BISING suara TV terdengar dari dalam kamar Eza, sedangkan sang pemilik kamar sedang asik memakan sereal diatas kasur. Jangan bilang siapa-siapa, nanti Mama pasti langsung mengeluarkan suara-suara merdunya. Selepas memakan sereal, Eza turun kearah dapur dan mencuci mangkuk bekas ia makan sereal. Selesai mencuci Eza berjalan kearah pintu keluar.
“Kak, Eza keluar,” pamit Eza kepada kakak perempuannya yang sibuk menonton TV.
Langkah kaki Eza semangat, sudah tak sabar bertemu gadisnya. Senyumnya terlukis untuk membalas sapaan dari para tetangga, bahkan kurva dalam matanya juga ikut terlukis.
•
•
•KURVA dalam wajah Eza tak lagi melengkung, wajahnya lesu.
“Kok Astra gak bilang-bilang?!” rengek Eza pada Ibun.
Saat Eza mendatangi rumah Astra, yang ia dapati malah Astra yang pergi keluar kota bersama kak Astri. Kata Ibun, kak Astri lagi mantau persiapan kuliahnya disana.
“Lupa kali, Za,” sahut Ayah.
Eza semakin cemberut, rasanya ada yang hilang. Apa Astra marah, karena Eza yang tak kunjung memberi kepastian? Tapi, bukankah Astra bisa menyimpulkan sendiri dari semua perlakuannya pada Astra. Eza mengacak rambutnya frustasi.
“Udah gak usah galau, cuma lima hari, Za.”
“Lima hari tuh lama, Ibun.”
Ayah dan Ibun hanya menggeleng melihat kelakuan Eza.
“Udah, sini main catur sama Ayah aja.” ajak Ayah Astra.
Eza dengan langkah gontai menuju kearah Ayah Astra, bermain catur bersama. Ibun tertawa melihat Eza.
“Ayah. Kalau anaknya, Eza ajak pacaran, boleh?”
•
•
•EZA sekarang kumpul-kumpul bersama temannya di kedai Biru, jika ia dirumah saja bisa mati kebosanan. Bahkan, Bongshik saja sepertinya sudah muak diusili olehnya. Empat hari telah berlalu saat Astra keluar kota, dan sampai sekarang pun Astra tak mengabarinya apa-apa. Bahkan, pesan yang ia kirim tidak dibaca. Semakin galau saja Eza ini.
“Murung mulu, kenapa sih?” tanya Sava.
“Biasa, ditinggal sang pemilik hati,” cerocos Kama.
Eza yang diledek begitu tambah lesu. Astra ternyata memiliki peran besar bagi dirinya.
“Astra nyari pacar disana, mangkanya gak ngabarin lo.”
“Kama sialan!”
“Mangkanya resmiin, bor,” sindir Sava.
“Talk less do more dia tuh.”
“Hilih.”
Eza hanya bisa memutar bola matanya malas, mengalihkan pandangan. Sudah bosan diejek seperti itu. Apa semua yang ada di bumi butuh sebuah ungkapan?
“Setidaknya, tegaskan sesuatu, Za. Gak semua kepala, isinya sama denganmu. Ungkapan terkadang memang seperlu itu,” ujar Kama seolah menahu isi kepala milik temannya.
Terimakasih alam raya, melalui ujaran Kama, kamu mampu merubah segala isi pelik yang diam-diam bercokol dalam kepala milik Eza.
dua episode lagi geng~
KAMU SEDANG MEMBACA
i. astrajingga
Short Storyft. j e n o, espoir series. ❝ sini, kan kuberi tau betapa indahnya dirimu ❞ ©lenterasemu, 2020