Chapter 2 : Jeon Wonwoo's Worst Birthday Ever

2K 192 3
                                    

WONWOO, melakukan tugasnya seperti biasa selama satu minggu penuh, dua hari lalu, ia dan ayahnya sudah datang ke acara kelulusan Wonwoo dan sesuai janjinya, Wonwoo mendapat lulusan terbaik. Ayahnya juga menepati janjinya untuk mengajaknya ke Seoul tepat di hari ulang tahun Wonwoo yang kelima belas.

Dan hari ini adalah harinya, Wonwoo dan ayahnya tengah duduk di kursi di salah satu kereta yang melaju menuju Seoul. Melakukan perjalanan hampir tiga jam lamanya hingga akhirnya keduanya turun di stasiun Seoul.

Wonwoo begitu bahagia, ini kali pertama ia mengunjungi Seoul. Terlihat dari kedua matanya yang sangatlah berbinar melihat bagaimana ramainya kota tersebut. Gedung-gedung menjulang tinggi melebihi yang ada di Changwon.

Ayahnya kemudian mengajak Wonwoo ke suatu tempat, ia bilang bahwa ini adalah untuk merayakan kelulusan sekaligus ulang tahun Wonwoo. Yaitu sebuah restoran barbaque yang sangat terkenal di daerah Itaewon. Bagi Wonwoo dan ayahnya, makan daging adalah suatu hal yang sangatlah jarang di lakukan, mengingat keduanya memang hidup kurang bercukupan.

Wonwoo dan ayahnya memasuki restoran tersebut dan ayahnya memesan. Keduanya duduk berhadapan di salah satu meja. Wonwoo tak berhenti tersenyum kepada ayahnya. "Terima kasih banyak ayah. Ini hadiah kelulusan dan ulang tahun terbaikku." Ucapnya, tak sedikit pun menghilangkan senyum manisnya.

Ayahnya membalas senyumannya. "Iya, maaf ayah hanya bisa memberikan ini." Balasnya.

Wonwoo mengangguk. "Ini sudah lebih dari cukup." Ucap Wonwoo.

Beberapa menit menunggu, pesanan keduanya datang, berbagai jenis daging ada di atas meja mereka dan pelayan itu mulai membakarnya dan meninggalkannya setelah daging tersebut siap di makan. Ayahnya mengambil satu potong daging dan menaruhnya di atas mangkuk nasi Wonwoo. "Makanlah yang banyak." Ucapnya dan di beri anggukan antusias dari Wonwoo.

Ia mulai makan hidangan yang ada di depannya, ayahnya tersenyum dan terus menaruh potongan daging di mangkuk nasi Wonwoo. "Ayah tidak makan?" Tanya Wonwoo.

Ayahnya tersenyum. "Nanti, kau harus makan lebih banyak Wonwoo. Kau terlalu kurus." Balas ayahnya dan kembali meletakkan potongan daging itu.

Wonwoo mengerjapkan kedua matanya, ia mengambil satu potongan daging dan ditaruh di mangkuk nasi ayahnya. "Ayah juga harus makan." Ucap Wonwoo dan ayahnya mengangguk, mengambil potongan daging itu dan memakannya.

Keduanya berlanjut memakan makan malam mereka dengan berbincang banyak hal, terutama membahas Wonwoo untuk melanjutkan sekolah di mana. Keadaan juga semakin ramai di itaewon.

Selesai dengan makan malam mereka dan membayar, mereka keluar dari restoran tersebut. "Sebelum kita mencari penginapan, ayah akan menemui teman lama ayah dulu." Ucap ayahnya.

Wonwoo menatap ayahnya bingung. Ayahnya tidak pernah cerita mengenai teman yang berasal dari Seoul. Wonwoo hanya mengangguk. Keduanya kemudian mencari taksi dan menuju tempat di mana ayahnya akan bertemu dengan teman lamanya itu.

Hampir lima belas menit mereka menghabiskan waktu di taksi, hingga keduanya sampai di Gangnam. Tapi bukan kawasan elit seperti yang Wonwoo tahu, melainkan kawasan konstruksi yang gagal. Bangunan tinggi-tinggi menjulang ada banyak dan pinggirannya hanya rerumputan dan beberapa pohon.

Taksi tersebut berhenti dan setelah membayar keduanya keluar. "Ayah, kenapa kita bertemu dengan teman ayah di sini?" Tanya Wonwoo, ia sama sekali tidak mengerti.

Ayahnya menoleh. "Kau melihat cahaya itu?" Tanyanya sembari menunjuk sebuah lantai gedung yang terdapat cahaya, seperti cahaya api. Tepatnya di lantai sebelas. Wonwoo mengangguk untuk menanggapinya. "Dia seperti kita, tidak punya rumah. Jadi dia tinggal di sini." Tambah ayahnya.

Wonwoo bingung, mengerti bahwa Seoul tetap sama dengan Changwon, masih ada yang hidup tidak bercukupan seperti mereka. Itu pun masih berkecukupan Wonwoo dan ayahnya karena memiliki penghasilan yang meskipun sedikit dan rumah kecil.

"Wonwoo, kau tunggu si sini saja ya.. Ayah tidak akan lama." Ayahnya menatap Wonwoo dengan berjongkok dan mendongakkan kepalanya.

Wonwoo hanya terdiam. "Kenapa aku tidak boleh ikut?" Tanyanya.

"Tidak perlu nak, ayah hanya menemuinya sebentar. Dia berhutang pada ayah. Ayah akan menagih uangnya." Dan jawaban ayahnya benar-benar di luar apa yang Wonwoo pikirkan. Ia sama sekali tidak tahu bahwa ayahnya meminjamkan uang pada orang lain, apalagi dari Seoul.

Wonwoo kemudian mengangguk. Ayahnya meraih tubuhnya dan memeluknya. "Selamat ulang tahun, ayah menyayangimu." Ucapnya lalu mengusak rambut Wonwoo. Ia bangkit dan mulai berjalan menaiki tangga. "Tunggu di sini sebentar." Ucap ayahnya lagi. Dan Wonwoo mengangguk lagi.

Ayahnya semakin naik ke lantai berikutnya dengan tangga itu. Wonwoo mendekat dan melihatnya dari bawah. Entah kenapa perasaannya tidak enak. Ia benar-benar gelisah dan memutuskan untuk menaiki tangga itu perlahan.

Terus naik hingga ia sampai di lantai sebelas, dari kejauhan ia melihat beberapa orang berdiri dengan jas sangat rapi. Ada satu orang yang duduk dan ayahnya yang berdiri di depan orang tersebut. Wonwoo tak bisa mendengar apa yang mereka cakapkan. Cahaya juga remang-remang karena hanya ada kobaran api di sebuah wadah yang Wonwoo tidak tahu apa itu.

Wonwoo menelan ludahnya kasar, tidak mungkin kalau orang itu adalah orang miskin sepertinya, Wonwoo tahu bahwa yang duduk itu adalah bosnya dan yang berdiri adalah para bodyguardnya.

Wonwoo hanya bisa melihat wajah ayahnya yang terkesan memelas. "Ada apa ini sebenarnya?" lirihnya. Ia ingin mendekat tapi ia takut.

Ia kemudian menuruni tangga sedikit dan hanya kepalanya yang muncul di lantai sebelas itu. Ia melihat orang yang duduk itu berdiri dan mendekat ke arahnya dan setelah itu, ayahnya terdorong dan jatuh dari lantai sebelas. Terdorong oleh kedua tangan orang itu. "Ayah!" Wonwoo sedikit memekik, ia segera menurunkan kepalanya sebelum dilihat oleh orang-orang itu.

Wonwoo perlahan menuruni tangga, ia sudah menangis, dadanya sesak sangat, ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Menangis dalam diam dan mencoba untuk secepat mungkin menuruni tangga ketika mendengar orang-orang itu juga menuruni tangga. "Hiks.. Ayah.. Hiks.." Ia semakin menangis dan mempercepat langkahnya hingga di lantai satu.

Ia tak melihat tubuh ayahnya, ingin menghampiri tapi langkah kaki yang menuruni tangga itu semakin cepat. Wonwoo takut. Ia sangat takut, ia berlari sekencang mungkin dari gedung tersebut, dengan isakan tangis yang tak berhenti. Jatuh dari lantai sebelas, sudah pasti ayahnya meninggal. "Ayah.. Hiks.. Maafkan Wonwoo.. Hikss.." Langkahnya semakin cepat.

Wonwoo sedikit menoleh ke belakang, jauh di sana masih ada orang yang mengejarnya. Hingga akhirnya ia sampai di sebuah perumahan dan Wonwoo melihat ada truk pengangkut sampah yang berada di depan salah satu rumah tersebut. Wonwoo diam-diam masuk dan bersembunyi di balik kantong-kantong hitam itu. Ia menutup mulutnya lagi dan ia semakin terisak.

Perlahan truk itu mulai melaju entah kemana. Pikirannya masih memikirkan ayahnya. Ayahnya dibunuh, dan Wonwoo tidak bisa menolongnya. Siapa orang-orang itu, yang jelas bukan teman ayahnya, mana mungkin seorang teman membunuh seperti itu. Wonwoo menghapus kasar air matanya, ia benar-benar tidak bisa berpikir jernih sekarang.

Hingga sekitar lima belas menit, truk itu berhenti, Wonwoo segera keluar dari sana. Keluar di sebuah jalan raya yang cukup besar. Ia berlari lagi, terus menerus hingga ia kelelahan dan menabrak orang-orang yang begitu banyak. Wonwoo tahu tempat ini, ia kembali ke Itaewon.

Wonwoo terduduk di sebuah kursi taman yang tak jauh dari pusat keramaian yang selalu terjadi setiap malam itu di Itaewon. Ia menunduk begitu dalam, masih menangisi ayahnya. "Kenapa.. Hiks.. Kenapa ayah dan ibu meninggal di hari ulang tahunku? Hiks.. Kenapa aku harus lahir Tuhan.. Hiks.." Lirihnya.

tbc

MèirleachTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang