Part 8

140 6 0
                                    

Yuk! Sebelum membaca jangan lupa vote ⭐ dan tinggalkan jejak kalian di kolom komentar

Fani pov

Cinta itu buta, salah  jika ada yang mengartikan seperti itu tetapi cinta itu saling mengerti. Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi, begitu berat apakah ini bisikan setan. Selalu saja ketika azan shubuh dimulai sangat malas melangkahkan kaki hanya untuk mengambil wudhu seandainya sholat tidak ada ritual terlebih dahulu apakah masih akan seberat ini. Aaah... Sungguh berfikir apa aku. Mungkin otakku sudah dipenuhi dengan Farel, laki-laki yang sudah mencuri hatiku.

Astaghfirullah... Selalu saja di tengah ingin bermunajat kepadamu malah hambamu memikirkan hambamu yang kau ciptakan itu begitu tampan dan kepandaiannya yang membuat jantung hatiku olah raga setiap bertemu dengannya. Sungguh hina hambamu ini memikirkan yang lain.

Ruang shalat minimalis dengan dinding arah kiblat bertuliskan nama Allah dan Rasulnya Muhammad, serta sebelah kanan ruangan terdapat rak tempat Al Qur'an berada. Tempat ini sudah dikhusukan untuk kami sholat berjamaah di rumah, tetapi yang mengimami bunda. Ayah lebih memilih shalat shubuh di masjid, katanya kalau di rumah jadi shalihah bukan shalih lagi. Haduuh.. Ada ada saja Ayah. Sesudah mengambil wudhu memang beda seketika itu mataku langsung bulat sempurna, tidak keliyeran bagai baju yang dikasih jepitan.

Inilah ritualku setiap shubuh, sesudah shalat berzikir lalu setor surat 1 lembar ke bunda, kecuali jika aku mendapatkan hadiah dari Allah kalau tidak boleh shalat hehehe.. Sungguh nikmat mana yang kau dustakan. Sesekali bunda menyalahkan bacaan tajwidku yang salah, ada saja salahnya heran. Dan yang paling sering selalu saja bacaan mad thobii dhohiri dan muqoddar nya.

"Sering-seringlah nderes Fan," kalimat imperaktif itu yang selalu terlontar dari bibir manis bundaku ini, dan aku hanya nyengir kuda saja.

Keluargaku bukan dari kalangan agamis, bahkan aku juga bukan anak pondok. Bunda menyuruhku mondok agar bisa mengaji, tetapi aku tidak mau jauh-jauh dari keluarga. Ayah tidak komplen, hanya diam memperhatikan perdebatan aku dan bunda pada waktu itu di ruang keluarga lalu. Waktu itu aku baru lulus SMP.

"Pokoknya Fani tidak mau mondok!" teriakku lalu pergi ke dalam kamar sambil menutupnya kencang. Meraung-raung di dalam kamar, aku hanya belum siap saja jauh-jauh dari Farel.

Kapan angin dihatimu berhembus padaku?

Bunda dan ayah akan pergi ke luar negeri, bunda yang melanjutnya S2 nya sedangkan ayah yang dipindah kerja di cabang perusahaan. Rencana awal aku akan dipondokkan, tetapi malah berakhir dengan akupun tak tahu harus berekspresi bagaimana? Entah aku bahagia atau sedih. Sedih karena harus tiggal jauh dari orang tua, bahagia karena aku akan dititipkan di rumah tante yaitu mama dari Farel.

Kasur empuk dikamarku itu sudah tidak berbentuk, sedangkan diriku meloncat loncat kegirangan di atasnya. Tinggal bersama dengan pujaan hatiku dalam satu atap adalah impian, bahkan aku sudah tidak peduli setan dalam diriku ini sudah berteriak senang setiap hari harus zina mata melihat Farel. Sungguh ini nikmat atau cobaan.

"Kamu senang Fani?" tanya bunda datar melihatku meloncat-loncat kegirangan di atas kasur, beliau sekarang berada di ambang pintu. Aku langsung duduk bersila menghadap bunda sambil tersenyum penuh.

"Kemasi barangmu Tuan Putri," perintah bunda dan pergi meninggalkan kamarku. Hah! Secepat itukah! Aku langsung bergegas memasukkan bajuku ke dalam koper, serta teman-teman lainnya yang diperlukan perempuan khususnya tak perlu dijelaskan.

Aku menuruni tangga, waktunya makan malam.

"Kapan bunda dan ayah berangkat?"

"Nggak sabar banget. Seneng nih gk ketemu bunda sama ayah?" ledek ayah yang memang irit bicara itu.

"Enggak kok Yah...." ujarku sambil mengambil nasi yang disiapkan bunda.

"Nanti di rumah tante Rika jangan nakal Fan," nasihat bunda. Seperti biasa jika aku akan ke mana-mana bunda akan ceramah panjang kali lebar terlebih dahulu, apalagi sekarang yang malah aku akan dititipkan ke rumah orang selama beberapa tahun. Sungguh malang nasibmu Fan..., mendengar nasihat bunda aku hanya mengangguk saja tanpa ada balasan sedangkan ayah sosok orang yang sedikit bicara. Sungguh pasangan yang serasi.

Besok paginya aku di antar ke rumah tante Rika, tidak ada penyambutan spesial karena aku sering ke rumah ini sekedar main padahal niatnya menghampiri Farel saja. Entah aku berjuang harus bagaimana? Di tolak sebelum mengungkapkan. Farel sungguh risih kepadaku, karena aku selalu mengganggu gadis yang ingin ia dekati. Masih ingat kejadian minggu lalu, Farel hampir jadian dengan Laras. Gadis itu memang cantik, dan bahkan banyak yang naksir Farel salah satunya. Tetapi aku menggagalkan rencana mereka jadian.

Enak saja, Farel mau pacaran, aku saja tidak pernah satu kalipun menjaga diri niatnya. Lah dia mau cinta-cintaan sama gadis lain. Tidak boleh. Pernah sepulang sekolah ia menarikku menuju parkiran jangan tanya hatiku waktu itu digenggam erat olehnya. Terasa berdebar didada, kalimat tersebut mirip seperti lagu Afgan panah asmara. Ya, sudah lulus mendebarkan hatiku. Segitu bucin-nya diriku.

"Gue harap. Loe jauh-jauh dari gue. Berhenti urusin hidup gue. Gara-gara lo gue gagal jadian sama Laras. Berhenti. Lo paham nggak!" aku hanya diam tidak memberi respon. Terlihat wajahnya yang kesal setengah mati. Seharusnya dia berterima kasih, sudah aku jauhkan dari cewek bernama Laras, cewek ganjeng yang sering tebar pesona. Terus emang aku tidak tahu kalau Laras punya pacar anak kuliahan. Aku bahkan sudah kebal dengan gertakan Farel. Bahkan Ita sudah lelah menyadarkanku.

"Fan, kayaknya telinga loe ada obat anti biotiknya, ya! Kebal banget loe sama gertakan Farel," emosi Ita waktu itu. Bukan apa-apa Ita sepedulinya ke aku. Sayangnya akunya saja yang batu.

"Titip Fani ya jeng," hari ini waktunya aku berpisah dengan kedua orang tuaku.

"Iya. Fani sudah aku anggap anak sendiri kok," sekaligus menantu donk tan. Batin hatiku. Bahkan lampu hijau dari mertua sudah kudapatkan tinggal anaknya yang susah benar dideketin. Aku menuju kamar yang ditunjukkan pembantu rumah ini.

"Kamar Farel yang mana bik?" mataku mengedarkan ke seluruh lantai dua rumah ini hanya ada dua kamar.

"Di sebelah Non," senyumku bahkan sudah mengembang layaknya adonan kue, rejeki nomplok emang. Kata siapa rezeki hanya uang saja, cuci mata juga termasuk. Hihihi...

Setelah kuletakkan koper dan baju-baju di lemari, aku ke bandara untuk perpisahan dengan bunda dan ayah dengan waktu yang cukup lama. Semoga mereka baik dan sehat itu saja doaku. Setelah itu kami ke rumah. Waktu makan malam, dari tadi aku tidak melihat batang hidung Farel di mana dia.

"At Home... Mama," suara itu semakin dekat menuju tempat makan.

"Loe!" ia kaget melihatku dan aku tersenyum sambil melambaikan tanganku.

"Hay."

Fani Pov and

Bersambung ♥️

Seneng nggak? Seneng donk. Tiap hari bisa ketemu si dia.😌

Tapi, ingat Fani. Jaga pandanganmu. Itu zina mata tahu! 😤

Teringat Kata Ita, "Yang penting Fani bahagia."

Terakhir buat pembaca. Ayo ramaikan part ini dengan komentar receh kalian 😍😍😍

Chasing Shamelessly (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang