(+) . puk puk

103 16 14
                                    

PURNAMA kesekian yang menggantung pada awang-awang, melukis elok walau beberapa konstelasi bintang menghilang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

PURNAMA kesekian yang menggantung pada awang-awang, melukis elok walau beberapa konstelasi bintang menghilang. Suara bising kendaraan tak begitu terdengar dari dalam kafe yang sengaja diampiri oleh pasangan muda-mudi itu. Suara lagu acak yang disuarakan oleh pengeras suara dalam kafe tak sama sekali dihirau oleh telinga. Bagai angin lalu yang pergi tak tentu arah, bagai awan hitam yang diam-diam menutupi purnama perlahan.

Di sana, di pojok kafe itu ada mereka. Zaeim dan Astrajingga.

"Kalau diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu, kamu mau ngapain, Za?" tanya Astra yang mengundang dengusan Eza.

Astra yang merasa tersinggung mendengar dengusan Eza malah merengek meminta kekasihnya itu menjawab pertanyaan yang barusan terlontar. Eza yang disuguhkan perlakuan tersebut terkekeh kecil, gemas.

"Sama. Sama seperti sebelumnya, sama seperti yang emang udah jalannya dan harusnya."

Giliran Astra yang mendengus. Menggeleng-geleng tak percaya. "Gak realistis!" protes Astra sengit.

"Pertanyaan yang kamu lontarin aja udah gak realistis, Tar..."

"Ya, bener sih." Astra memundurkan dirinya, bersandar pada kursinya. "Tapikan berandai. Memangnya kamu gak punya penyesalan?"

Eza tertawa singkat. "Hidup tanpa penyesalan itu gak mungkin, ay. Saya memutuskan buat gak mengganti jalan cerita walaupun misal saya bisa... Ya, karena emang gak merasa perlu diubah. Mau sejauh apapun, sebaik apapun, sejelek apapun, kalau udah seharusnya, ya, nikmatin aja."

Astra menyatukan kedua alisnya. "Ngomong apa sih kamu?!"

"Yang terlewat, yang gak tergapai berarti emang bukan milik kita. Dan yang seharusnya milik kita gak akan mungkin kemana-mana, sampainya pasti pada kita."

Astra menghela nafas berat. Niatnya menjatuhkan kepala pada meja namun disanggah oleh telapak Eza yang sekarang menjadi bantalan kepalanya.

"Susah banget hidup di dunia," keluh Astra.

Eza mangut-mangut setuju. "Mungkin itu betul, tapi pernah mikir gak, Tar? kalau hidup di dunia gak akan berat kalau kita gak banyak mau sama mereka."

Astra memejamkan matanya. Mulai lelah dengan topik seperti ini. Padahal yang memulai dia sendiri.

Tak lama Astra membisu, tepukan lembut pada kepala Astra membuatnya hatinya membiru.

"Gak papa untuk setiap penyesalan yang mengaliri kepala, dan menyesaki dada. Gak papa untuk segala ketiadaan alasan untuk tetap kokoh karena kesakitan yang nyata, gak papa kalau kamu lelah tanpa alasan, tapi apa-apa kalau kamu mulai gak percaya lagi sama alam raya," ujar Eza dengan tangan yang masih menepuk pelan ubun-ubun gadisnya. "Saya selalu nanemin itu dalam kepala, jadi ya saya baik-baik aja sama apa yang udah kelewat, walau kecewa kadang tanpa jeda beriring dengan sesal itu datang bersamaan."

i. astrajinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang