(09) . hampir sempurna

64 23 13
                                    

      SORE itu, dibawah nabastala, Eza dengan gadisnya sedang menuju suatu tempat dengan vespa kuning miliknya. Menjadi salah satu dari beribu-ribu kendaraan yang memenuhi alam raya, dengan tangan gadisnya di pinggangnya. Petang yang menyenangkan, bukan?

      “Jauh gak tempatnya, Za?” tanya Astra dengan suara yang dikeraskan agar tak teredam suara bising sekitar.

      “Lumayan.”

      Hening menyelimuti. Mereka sama-sama menikmati waktu yang akan terlewati.



      TERNYATA Eza mengajak gadisnya ke rumah-rumah di pinggir rel kereta, yang sore ini banyak sekali anak-anak main diluar. Mereka yang terlihat bahagia bahkan lebih bahagia daripada Astra yang keadaannya jauh lebih beruntung dari mereka. Astra yang selalu melihat atas sampai lupa di bawah Astra masih banyak yang jauh tidak beruntung. Bersyukur.

      “Kak Eza!” teriak salah satu anak saat menyadari eksistensi Eza. Teriakannya membuat anak-anak lain ikut mengalihkan pandangan.

      “Sore!” sapa Eza tak kalah ceria.

      Ada satu anak perempuan kecil yang langsung memeluk kedua kaki Eza. Yang langsung dengan sigap Eza gendong. Wajah anak kecil itu terlihat bahagia sekali, seolah menemukan sang dewa penolongnya.

       “Kakak cantik ini pacar kak Eza ya?”

      Eza tertawa, giliran Astra menahan malu dengan kedua pipi yang merona merah.

      “Ayo kak, main sama Zaki.” ujar anak kecil tadi sambil menarik jemari Astra diikuti anak lainnya tentu saja. Ah, jemari kecilnya yang mencoba menautkan dengan jemari Astra yang lebih besar.

      Ternyata tadi mereka sedang menggambar bersama.

      “Kakak siapa namanya?”

      “Astra.” jawab Astra kikuk. Masih malu rupanya.

      “Namanya susah!” keluh satu anak kecil disana sambil merenggut lucu.

      Astra tertawa menahan gemas.

      “Yaudah panggil Jingga aja, gimana?”

      “Oke.” ujar mereka sambil bersorak senang.

      Binar kebahagiaan sangat terasa di sekitar mereka. Walau memakai pakaian kucel, muka yang kusam terkena debu, rambut awut-awuttan, tapi mereka bahagia. Astra bahkan ikut bahagia, hatinya merasa damai.

      Tiba-tiba ada satu anak kecil yang menghampiri Astra, ia duduk disamping Astra. Anak kecil ini yang tadi digendong Eza. Saat Astra mencari eksistensi Eza, ternyata Eza sedang berbicara dengan salah satu ibu-ibu disana.

      “Kak Astar, ya?”

      Ah, Astra ingin tertawa. Apa namanya memang sesusah itu?

      “Astra, sayang.” koleksi Astra sambil mengelus rambut si kecil.

      “Panggil Jingga aja.” cerocos Zaki.

      “Kak Jingga mau jalan-jalan sama Rara?”

      “Boleh.”

      Astra berdiri lalu menggandeng tangan Rara yang tingginya hanya sepinggang dirinya.

      “Kak Jingga!” panggil Rara.

      “Kenapa, sayang?”

      “Kak Eza baik ya. Sayang banyak-banyak buat kak Eza.” cerocos Rara.

i. astrajinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang