9. theatrical (1)

1.1K 217 60
                                        

Syal rajut merah tebal tampak melingkari lehernya yang jenjang, sedangkan rambut gelap nan lurus alami itu ia biarkan tergerai di punggungnya. Anting mutiara yang melekat pada kedua daun telinganya mempermanis penampilan sang wanita Hyuuga, meskipun hal tersebut tak menutupi fakta bahwa wajah jelita itu tampak sedikit pucat.

Suhu tubuh Hinata naik beberapa derajat dari suhu normal sejak pagi tadi; ia demam setelah menangis semalam suntuk, tanpa mampu sedikit pun memejamkan mata. Meskipun ia sudah mencurahkan segala yang ia rasa pada Gaara, nyatanya hal tersebut tak membuat hatinya merasa lebih baik.

Entahlah ... kenangan masa lalu indahnya bersama Naruto Uzumaki yang kembali terbayang dalam angan justru membuat dadanya sesak. Jantungnya seakan diremas tangan tak kasat mata kala ia menyadari jika kisah mereka telah berakhir, bahkan sirna.

Hanya Bolt, satu-satunya entitas yang pria itu tinggalkan untuknya. Hanya pria kecilnya itulah yang menjadi bukti bahwa mereka pernah saling mencintai. Tanpa Hinata sadari, kedua pipinya basah kembali.

"Mama?"

Merasa dipanggil, wanita Hyuuga itu segera menghapus air matanya segera, lantas memusatkan atensinya pada sang putra tercinta. Ah, ternyata ia terlalu larut dalam lamunan tadi. "Iya, Nak? Ah, Bolt mau makan yang mana?"

Sedangkan balita tampan itu hanya menggeleng, kemudian menggeser semangkuk sarapannya menjauh. Mengabaikan segala jenis menu sarapan di atas meja makan.

"Bolt kenapa tidak mau sarapan?"

"Mama nangis?" bukannya menjawab, pria kecil itu justru balik bertanya. Membuat sang ibunda secara spontan kembali mengusap kedua belah pipinya, membersihkan jejak air mata yang barang kali masih tersisa.

"T-Tidak. M-mama hanya kelilipan." Dustanya, sembari memaksakan senyuman. "Ada apa, Sayang?"

Mata bulat secerah langit biru balita tampan itu menatap polos pada mata ibunya, "Bolt kangen cama Paman."

"Paman Gaara?" tebak Hinata. Semalam Bolt memang belum sempat bertemu pria Sabaku itu ketika berkunjung ke mansion Hyuuga, ia sudah jatuh terlelap.

Sebenarnya tujuan Gaara datang bukan bermaksud untuk menemui Hinata secara pribadi. Pria berambut kemerahan itu memiliki janji dengan Hiashi yang notabene rekan kerjanya, untuk membahas masalah pekerjaan tentunya.

Namun, yang pria Sabaku itu dapati justru Hinata yang berlinang air mata. Sedangkan sang pemimpin keluarga Hyuuga tersebut belumlah sampai di kediamannya.

"Bukan. Tapi paman pilang! Cepelti lambut Bolt." Pria kecil itu meralat ucapan sang ibunda dengan berteriak kencang khas anak-anak.

Seketika wajah cantik Hinata semakin memucat mendengarnya.

"P-paman Naru?" suara wanita itu terdengar terbata, seakan tak menyangka dengan apa yang putranya ungkapkan barusan.

Sedangkan balita itu mengangguk kencang, "Bolt mau main polici-pelampok cama Paman Nalu. Boyeh ya, Mama?"

Hinata tak langsung menjawabnya. Ia tampak menghela napas panjang sejenak, lantas memperhatikan raut rupawan sang putra---yang tampak penuh harap jika keinginannya akan terkabulkan. Sejujurnya ia tak begitu senang ketika anaknya terlihat begitu dekat dengan sang ayah kandung. Sudah cukup ia kehilangan pria yang ia cintai, tapi tidak dengan Bolt. Pria kecil itu adalah nyawanya. Ia ... tidak ingin kehilangannya.

"Kenapa Bolt mau bertemu Paman Naru, hm? Kan ada Mama di sini." Setelah berhasil mengendalikan perasaan, Hinata kembali mengajukan pertanyaan.

"Kalena Paman Nalu baik cama Bolt."

Mendengarnya, Hinata segera memasang ekspresi sendu; pura-pura terlihat kecewa ketika menatap kedua mata safir sang putra. Meskipun ia tak menampik jika memang ada setitik kekecewaan di sudut hatinya. "Jadi, menurut Bolt ... Mama ini kurang baik sama Bolt? Mama jadi sedih nih."

MINE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang