(07) . kali ini toko buku

72 24 10
                                    

      BUMANTARA sedang menangis, rintik hujan bertabrakan dengan atap. Eza dan Astra terjebak di mall tengah kota. Mereka berjalan beriringan dengan tangan yang bertautan, banyak yang memandang iri pada mereka, juga tatapan memuja pada Eza, tentu saja.

      “Za, gak usah gandengan, kenapa sih?”

      “Udah nyaman, Tar.”

      Kalau itu, Astra juga tau, bahkan ia juga merasa begitu. Tapi, ia tak nyaman pada pandangan orang lain. Walau orang lain hanya melihat mereka sekilas, ya tapi tetap saja. Kan malu. Padahal orang lain tak sepeduli itu, Astra saja yang terlalu memusingkan hal tak perlu.

      “Mampir beli buku?” tanya Eza. Ia sudah hafal luar kepala apa yang disukai gadisnya.
      “Iyalah!” jawab Astra semangat.

      Tungkai mereka berdua berjalan menuju toko buku yang ada didalam mall. Bahkan Astra sudah berjalan dengan semangat diikuti senyum dalam bibirnya juga tangan yang semakin mengeratkan genggam.

Ini yang katanya tadi minta lepas.

Batin Eza sambil menahan senyum.

      Tungkai mereka memasuki toko buku, mereka berpisah dengan Astra yang langsung ngacir kearah novel-novel sedangkan Eza memilih berkeliling. Eza tak terlalu suka membaca, ia hanya membaca saat mood saja. Saat sibuk berkeliling,

       “Eza!”

      Merasa ada yang memanggil, Eza menoleh kesamping. Disana berdiri Anindya dengan sebuah buku dipelukannya.

      “Anin,” sapa Eza sambil tersenyum.

      “Nyari buku apa, Za?” basa-basi Anin.

      Eza menggeleng sambil menghampiri temannya itu. “Nemenin Astra.”

      “Kalian pacaran?”

      Mendengar itu Eza terdiam sebentar, ia tak pernah memikirkan hal itu. Yang ia tahu, ia nyaman bersama gadisnya itu.

      “Za?”

      Eza mengerjapkan matanya perlahan, mencoba bangkit dari lamunannya.

      “Ah, maaf.”

      “Gapapa, santai aja. Pertanyaanku bikin gak nyaman ya?”

      Eza menggeleng. “Saya sama Astra itu temenan tapi mesra.”

      Dua kata terakhir Eza ucapkan dengan lirih, tapi tetap saja Anin yang disebelahnya mendengar.

      Lalu, Anin tertawa. Entah menertawakan dirinya sendiri atau bagaimana.

Anin tau, ia sudah kalah walau belum melangkah.

      “Yaudah, gue duluan ya,” ucap Anin setelah melihat kedatangan Astra dari arah belakang.

      Eza mengangguk sebagai jawaban, saat ia berbalik ia menemukan gadisnya yang sedang mengernyitkan dahi.

      “Kok dia udah pergi? Padahal mau aku sapa.”

      Eza mengangkat bahu tak acuh. “Beli apa, Tar?”

      Astra mengangkat buku yang ia pegang. “Anin cantik loh Za.”

Lagi.

      “Iya.”

      Sepertinya Astra tidak peka akan sinyal bahaya yang dikeluarkan lelakinya ini. “Kenapa gak dideketin?”

      Eza mengernyit tak suka. “Ngapain?”

      “Dia suka kamu.”

      Eza mengangguk tak acuh.

      “Kok gitu sih jawabannya, gak asik banget.”

      “Nanti kalau saya jawab, kamunya sakit hati.”

       Jawaban terakhir Eza membuat Astra terdiam.

       “Kapan mau berhenti insecure, Tar?”

       Tak ada jawaban. Hanya hening. Astra tak suka topik ini, karena ia juga tak tau kenapa bisa seperti ini.

Ia yang terlalu memikirkan,
sampai alam bawah sadar yang mengendalikan.

      “Kapan kamu terakhir kali memuji diri sendiri?”

      Hening lagi.

      “Kamu terlalu sibuk menilai orang lain, sampai lupa kalau kamu sendiri punya lebih,”

      “Gimana mau mandang adil dunia, kalau kamu sendiri gak pernah adil sama diri sendiri,”

      “Kalau saya bilang, saya sukanya kamu gimana?”

Cobalah untuk menggenggam dunia, bukan digenggam dunia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cobalah untuk menggenggam dunia, bukan digenggam dunia.

-tera.

i. astrajinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang