part 3

156 10 0
                                    

Yang kasih vote ⭐ saya doakan masuk surga

Sudah berusaha tapi gagal lagi. Kalau gagal ya tinggal usaha lagi. Prinsip ini terdengar gila jika, diterapkan. Pasalnya hanya manusia dengan tingkat ke-PD-an di atas rata-rata saja yang menyetujuinya. Bagaimana tidak?! Gagal adalah rasa malu terbesar. Pengalaman yang paling benar untuk di ambil faedahnya. Fani termasuk jenis manusia yang memiliki tingkat optimistik tinggi. Jadi, ia menggunakan prinsip tersebut.

Seperti halnya kebiasaan yang sudah menjadi biasa hingga luar biasa. Fani ketika hari libur pergi ke rumah Farel hanya untuk menemui CAMER. Ceritanya pendekatan, padahal sih cuman ingin curi-curi pandang saja. Sudah di hina, permalukan, sampai segala umpatan. Fani tetap berusaha digarda terdepan.

"Ngapain loe ke sini!" gertak Farel. Padahal jika, diperhatikan betul. Farel ini kalau ngomong ibaratkan selalu ada tanda seru di akhir. Nadanya selalu naik.

"Farel, kok gitu sama Fani. Diakan cuman mau main. Lagian sambil nemenin mama juga. Dasar GR!" Farel melotot di Sela mamanya. Mama Rika segera menggeret tangan Fani untuk menghindari Farel. Fani yang tak tahu harus menjawab apa dan terlebih lagi ia takut dengan Farel jika, sudah marah padanya. Ia juga heran ke mana harga dirinya di depan Farel. Sudah ditolak terang-terangan masih saja pantang mundur maju di depan ala 17 Agustus-an.

"Maafin sikap Farel ya Fan," Fani mengangguk. Sekarang Fani ada di dapur menyaksikan Rika yang memasak untuk makan malam dengan ditemani ART.

"Iya Tan. Fani nggak papa kok," Senyumnya mengembang tidak dipaksakan. Ia gadis yang sungguh manis.

"Tan. Aku boleh bantu nggak? Sekalian gitu belajar masak. He he he..." Rika tersenyum lalu dengan antusias menarik Fani untuk memerhatikan bagaimana ia memasak.

"Kamu perhatikan Tante dulu. Besok baru praktik," Fani terkikik geli sembari mengangguk antusia.

"Tante kaya guru tata boga aja. Perhatikan lalu praktik. Kalau bunda sih... langsung suruh Fani aja." Rika mencubit pipi Fani gemas. Seandainya ia mempunyai anak perempuan pasti menyenangkan bisa manja manja kepada dirinya dan menemaninya seperti momen saat ini. Anaknya tiga dan semuanya laki-laki. Sudah punya rumah sendiri dan yang kedua malah ke luar negeri karena memiliki bisnis di sana dengan mertuanya. Sedangkan, Farel jangan ditanya anak itu sungguh dingin dan cuek jangankan pada orang luar mamanya sendiri saja dicuekin. Bukan dicuekin memang dasarnya Farel yang pendiam dan tidak seru terkesan kaku.

Ketika Fani asik memperhatika Rika memasak dan sesekali membersihkan sayuran. Matanya menangkap sosok Farel yang tersenyum malu-malu bertelepon dengan seseorang.

"Kenapa mukanya masam gitu Fan?" Tanya Rika.

"Nggak papa Tante," menggelengkan kepala. Layaknya kehabisan baterai lemas, lesu, dan cemburu tingkat akut. Fani memilih tidak peduli. Padahal hatinya sesak dan panas saat ini, "Oh iya Tan. Ini sudah. Terus diapain?" Tanyanya yang sudah membersihkan sayur bayam.

"Kasihkan bibi aja. Biar bibi yang ngolah," Fani memberikan baskom yang berisi sayur yang sudah bersih kepada bibi.

"Tante. Aku pamit pulang ya.. takut bunda cari Fani," hatinya sudah gusar sedari tadi memperhatikan Farel. Katakanlah ia cemburu buta tak jelas.

Haredang eui...

"Nggak sekalian makan malam di sini?" Tanya Rika.

"Lagian anak perempuan main sampai malam. Apa mau dikata!" celetuk Farel datang mengambil air dingin di kulkas. Rika sudah menatap Farel tak suka dengan ujaran anaknya itu, sedangkan Fani tersenyum getir betapa mengganggunya dirinya dimata Farel.

"Benar kata Farel Tante. Aku pulang dulu ya Tan," Mencuci tangan dan lalu bersalaman dengan Rika.

"Padahal Tante pengennya kamu nginep aja," Farel melotot dengan permintaan mamanya, sedangkan Rika masa bodoh dengan ekspresi putranya yang ingin sekali ia masukan ke dalam rahim kembali. Sayangnya gagasan tersebut tidak mungkin terwujud.

Chasing Shamelessly (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang