Tidak seperti kebanyakan balita, Bolt adalah tipe anak yang cukup tenang. Dibandingkan dengan pria kecil lain yang terlihat asyik bermain kejar-kejaran, ia justru memilih duduk diam pada bangku di sisi ayahnya. Bahkan di usianya yang masih cukup dini, bocah pirang itu sudah pandai menyuap makanannya sendiri.
Tangan kanan mungil itu tampak menyendok crepes cake-nya dengan garpu, dengan gerakan hati-hati. Meskipun remah-remah cake sewarna pelangi itu terlihat berhamburan di sekeliling piringnya, namun hal tersebut masih mampu mempertahankan senyuman sang pria dewasa kala menatapi tingkah laku anaknya.
Bagi Naruto, Bolt terlihat begitu menggemaskan dengan noda-noda makanan yang menghiasi kedua sisi pipinya yang tembam. Bayi kecilnya semakin besar saja. Anak lelakinya tumbuh dengan begitu mandiri, dan ia merasa bangga. Ibunya benar-benar mengajarkan hal-hal baik pada putra mereka.
Ibunya, ya?
Naruto terhenyak ketika pemikiran tersebut melintasi kepalanya, disusul dengan senyumannya yang raib secara tiba-tiba. Ah, ia jadi kembali mengingat wanita itu beserta hal yang terjadi beberapa jam lalu. Jujur saja, ia akui jika dirinya tengah teramat kesal pada sang wanita Hyuuga.
Namun, meskipun ia sedang dalam fase badmood, Naruto tetap berusaha ceria ketika bersama Bolt. Ia sangat tidak ingin masalah dirinya dan Hinata---yang adalah orang tuanya---akan berimbas pada psikis sang putra tercinta. Bolt harus tumbuh dengan sehat, baik fisik maupun mentalnya.
Untuk mengalihkan pikiran, kini mata safirnya kembali terfokus pada kegiatan sang balita. Dan ia sedikit terkekeh ketika tangan kecil Bolt terlihat kesulitan ketika hendak menggapai cangkir eskrim di atas meja di depannya, meja kafe itu nyatanya memang terlalu tinggi untuk si balita.
"Mau paman suapi?" tawar Naruto, ia mendorong pelan cangkir yang masih penuh tersebut mendekat pada anaknya. Secangkir eskrim cokelat bertopping saus karamel lezat, bertabur chocho chips beraneka warna pula candy sprinkles memang selalu berhasil menarik perhatian anak kecil---tak terkecuali Bolt, maka dari itu ia membelikannya.
"Uhum!" dan tentu saja Bolt mengangguk semangat, di suapi oleh 'sang Paman baik hati' adalah salah satu keinginannya. Mata biru yang nyaris serupa dengan milik pria di sisinya tampak berbinar bahagia, sedikit mengobati sakit hati sang pria asal Kanada pada wanita yang telah melahirkan putranya ke dunia.
Sambil terus merekahkan senyuman, tangan kanan Naruto segera mendekatkan sesendok kecil krim dingin nan manis itu ke depan mulut mungil balitanya. "Buka mulutmu."
Mulut mungil itu melebar seketika, Bolt tampak tak sabar menerima suapan Paman yang sebenarnya adalah ayah kandungnya. "Aaa~"
"Enak?" senyuman Naruto tak luntur melihat raut berbinar pria kecil di sisinya. Benar kata orang, bahagianya anak kecil memang sesederhana itu. Ah, andai saja ia mampu terus berada di sisi sang putra, ia tak akan segan untuk menuruti segala keinginan buah hatinya.
Sedangkan kepala pirang Bolt tampak mengangguk mantap, "Enyak! Bolt cuka coklat. Manis."
"Pelan-pelan makannya, Sayang." Tegur Naruto. Ia sedikit terdiam ketika sesuatu mengusik pemikirannya. "Paman boleh bertanya sesuatu?"
"?"
Kedua alis pirang Bolt hampir bertaut mendengarnya. Ia menatap kedua netra biru pria dewasa di sisinya dengan tatapan polos.
"Paman Gaara, apakah dia sering bermain ke rumah Bolt?"
Sejujurnya Naruto sedikit ragu untuk bertanya, namun ia kepalang penasaran. Apalagi ketika beberapa kali ia melihat dengan mata kepalanya sendiri jika sang putra begitu dekat dengan Gaara. Tentu ia tidak ikhlas, biar bagaimana pun Bolt adalah anaknya, seharusnya hanya dirinyalah yang boleh akrab dengan sang balita.
KAMU SEDANG MEMBACA
MINE✔
عاطفيةSequel dari cerita "Promise" Menjadi seorang single parent adalah pilihan hidup Hinata, pula sebagai jalan untuk menebus rasa bersalahnya terhadap Gaara, mantan suaminya. Pada mulanya kehidupan dirinya beserta Bolt, sang putra baik-baik saja, semua...