Aku ingin kamu saja yang
menemaniku, membuka pagi
hingga melepas senja,
menenangkan malam, dan
membagi cerita
-Boy Chandra
PUKUL setengah lima, kedua pasangan muda ini telah ada ditengah jalan. Suasana petang, dengan sekitar yang ribut adalah hal biasa. Mereka dalam perjalanan misi membuktikan pada Astra bahwa dunia memandangnya lebih indah daripada yang ia pikirkan. Kata Eza begitu tadi. Sedangkan Astra hanya tertawa geli. Hanya mencoba mengikuti, tanpa membantah lebih jauh lagi.
“Kali ini mau kemana, Za?”
“Melihat hal terindah di dunia, tapi posisinya setelahmu, tentu saja.” ucapan Eza yang langsung mendapat cubitan di pinggang. Masih sempat-sempatnya menggombal.
Mereka sampai di tepi pantai. Eza senang binar kebahagiaan langsung terpancar di kedua aksa gadisnya. Sepertinya pilihannya kali ini tidak salah.
“Ayo Za, buruan.”
Gadisnya sudah tak sabar rupanya. Tangan mereka bertaut kembali.
“Ayo.”
Dua pasang kaki telanjang mereka menginjak pasir yang menyisakan jejak. Tadi gadisnya memaksa untuk tak memakai alas kaki di bibir pantai ini. Biar lebih menikmati katanya.
“Hangat, Za,” ucap Astra sambil tertawa geli setelah ombak menerjang kaki telanjangnya.
“Senang?”
Astra menganggukkan kepalanya semangat.
“Ayo main air, Za!” ajak Astra semangat.
“Gak bawa baju ganti, Tar. Nanti masuk angin.”
Eza menyeret Astra untuk duduk di tepi, walau sang gadisnya misuh-misuh, masih ingin disini katanya.
“Disini aja, habis ini senja,” ujar Eza.
Walau diam-diam cemberut, tapi Astra menurut.
Saat ini, senja terpampang di depan mata. Peristiwa yang selalu berhasil memanjakan setiap mata yang menatapnya, ketika piringan matahari secara perlahan menghilang dari cakrawala. Kala bagaskara telah selesai pada tugasnya.
“Cantik ya, Za.”
“Seperti kamu.”
Astra hanya menganggukkan kepala, sudah bosan, walau diam-diam senang.
“Tar, tau filosofi namamu tidak?”
“Ibun pernah memberi tau, tapi aku lupa.”
Jawaban Astra membuat Eza tak percaya. Pantas saja.
“Astrajingga itu percaya diri, Tar. Kamu diharapkan menjadi satu senyawa percaya diri yang mampu berdiri tegak diatas bumi. Tapi, sepertinya harapan Ibun dulu gak terkabul. Belum.”
Hening yang menyesakkan kali ini melingkupi mereka berdua.
“Dulu, Ibun cerita. Saat Jingga, adalah saat dimana kamu menyuarakan tangis untuk yang pertama kali, terlahir satu eksistensi, datangnya satu putri semesta ke bumi.”
Eza berucap demikian sambil membelai rambut Astra perlahan, menyalurkan rasa sayangnya pada gadisnya ini.
“Tetap saja mukaku jelek, Za. Aku buruk. Kamu tidak mengerti.”
Keras kepala juga gadisnya ini.
“Kamu yang membuatku tidak mengerti, Tar.”
Setelah Eza berucap demikian, ada satu bola yang mengenai kaki mungil Astra.
“Kakak cantik, bisa lempar bolanya kesini?”
Cantik?
Teriak salah satu anak yang sedang bermain voli di kanan mereka. Astra berdiri, melempar keras-keras supaya sampai pada kumpulan anak tersebut. Setelah melempar, Astra terduduk kembali.
“Anak kecil aja tau kalau kamu cantik.”
“Buram kali matanya.”
Eza tertawa terpingkal-pingkal. Ada-ada saja.
“Itu cara alam raya memberi tahu, Tar. Sebagai anak kecil itu perantaranya,”
Alam raya memberi tahu rahasianya melalui perantara masing-masingnya. Jadi, kalau tidak sadar, ya wajar.
Eza memegang bahu Astra dengan kedua tangannya. Memandang Astra, mencoba menyelami antariksa yang saat ini bintangnya meredup, sambil berujar lembut,
“Kamu terlalu berharap pada sesuatu yang asing,
Sesuatu yang bukan kamu.
Sampai lupa kalau yang benar-benar kamu butuhkan hanya merasa cukup.”
Mikirnya gini aja, sesuatu yang cantik gak akan terbilang cantik kalau tidak ada yang memberi tahu.
Disini mungkin Astra hanya belum mengenal diri sendiri dan untungnya Eza adalah satu dari sekian yang memiliki peran besar untuk membuat Astra lebih menghargai diri. Alam raya juga bilang 'jangan percaya sesuatu terlalu berlebih pada eksistensi lain kecuali pada dirimu sendiri, dan Tuhanmu'
Tunggu kelanjutan misi Eza berikutnya.
Sekian. Terimakasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
i. astrajingga
Short Storyft. j e n o, espoir series. ❝ sini, kan kuberi tau betapa indahnya dirimu ❞ ©lenterasemu, 2020