TITIK lengkung membentuk sabit tercetak dikedua aksanya saat Astra membuka pintu rumah. Eza memasuki rumah Astra tanpa disuruh.
“Kok sepi, Tar?”
“Ibun sama Ayah keluar.”
Tak lama, Astria—kakak Astra keluar dari dapur, berjalan menuju depan TV.
“Kak Astri!” sapa Eza.
Astra sudah hilang entah kemana.
“Hai, Za.”
“Kak Astri tambah cantik euy.”
Astria hanya tertawa menanggapi.
“Ayo, Za.” ujar Astra. Baru ganti baju ternyata.
“Keluar dulu ya, kak.” pamit Eza.
Mereka berjalan beriringan sampai depan gerbang.
“Gak bawa motor?” tanya Astra setelah sampai gerbang. Celingukan dia.
“Gak perlu. Ayo.”
Lagi-lagi entah untuk yang keberapa kali, tangan mereka bertaut saling mengisi.
“Mau kemana Za?”
“Rumah.” jawab Eza santai.
Astra terkejut, tungkainya sempat berhenti mendadak lalu jalan lagi.
“Rumah kamu?!”
Eza mengangguk.
“Dirumahmu memangnya ada apa?”
“Ada Zaeim.”
Astra memutar bola matanya. Kesal. Jawabannya tidak berguna.
•
•
•SEKARANG sepasang manusia tadi, sedang duduk diatas tikar. Eza dengan gitarnya, dan Astra dengan Bongshik. Senangnya hati Eza melihat dua kesayangannya akur. Tadi, kata Eza selamat datang di piknik malam.
Suka ngawur emang. Tapi, tetap saja Astra suka.
“Mau dinyanyiin apa Tar?”
Kata Eza yang sedang sibuk mengatur gitarnya.
“Apa aja.”
Kali ini, Astra sibuk memakan puding coklat yang Eza siapkan tadi. Bongshik sudah pergi entah kemana.
Suara gitar Eza mengalun sembarangan.
“Aku gendut banget ya, Za?”
“Jelek, ya?”
Eza mengernyit sebentar, lalu mengangguk. Biarkan saja.
“Padahal aku olahraga tiap sore, tapi kok gak ada perubahan?” tanya Astra pada dirinya sendiri. Saat Astra memegang kedua pipinya dengan tangan, lengan baju Astra tersingkap.
Eza membulatkan matanya terkejut, lalu terdiam. Masih kaget. “Tar,” panggil Eza pelan.
Astra menatap Eza, bertanya.
“Ini kenapa?” tanya Eza sambil menunjuk goresan kecil namun lumayan banyak di lengan Astra.
Eza bisa melihat gerak-gerik Astra yang kepalang panik, jawabannya sudah terlihat.
“Kegores,” cicit Astra.Eza menghela napas berat. Astra berbohong, tangan Astra sejak tadi tidak bisa diam yang menandakan ia sedang berbohong.
“Cita-citamu apa, Tar?”
Astra mengernyit bingung namun tetap menjawab, “Dokter.”
“Kenapa?”
“Tentu saja untuk membantu banyak orang, dokter juga masa depannya terlihat terjamin walau harus melewati proses yang panjang.” klise.
Eza mengangguk lalu tersenyum. “Audrey Hapburn pernah bilang gini, as you grow older , you will discover that you have two hands. One for helping yourself, and the other for helping others.”
Selepas itu hening. Eza beranjak memasuki rumahnya, keluar-keluar sudah membawa hoodie berwarna kelabu di tangan kirinya.
“Pakai, sudah malam dingin.”
Begitu katanya. Lalu, Eza kembali sibuk dengan gitarnya.
“Dengerin ya, Tar.”
“Your hand fits in mine like it's made just for me
But bear this mind, it was meant to be
And I'm joinin' up the dots with the freckles on your cheeks
And it all makes sense to me
I know you're never loved the crinkles by your eyes
When you smile
You've never loved your stomach or your thighs
The dimples in your back at the bottom of your spine
But i'll love them endlessly
I wont let these little things slip out of my mouth
But if i do
Its you
Oh, its you
They add up to
I'm in love with you and all these little things~”
Begitu mereka mengakhiri malam ini. Dibawa sang rembulan dengan beribu lintang di awang-awang, Eza melantunkan lagu one direction ini dengan menatap dalam gadisnya, dan tentu saja Astra disana dengan wajah yang merona merah menahan malu juga sukma yang sudah pergi entah kemana.
Bayangin aja doi nge-jreng malem-malem sambil nyanyi little things buat kita. MENINGGAL!!!! Hnggggg
KAMU SEDANG MEMBACA
i. astrajingga
Short Storyft. j e n o, espoir series. ❝ sini, kan kuberi tau betapa indahnya dirimu ❞ ©lenterasemu, 2020