Part 16

172 6 0
                                    

Yang vote  Part ini ⭐ saya doakan masuk surga

Mi Gacoan makanan khas arek Surabaya, restoran yang baru buka minggu lalu sudah ramai pengunjung di salah satu kawasan Jakarta itu. Apalagi hari libur begini, makin padat merayap. Fani dan Ita memilih untuk weekend di sana sebelum mereka akan melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya.

"Aku mau mondok di Jawa Timur," ujar Fani sembari melilit mi di garpunya sudah hampir penuh.

"Loe yakin?" Tanya Ita dengan gagasan Fani yang menurutnya nyeleweng. Fani yang kelihatan bar-bar begini bagaimana bisa betah di pondok hanya dalam kurun satu bulan? Sungguh tidak bisa dibayangkan.

"Yakinlah!" Sungut Fani. Lagi pula Bunda dan Ayahnya sudah setuju dengan keputusannya.

"Loe nggak niat buat menghindar dari Farel kan? Atau mondok cuman seribu satu alasan loe aja?!" Tanya Ita masih menyelidik. Bahkan sendok beserta garpu itu sudah ia taruh kembali di wadah yang masih penuh dengan mi.

"Gue cuman pengen tobat," jawab Fani sembari menyanggah dagunya di atas kedua telapak tangannya.

"Buwahahahaha..."

"Kok ketawa sih!" Salah Fani sudah curhat kepada Ita. Bukan kasih support malah sebaliknya.

"Maaf. Ya kalau tobat, tobat aja Fan. Nggak usah nungguin mondok segala. Pintu taubat masih terbuka lebar. Gemes gue sama loe!" Sembari mencubit pipi Fani gemas.

"Terserah loe nanggepin kayak gimana! Yang jelas keputusan gue udah bulat!" Bulat seperti tahu bulat. Fani akan mondok. Ia sadar tak ada yang bisa ia capai sekarang ini. Bahkan ia tak punya cita-cita. Dengan nilai yang tidak terlalu tinggi. Bagaimana bisa ia lulus tes masuk kuliah kalau dilihat dari nilai rapor. Oh No! Jalan keluarnya adalah dia harus tes untuk masuk universitas dan Fani paling tidak suka ujian. Cukup terakhir UN saja.

Namun, Bunda yang mendukung dirinya mondok, ingin putrinya juga berpendidikan sarjana. Tidak harus masuk kuliah negeri terpenting Fani harus kuliah. Oke! Fani turuti. Ia harus mondok + kuliah. Demi orang tua dan tentunya masa depannya.

"Farel udah tahu?!"

"Nggak! Ngapain juga harus tahu. Lagian kita nggak ada apa-apa," Fani melanjutkan melahap mi Gacoan yang sempat ingin berhenti itu karena kepedesan.

"Cie. Udah move on nih ceritanya? Atau nahan doang biar nggak sedih di akhir. Udah bisa ketebak loe Fan!" Fani hanya tersenyum simpul dengan ucapan Ita yang kelewat benar. Ia menahan diri agar ia tidak berharap kepada hamba Allah yang bernama Farel itu. Fani sadar, Allah Maha Pencemburu. Tak seharusnya ia mencintai Farel hingga lupa ada Allah yang lebih cinta darinya. Lagi pula entah dia mondok atau tidak bukan urusan Farel. Hubungan mereka hanya sebatas guru dan murid tidak lebih. Lagi pula UN sudah berakhir. Tidak ada alasan lagi untuk dirinya berharap penuh dengan Farel. Begitu tidak jelasnya Fani sekarang. Dia benar-benar menyerah.

"Gue doain sahabat gue yang satu ini mendapatkan hasil yang terbaik, dan taubatnya di terima oleh Allah," Fani memberengut kesal dengan doa Ita yang terkesan meledek.

"Katanya pengen tobat. Harus menahan emosi Fani, jangan pecicilan terus," begitulah pesan Ita makin membuat Fani tidak bisa berkata-kata. Attitude, jangan lupakan itu. Sabar di sayang Tuhan. Ingat Fani.

--*--

Hari yang terasa berbeda dari biasanya. Fani sudah kembali ke rumahnya karena Bunda dan Ayahnya akan mempersiapkan keperluan dirinya untuk kuliah sekaligus mondok di Jawa Timur.

"Fani yakin dengan keputusan kamu?"

"Bunda, jangan bikin Fani tambah sedih donk"" rengek Fani yang sudah mulai berkaca-kaca. Bunda mengelus pipi putrinya yang masih kelewat manja itu.

Chasing Shamelessly (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang