Part 11

148 6 0
                                    

Sebelum membaca, jangan lupa vote ⭐ dan tinggalkan jejak di kolom komentar!!!

Ujian Nasional SMA akan dimulai. Sedangkan mata pelajaran Fani semuanya di bawah rata-rata. Bagaimana ini? Ia masih termenung memikirkan nilainya seperti lautan merah, ayah dan bunda pasti marah atau lebih tepatnya kecewa. Ia tidak pandai dalam segala hal. Sebagai seorang anak satu-satunya ia seperti tidak berharga sama sekali. Padahal ketika syukuran setiap orang tua selalu berdoa 'Semoga kelak menjadi anak yang salih/salihah, berguna bagi orang tua, dan Nusa Bangsa' Sedangkan dirinya. Jangankan berguna bagi Nusa Bangsa, untuk orang tuanya saja dirinya tidak yakin.

Sore itu, di ruang keluarga ia menonton kartun kesukaannya tidak ingin memikirkan nilainya yang semakin hari semakin anjlok.

"Farel mau ke mana?" ia melihat Farel yang sudah rapi dan terlihat tampan membawa ranselnya.

"Kerja kelompoklah. Emang Loe makan tidur," Fani menggembungkan pipinya merasa gondok karena kalimat Farel.

"Etdah... Kan cuman nanya. Malah..."

"Malah apa!?" Fani menggeleng cepat berbalik menghadap televisi, fokus dengan kartun kesukaannya kembali. Sesudah Farel ke luar rumah Fani berbalik lagi mengikuti diam-diam sampai gerbang.

"Mau kerja kelompok aja. Pakaiannya udah kayak orang lagi jalan sama pacar," gaya casual dengan hoodie oversize, t shirt, dan cargo pants dengan warna senada membuat Fani semakin kagum dengan laki-laki yang selalu mengabaikannya itu. Mendengar kata kerja kelompok membuatnya memikirkan nilainya kembali. Apa aku harus mencari guru privat ya gumamnya. Fani juga lupa minta guru privat sebelum orang tuanya pergi ke Luar Negeri.

--*--

Fani terlonjak mendengar gebrakan meja dari Pak Dito selaku Guru Matematika. Bahkan Fani susah menelan ludah saat ini. Bibirnya tak berhenti berkomat kamit bezikir, dasar Fani kalau yang begini saja ia baru tobat. Ia dipanggil karena nilainya bulat sempurna, parah memang. Di kelasnya yang paling besar hanya 55 dan paling kecil dirinya. Masih dengan ketakutannya dengan Pak Dito yang mengeluarkan segala macam dalil dan Fani hanya terdiam, otaknya bahkan tidak bisa mencerna kata-kata yang dikeluarkan dari bibir Pak Dito.

"Bapak akan minta tolong Farel buat ngajarin. Kebetulan kamu tinggal di rumahnya. Sekarang kamu boleh ke kelas lagi," dalam hati Fani berteriak gembira. Ia bisa kerja bareng dengan Farel.

"Kenapa senyum-senyum. Nilai sudah seperti telur gini."

"Enggak Pak. Makasih Pak. Wasssalamualaikum," lalu Fani pergi dari kantor guru tersebut, di lain ruang seorang siswi yang mendengar percakapan Pak Dito dan Fani tersebut merasa gusar atas keputusan Pak Dito kalau Fani akan belajar kelompok dengan Farel.

"Diapain loe sama Pak Dito?" sekarang Ita dan Fani sedang nongkrong di salah satu kursi taman sekolah sembari memakan camilan dengan melihat pemandangan yang luar biasa untuk Fani, apa lagi kalau bukan Farel yang sekarang bermain basket dengan keringat yang membasahi rambutnya di bawah terik sinar matahari. MasyaAllah...

"Auw!" Ita mencubit lengan Fani karena pertanyaannya tidak dihiraukan sedari tadi. "Apa sih! Nggak enak-enakin mengagumi ciptaan Tuhan," sungut Fani.

"Dari tadi gue nanya. Malah asyik ngeliatin yang di sono," gemas Ita menunjuk dengan kepala tempat sedari tadi Fani hilang akal memandang Farel dan teman-teman lain main basket.

"Ekhem." suara deheman membuyarkan candaan mereka berdua, terlihat Laras yang sudah berdiri di depan mereka.

"Loe bisa minggir. Ngerusak pemandangan tahu!" usir Fani menatap tajam Laras. Semenjak insiden baku jambak, Fani sudah memasang bendera merah siap perang pada gadis yang sekarang mengganggu pemandangannya.

Chasing Shamelessly (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang