"Kalau udah keputusan bonyok lo sih harusnya dia bisa menghormati itu, Ra." mendengar itu, Kara mendengus.
Di ruang tengah, Kara dan Keenan tengah menikmati kue kering buatan Ibu sambil menonton TV.
Setelah Refal pulang dari rumahnya, Kara tidak melakukan apa-apa selain berlari memasuki kamarnya. Perempuan itu tak kuasa menahan tangis. Kedua telapak tangannya menutupi hampir seluruh wajahnya, berusaha agar Keenan dan Ibu tak menyadari tangisnya. Keputusan yang salah, sebab hal itu membuat Keenan dan Ibu tau Kara sedang menangis.
Keenan merutuki dirinya sebab ia tidak tau apa yang harus ia lakukan. Apakah Keenan harus mengejarnya? Lalu apa? Memeluknya? Membayangkannya saja Keenan malu sendiri.
Kira-kira setengah jam setelah Kara berdiam diri di dalam kamar, Keenan mengetuk pintu kamar perempuan itu. Kara membuka pintu. Membuat Keenan segera memperhatikan wajahnya. Wajahnya tak sembab. Hanya saja hidung dan matanya sedikit merah. Keenan tau, Kara pasti mambasuh wajahnya sebelum membuka pintu. Perempuan itu bahkan mengganti bajunya. Ia tak lagi mengenakan kaos dan celana rumah. Melainkan mengenakan hoodie dan legging panjang.
"Mau kemana ganti baju?" tanya Keenan.
Kara tersenyum. Manis, semanis manisnya orang manis. Membuat Keenan hilang akal untuk beberapa saat. "Ayo, turun. Tante masak apa?"
Keenan seakan tak terkontrol. Tubuhnya otomatis mengikuti arah gerak Kara ketika perempuan itu menarik pergelangan tangannya.
***
"Lo nggak ganti baju?"
Kara menoleh, mendapati Keenan sedang menuruni anak tangga. Laki-laki itu mengenakan kaos polos dan celana di atas lutut. Setelah menceritakan sedikit dari apa yang dirinya dan Refal bicarakan beberapa waktu lalu, Keenan mengajaknya pergi keluar.
Kara menunduk, memperhatikan pakaian yang ia kenakan. "Nggak ah, pake ini aja."
Setelah sedikit banyak makan makanan buatan Ibu Keenan, Keenan mengajak Kara untuk mencari udara segar.
Malam ini, bukan waktunya Didit--motor Keenan--untuk berkelana. Mobil hitam tua yang belum bernama ini menggantikan peran Didit, dan menjadi kendaraan pertama yang membawa Kara berkelana lagi di Bogor. Selain itu,Kara adalah perempuan pertama selain Ibunya yang Keenan bawa di kursi penumpang di sampingnya. Siapa tau, Kara juga akan menjadi perempuan pertama yang memberi ide nama untuk kendaraannya yang satu ini. Siapa tau.
"Gue tau tempat ini." Kara menoleh kepada Keenan.
Keenan tertawa.
"Nan, yang bener aja!" Kara mendorong bahu Keenan.
"Duh, kenapa dorong-dorong, sih!" Keenan mengusap bahunya. "Ini, pasar malam yang dulu sering kita datengin kalau lagi libur sekolah, inget?"
Kara menutup mulutnya. "Masih sama, Nan! Masih sama!"
"Ada yang berubah kok. Mang Nanang, tukang es potong kesukaan lo udah ngga ada. Sekarang digantiin sama anaknya, Andi."
Dahi Kara mengerut. "Sumpah? Kenapa? Sakit?"
Keenan mengulum bibirnya. "Nggak, kayaknya emang udah umur aja. Good news, sekarang udah nggak di gerobak kecil, tapi udah ada rukonya. Disamping pasar malam. Nanti kita kesana ya?"
"No, no. Ayo kesana, gue ngidam es potong sekarang!" meski sedih mendengar bahwa Mang Nanang sudah tidak ada, Kara tetap senang karena akhirnya ia bertemu dengan tempat ini lagi. Terutama es potong coklat kesukaan Kara di masa SD bersama Keenan. Kara sungguh merindukan hari-hari itu.
Bruk!
Kara menoleh. Tasnya yang baru saja ia ambil jatuh tergeletak di bawah dashboard sebelum Kara berlari ke sisi lain mobil.
Keenan terbanting ke sisi mobil dengan Refal di atasnya dengan tangan terkepal. "Anjing lo!"
"Refal!" seru Kara spontan.
Refal menoleh. Dadanya naik turun menggebu-gebu. Ia menunjuk wajah Kara dengan telunjuknya. "Bilang aja lo mau selingkuh, perek. Nggak usah bilang kalo ini semua nyokap lo yang ngatur."
Mendengar itu, Keenan menarik tubuh Refal untuk berbalik menghadapnya. "Jaga omongan lo."
Bruk!
Keenan terpukul lagi.
"Lo diem, ngga usah ikut campur." Refal kembali menghadap Kara yang sudah tidak dapat menahan tangisnya. "Lo kenapa nangis?"
"Kenapa nangis? Takut Keenan celaka?" Refal mendekat pada Kara.
Sedang Kara yang tak dapat berkata-kata dengan perlahan berjalan mundur menjauhi Refal.
"Jawab, anjing." Refal mendorong bahu Kara.
"WOI." Keenan reflek menarik tubuh Refal ketika Refal menyentuh Kara.
"Lo diem-"
"Lo yang diem, anjing!" Keenan menonjok pelipis Refal hingga laki-laki itu terjatuh.
Refal cepat berdiri dan menarik kaos Keenan dan memukulnya lagi.
Keenan tidak terjatuh. Ia mundur mendekati Kara, melindunginya kalau-kalau Refal ingin berbuat sesuatu. Tangan kanannya mengusap sisi bibirnya yang berdarah.
Keenan bukan tipe yang suka adu jotos. Ia lebih baik minggir dan menyelesaikan masalah ini baik-baik.
Sementara tidak untuk Refal. Laki-laki itu mendekat dan menarik kerah Keenan. Menurutnya, bicara baik-baik bukan solusi.
Brak!
Kara jatuh tak sadarkan diri.
Bukan memukul Keenan, Refal justru memukul Kara yang secara tiba-tiba berada ditengah keduanya, mencoba menghalangi Refal memukul Keenan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Therefore She is Dodging The Bullet
Short Storycerita tentang Keenan yang menyimpan rasa bertahun-tahun lamanya.