(11) . rampung

72 22 26
                                    

      TUNGKAI kaki Eza bekerja dengan cepat, bahkan ia hampir menendang Bongshik sangking semangatnya.

Maaf ya Bongshik, untuk kali ini Astra lebih penting dari kamu.

      Benar. Diluar sana berdiri Astra dengan sekotak bolu yang digenggamnya, sedang tersenyum seolah tak terjadi apa-apa.

Gadisnya itu memang benar-benar.

      Eza membuka pagar hitam rumahnya, keluar menghampiri Astra.

      “Ini, oleh-oleh,” kata Astra sambil menyodorkan sekotak bolu yang tadi dipegangnya.

      “Kok gak bilang-bilang kalau mau ikut kak Astri?!” protes Eza.

      “Mau ngajarin kamu gimana rasanya merindu.”

Halah, gombal!

      Alis Eza semakin menukik kesal, tangannya mengambil sekotak bolu tersebut, lalu mengajak Astra masuk. Eza ingin mengganti baju terlebih dahulu.



      ENTAH purnama ke-berapa mereka, saat ini Eza dan Astra sedang berjalan-jalan disekitar perumahan dengan tangan yang bertautan. Eza sedikit merasa lega melihat Astra baik-baik saja, Astra pun demikian. Sudah terlalu terbiasa dengan eksistensi masing-masing.

      “Ibun bilangnya cuma lima hari, kenapa malah seminggu?”

      “Disana banyak orang ganteng, mangkanya betah.”

      Jawaban Astra membuat Eza merangkul lehernya dan berpura-pura akan mencekiknya.

      “Jadi sekarang udah berani, hm?”

      Astra tertawa. “Berani lah!”

      Eza mendecih. “Liat grombolan cowok pas jalan aja langsung puter balik, sok-sokan berani.”

      “Yang penting berani,” jawab Astra dengan percaya diri.

      Mereka memutuskan untuk duduk disalah satu bangku taman perumahan disana, duduk berdampingan dengan sedikit jarak.

      “Tar.”

      Astra menoleh.

      “Rindu.”

      Eza ingin tertawa melihat rona merah yang menjalar di pipi menuju telinga gadisnya.

       “Apaan sih.” tentu saja Astra salting.

       “Tar.”

      “Apa!”

      “Dih ngegas.”

      “Kenapa, Zaeim?”

      “Sok manis.”

      “Serah serah serah.”

      “Ngambekan.”

      Lalu, hening menyelimuti. Yang ribut pikiran Eza juga jantungnya, Eza sedang gelisah. Sedangkan Astra sedang menikmati hembusan angin yang membelai kulitnya.

      “Tar,” panggil Eza lagi.

      Kali ini, Astra diam. Sudah malas menanggapi.

      “Kalau saya pintar menulis puisi, pasti semua isinya tentang betapa indahnya kamu saat ini, atau bahkan setiap hari.”

      “Hm, gombal.”

      Eza seperti tak peduli. “Tapi sayangnya saya gak bisa. Yang saya tau, saya hanya bisa mencintaimu.”

i. astrajinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang