Kiera menjejakan kakinya di perusahaan tempat mamanya bekerja. Gedung dengan 24 lantai, juga tulisan besar Valerin Group tertera di depan gedung tersebut . Ini bukan kali pertamanya Kiera ke sini, jika di hitung, ini adalah kali ke-enamnya dia berkunjung. Entah untuk bermain atau mengantarkan makan siang untuk mama.
Tautan tangannya dengan tangan mama tidak terlepas sejak mereka keluar dari taxi. Masih erat. Di samping mama, Kiera tampak seperti anak kecil yang akan di antarkan sekolah oleh orang tuanya. Begitu kecil dan menggemaskan. Memakai dress bewarna baby blue, sepatu sneakers putih, juga badana dengan warna senada dengan dressnya.
Beberapa teman mama menyapanya dengan ramah, di balas tidak kalah ramah juga olehnya. Kiera cukup kenal dengan mereka. Seperti bagian resepsionis yang ia ketahui bernama Zita atau aunty Zita, bagian karyawan--karena untuk sampai ke ruangan mama harus melewati ruangan karyawan terlebih dahulu--Kiera mengenal Om Ruswan, juga beberapa lainnya.
Sesampainya di ruangan mama, Kiera mendudukan dirinya di sofa dekat jendela. Ruangan mama itu ada di lantai 5, jadi Kiera bisa dengan jelas melihat pemandangan kota Jakarta.
"Pemimpin perusahaan mama kapan datengnya?" Kiera memulai percakapan setelah diam seraya memperhatikan mamanya yang tengah bercibaku dengan beberapa file.
"Bentar lagi, mungkin. Kenapa?"
"Nggak. Nanti, mama bakal sibuk nggak?" Kiera kembali bertanya.
Andini mengangguk singkat. "Kayaknya, sih, iya. Dia udah lama nggak berkunjung, kemungkinan besar mama bakal sibuk jelasin keadaan perusahaan selama dia nggak dateng."
Kiera hanya mengangguk. Kiera penasaran dengan pemimpin perusahaan tempat mamanya bekerja saat ini. Dalam perjalan tadi, mama bilang usianya masih muda. Hanya beda 1 tahun dengan dirinya. Makanya Kiera penasaran, kok, masih muda udah bisa mimpin perusahaan?
"Kiera mau ke lantai 24 dulu kalo gitu. Boleh?" Andini melirikan matanya saat Kiera kembali bertanya, atau lebih tepatnya meminta izin.
"Boleh. Takutnya kamu juga bosen di sini terus," ujar Mama. Kiera tersenyum lalu mulai keluar dari ruangan mama setelah menyempatkan diri mencium pipi wanita yang telah melahirkannya tersebut.
Kiera mulai melangkahkan kaki menuju lift, menyapa beberapa office boy yang tengah bekerja. Menekan tombol 24 untuk menuju ke lantai tujuannya.
Membutuhkan waktu sedikit lama untuk mencapai lantai itu. Tentu saja, dari lantai 5 ke lantai teratas. Jaraknya jauh.
Sesampainya di sana, pandangan Kiera mengedar. Dilihatnya lantai ini masih sama seperti saat pertama kali dia menginjak 'kan kakinya di sini. Berawal dari dia yang nyasar, lantai ini menjadi tempat favoritnya setiap kali dia berkunjung.
Lantai ini beda. Mama bilang, lantai ini di buat oleh pimpinan perusahaan. Pimpinan perusahaan katanya ingin sesuatu yang beda, lalu jadilah lantai ini.
Lantai yang berisikan berbagai lukisan, dindingnya di hias dengan berbagai gambar graviti aneka warna. Di sisi sebelah kanan, ada jendela kaca besar; menampak 'kan seluruh pemandangan kota Jakarta dari ketinggian. Di sini juga terdapat miniatur taman. Entah untuk apa, tapi itu cocok dan bagus.
Kiera menjelajah. Berjalan menuju ke sisi sebelah kiri, tempat favoritnya. Di sama terdapat 2 kursi berwarna merah dan sebuah meja kecil bundar di tengahnya. 3 meter dari tempat duduk Kiera, terdapat sebuah ruangan, yang kata mama ruangan tersebut adalah ruangan khusus untuk pimpinan perusahaan.
Meskipun lantai ini di buat khusus oleh pimpinan, tapi semua karyawan boleh berkunjung. Dengan syarat, tidak boleh ada yang masuk pada ruangan itu.
Kiera membuka ponselnya, terdapat cukup banyak notifikasi masuk. Jarinya menekan sebuah pesan masuk dari sahabatnya, Clarissa.
Clarissa Hanggini
|Lo lagi dimana, Ra?
|Lagi di kantor mama.
Kenapa?||Yah, padahal mau ngajak maen:(
Read."Heleh, sok ngajak maen. Palingan gue cuma jadi kambing congek." Kiera mendumel sendirian. Dia sudah tau siasat dari sahabatnya itu. Dia sudah hapal di luar otaknya.
***
Di sisi lain, Gio sedang fokus mendengarkan sekretaris pribadi ayahnya berbicara masalah perusahaan. Dari yang Gio tangkap, tidak ada sedikitpun masalah di perusahaan ini. Semuanya baik-baik saja. Malahan, sekretaris ayahnya bilang, perusahaan mengalami kenaikan. Meski presentase kenaikannya hanya 5%, tapi itu sudah sangat bagus.
"Ada yang belum kamu ngerti?" Pak Burhan--Sekretaris ayah Gio--bertanya sesaat setelah dia selesai menjelaskan kondisi perusahaan secara terperinci.
Gio menggeleng seraya tersenyum tipis. "Saya ngerti."
Pak Burhan mengangguk, kemudian mengusak rambut Gio lembut. "Kamu udah dewasa ternyata. Rasanya, baru kemaren Rio ngenalin Gio kecil ke saya." Burhan terkekeh pelan, mengingat betapa menggemaskannya Gio yang dulu.
Gio hanya tersenyum tipis. Dia memang dekat dengan sekretaris pribadi ayahnya ini. Om Burhan, begitu Gio memanggilnya. Lelaki berperawakan tegas dan tinggi, namun memiliki senyuman yang menyejukan hati.
Burhan adalah orang yang selama ini selalu ada untuk membantu semua pekerjaannya. Mereka jarang bertemu, bahkan pertemuan kali ini adalah pertemuan pertama mereka setelah hampir 2 bulan lamanya.
"Kalo ada yang ingin di tanyakan soal karyawan atau lainnya, kamu bisa bertanya pada manager perusahaan," jelas Burhan sekali lagi.
Gio mengangguk mengerti. "Iya, saya bakal tanya nanti. Sekarang saya mau ke ruangan saya dulu. Terima kasih penjelasannya, om." Gio kembali melemparkan senyumnya pada Burhan, yang di balas Burhan dengan senyum hangat.
***
Lantai 24, tujuan Gio saat ini. Lantai teratas gedung ini adalah tempat ruangan pribadinya berada. Sengaja. Gio ingin ruangannya itu sepi, tidak berisik seperti lantai lainnya.
Awalnya, lantai tersebut biasa-biasa saja seperti lantai lainnya. Namun, sekitar dua tahun lalu, saat Arnold dan yang lainnya berkunjung, mereka mencetuskan ide itu. Ide untuk merobak lantai tersebut agar lebih menarik.
Arnold dengan ide untuk meletakan lukisan. Dhaffa yang mencetuskan ide untuk membuat graviti dinding, dia sendiri juga yang menggambar. Dan si kembar dengan ide miniatur taman.
Saat Gio sampai di sana dan berjalan menuju ruangannya, matanya sedikit memincing saat menemukan siluet seseorang yang dia kenal. Dengan kedua tangan berada di saku celana, Gio berjalan mendekat.
Entah cara berjalan Gio memang pelan atau memang dia yang terlalu fokus pada kegiatannya. Sampai-sampai saat Gio sudah berdiri di sampingnya pun, dia tidak sadar.
"Ngapain lo di sini?"
***
935 Word. Pendek banget, huhu.
![](https://img.wattpad.com/cover/248046098-288-k514876.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SENIOR JUTEK (On Going)
Teen FictionKata Kiera, Gio itu kayak cuaca. Suka berubah-ubah dan nggak bisa di tebak. Kata Kiera, Gio itu devinisi 'Dakjal' yang sesungguhnya. Dia udah suka, eh, Gionya malah nggak. Dan kata Kiera juga, Gio adalah manusia terkuat yang pernah ada di hidupnya...