(03) . minggu pagi

116 31 16
                                    

      PAGI-PAGI pintu rumah Astra sudah ada yang mengetuk, siapa lagi kalau bukan Eza yang sudah lengkap dengan training hitam dan kaos putih. Ibunda Astra yang kebagian membukakan pintu untuk sang adam.

      “Ayo masuk, Za,” sambut Ibun.

      Eza tersenyum lalu melangkah masuk. Ia memilih duduk menemani ayah Astra yang sedang baca koran di ruang tamu.

      “Ayah, apa kabar?”

      Jangan tanya seberapa dekat Eza dengan keluarga gadisnya ini. Prinsip Eza itu, kalau mau mendekati harus mendekatkan diri sama pemiliknya dulu.

      “Baik, kamu sekolahnya gimana, Za?”

      “Masih sama Ayah, masih suka olahraga benci matematika, tapi sayang Astra,” jawab Eza secara gamblang.

      Ayah mengalunkan tawanya. “Gapapa, dulu Ayah juga gitu kok.”

      Akhirnya yang ditunggu, gadisnya turun dari kamarnya di lantai dua.

      “Main mulu, gak bosen apa?”

      Kalimat pertama yang dilontarkan Astra setelah bertemu pandang dengan Eza.

      “Hush, adek ngomongnya.” tegur Ibun dari arah dapur menuju kemari.

      Kedua adam yang sedang duduk berdampingan hanya tertawa, dengan yang lebih muda menjulurkan lidah—meledek, tentu saja.

      “Ibun, Ayah, Eza pinjem gadis bungsunya dulu ya. Nanti Eza balikin.”

      Muka ingin mengeluarkan protesan terpampang di raut wajah Astra setelah Eza berkata demikian, “Dikira barang!”

     “Gak ada barang yang secantik kamu.”

     “Ayah! Anaknya digombalin.”

     Kedua orang tua yang telah lanjut usia hanya tertawa melihat interaksi lawan jenis dihadapan mereka ini. Rindu masa muda tak bisa dielak lagi.



      DIIRINGI kicauan burung, mereka berdua mengelilingi kota dengan vespa kuning sang putra. Juga tangan Astra yang melingkar di pinggang Eza. Awalnya Astra tentu saja menolak, tapi bukan Eza namanya kalau menyerah begitu saja.

      “Kalau gak dipeluk, motornya gak bisa jalan.”

      Begitu katanya, tapi giliran udah dipeluk malah bilang gini.

      “Jantungmu berisik banget, Tar. Lagi party ya?”

Memang sialan putra semesta satu ini. Sialnya lagi, Astra gak bisa nolak ajakannya.
      Gimana bisa nolak kalau dalam hati bersorak senang. Senyum dalam kurva keduanya saja tak pernah berhenti mengembang.

      Mereka berdua berhenti di taman kota, katanya minggu pagi gini enaknya olahraga. Olahraga sih olahraga, tapi pasti pulangnya mampir beli jajan. Sudah lah.

      “Yang penting berdua,” kata sang putra sambil cekikikan.

Iya, yang penting berdua.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
i. astrajinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang