihat atau tawaran solusi, terkadang seseorang bercerita karena butuh didengarkan.

"Kami menjalin hubungan sejak lama sekali, berpuluh tahun lalu, bahkan ketika kami masih menjadi remaja tanggung kala itu." Ketika berucap begitu, pandangan safir sang pria Kanada tampak menerawang seiring kepala tampannya mengenang masa silam.

Masa-masa terindah ketika dirinya dan Hinata masih menjadi sepasang kekasih kembali terekam dalam angan. Masa ketika mereka menimba ilmu di universitas yang sama, kala mereka sedang hangat-hangatnya.

Ia berpikir, masalah seberat apa pun yang akan mereka hadapi akan terasa mudah ketika berpondasi kata 'setia'. Ia berpikir bahwa mereka akan benar-benar berakhir di pelaminan di masa yang akan datang. Apalagi ia telah mengantongi restu dari ayah wanita tercintanya.

Namun, ia hanya mampu tersenyum hambar. Karena kenyataan yang terjadi justru sebaliknya.

"Dia wanita pertama untukku, begitu pula sebaliknya. Banyak suka dan duka yang telah kami lalui, tentu kau tahu apa yang terjadi setelahnya; aku sudah menceritakannya padamu beberapa waktu lalu." Lanjut pria itu. Ia menoleh ke sisinya, hanya sekedar untuk melihat Ameno menganggukkan kepala.

"Ternyata memang benar, mempertahankan jauh lebih sulit dari pada memulai suatu hubungan. Andai aku tidak melihat Bolt waktu itu, barang kali sampai detik ini pun aku tak akan pernah tahu jika aku adalah seorang ayah. Dia menutupi kehadiran Bolt dengan sangat rapi. Aku benar-benar kecewa padanya." Helaan napas lelah lolos dari kedua belah bibir merah kecokelatan Naruto setelahnya.

"Dan kau masih saja tetap cinta." Tukas Ameno, menambahkan. Raut wajah jelitanya tampak sendu ketika berucap demikian.

"Bahkan ketika aku sadar jika diriku sudah tidak ada artinya sama sekali baginya." kepala pirang Naruto mengangguk membenarkan, diikuti desahan frustrasi. Ia tersenyum miris sebelum kembali berucap, "Dia terlihat kembali dekat dengan mantan suaminya."

Dan Ameno semakin merasa tak enak hati mendengarnya. "Lalu, apa yang akan kau lakukan setelah ini? Maaf, jika pertanyaan dariku membuatmu kembali mengenang rasa sakit di masa lalu."

Namun, yang tak Ameno sangka, Naruto justru terkekeh menanggapi ucapannya.

"It's okay ... kau hanya perlu bertanggung jawab." Ucap Naruto, ia lantas mendekatkan bibirnya ke salah satu daun telinga wanita di sisinya, berbisik sepelan mungkin agar kedua balita di sana tidak mendengar apa yang ia ucapkan. "Layani aku nanti malam, aku butuh pengalihan pikiran."

MINE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang