(04) . tepian nestapa

97 31 19
                                    

      CAKRAWALA sedang dilukis langit hitam, dengan banyak titik bintang, juga cerahnya sinar rembulan. Eza sudah siap mengajak keluar gadisnya, tentu saja menggunakan vespa kesayangannya. Ia pamit dulu dengan kucing kesayangannya. Prinsipnya tetap sama; Bongshik dulu, baru Astra.

      Setelah pamit, Eza memakai jaket denimnya sambil berjalan kearah pintu. Rumah Eza dengan Astra masih satu komplek perumahan, hanya berbeda blok saja. Ia mulai menaiki sepedanya, angin malam membelai kulitnya, kacamata terpatri indah di kedua aksanya. Semua orang juga akan mengerti, Eza dicipta untuk membuktikan bahwasanya Tuhan sangat sempurna dalam mencipta.

      “Kamu telat tiga belas menit, Za.”

      Kalimat itu yang menyambutnya saat telah sampai di depan rumah sang gadis. Ternyata Astra sudah menunggunya diluar sejak tadi.

      “Belum sejam, posesif amat si Tar.”

      Tanpa menunggu arahan sang pemilik motor, Astra sudah menduduki kursi penumpang.

      “Gercep amat.”

      “Bodo. Ayo jalan.”

      Sepertinya Astra lupa. Motornya gak akan bisa berjalan sebelum kedua lengan Astra melingkari pinggangnya.
“Masih gak bisa jalan, Tar.”

      “Yaudah, turun nih.”

      Sebelum Astra turun, Eza sudah mengambil kedua lengannya untuk melingkari pinggang Eza, “Kalau begini baru bisa.”

      “Gombal terus!”

      Eza hanya tertawa, lalu mengendarai motornya. Sebenarnya ia sendiri tak punya tujuan ingin kemana, daripada suntuk dirumah lebih baik jalan-jalan dengan gadisnya bukan?

      “Astar!” teriak Eza dengan pandangan yang masih fokus kedepan.

      Astra berdehem sebagai jawaban.

      “Mau kemana?”

      “Terserah.”

      Oke. Jawaban sejuta umat para kaum hawa. Setelah beberapa menit hanya sibuk keliling kota, akhirnya Eza menemukan jalan keluar. Vespanya ia jalankan kearah angkringan yang biasanya dipakai teman-temannya berkumpul.

      “Ayo turun, Tar!” ajak Eza setelah mereka sampai.

      Astra tak banyak bicara, ia hanya diam sampai Eza menautkan tangan mereka berdua menuntun kedalam angkringan yang nyatanya banyak teman-teman sang pemuda. Laki, perempuan malah. Sialnya, tak ada yang Astra kenal kecuali Kama.

      Astra mengambil makanan yang ia inginkan, saat ini yang ia lakukan hanya makan dalam diam. Sampai ada satu perempuan yang mengajaknya bicara. Namanya Anindya. Sesuai arti namanya parasnya sangat cantik jelita. Tentu saja Astra tau siapa dia, primadona sekolahnya. Satu hawa yang suka sekali membuat iri hawa lainnya. Bahkan termasuk Astra.

      “Astra, Zaeim tampan, ya.” begitu katanya.

      Yang Astra simpulkan hanya satu.

Anindya suka pada lelaki-nya.

      Ia tau pancaran mata yang dikeluarkan oleh sang hawa, karena sekarang Astra juga merasakannya. Astra merasa sangat kecil sekarang, ia bahkan tak lebih baik dari Anindya. Paras Astra biasa saja, bukan paras yang diidam-idamkan oleh kaum adam berbanding terbalik dengan Anindya.



      EZA peka akan perubahan yang terjadi pada Astra, ia menjadi tak banyak bicara beberapa menit terakhir. Padahal, meskipun Astra orang yang pemalu, ia sangat pandai menyesuaikan diri di segala keadaan.

      Sampai saat mereka pulang, di perjalanan hanya diam. Bahkan Astra langsung merengkuh pinggangnya tanpa harus Eza yang meminta. Setelah sampai depan rumah sang gadis, Astra malah berkata demikian.

      “Anindya cantik, ya?” ini bukan pertanyaan tapi lebih ke pernyataan dari nada suara Astra.

      Eza mengangguk. Itu fakta.

      “Cocok denganmu,” lanjut Astra.

      “Astar ngomong apa sih.” tentu saja Eza heran, tak ada angin tak ada apa gadisnya malah berkata demikian.

      “Kurasa ia menyukaimu,” ucap Astra sambil tersenyum, tapi senyum tak sampai ke mata. Tentu saja ia berpura-pura.

      “Tapi aku menyukaimu.”

      Setelah Eza berkata demikian, Astra malah tertawa seolah yang diucapkannya barusan hanya sebatas lelucon.

      “Aku tak lebih baik darinya, Za.”

      Eza mengernyit tak suka akan pernyataan yang dilontarkan Astra barusan.

      “Kata siapa?”

      “Kata dunia.”

      “Kalau begitu saya punya misi.”

      Astra mengernyit bingung.

      “Untuk membuatmu percaya bahwa dunia juga melihatmu sama indahnya,

      “Sudah ya Astar, masuk sana. Jangan lupa cuci kaki, ganti baju dan minum susu. Agar tinggimu tak hanya sebahu.”

      Tinggi gadisnya memang hanya sebahu Eza. Tapi tak apa, itu lucu. Sudah bucin akut, ya begitu.

tbc~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

tbc~

i. astrajinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang