2 : Hari-Hari Yang Berlalu.

368 21 2
                                    

2017
"Ciee yang duatahunan sama Kak Rei !" Kiki menyikut bahuku.

"Ribut deh." Ucapku. "Kok lo bisa hapal? Orang yang terkait aja belum ngucapin."

"Gue kan bisa nerawang!" Kata Kiki ngawur. "Eh, Lira, sini deh, Ikut Gue," Kiki menarikku keluar dari kelas. Di depan lapangan, entah kenapa sangat ramai.

Seseorang dengan postur tinggi dan kulit yang kecoklatan, mungkin hasil basket setiap hari, menjadi pusat perhatian.

"Misi, tuan putri mau lewat!" Kiki menerobos kerumunan. Apa yang ada di dalam kerumunan itu membuatku terkejut setengah mati.

Tulisan 'Happy 2nd Anniversarry' ditulis besar-besar di lapangan menggunakan kain warna-warni. Yang membuatku lebih terkejut adalah oknumnya. Kak Rei. Ia, dengan senyum manisnya melambaikan tangan. "Hai." Sapanya.

Ia hanya mengatakan Hai, padahal sudah satu tahun terpisah ribuan mil jauhnya dariku.

"Kak Rei! Kapan pulang?" Ia menghambur dan memelukku. Aku sangat senang tentu saja.

Para cewek di kerumunan itu menatapku iri. Iyalah, siapa sih yang nggak iri kalau punya cowok romantis , ganteng plus pinter dan mantan ketua OSIS lagi kayak Kak Rei?

"Kemarin hehe, dan tadi pagi langsung deh nyiapin ini dan kesini." Ucapnya enteng, seakan yang Ia lakukan bukan apa-apa.

Terbang dari Amerika ke Indonesia Dia kira bukan apa-apa?

Jantungku saja masih shock.

Bel pulang kemudian berbunyi. Kerumunan di lapangan itu perlahan bubar.

"Eh makasih ya Ki, udah bantuin Gue." Kak Rei menepuk bahu cowok yang ternyata sedari tadi masih ada di sebelahku.

"Ga masalah kak, Lira kan sahabat baik Gue juga, hehehe." Kiki menggaruk tengkuknya.

"Gak nyangka ya ade kelas yang dulu nyelonong masuk sekarang jadi partner in crime pacar Gue." Kata Kak Rei.

"Iya nih kak, Lira emang kerjaannya kriminal! Eh Gue pulang dulu ya kak, Have fun, Lira!" Kiki berjalan pergi, tak sempat Aku menjitaknya.

"Makan yuk? Kangen Nasi Goreng Cinta nih!" Kak Rei memegangi perutnya. Aku tertawa sambil mengangguk.

Aku beruntung mempunyainya.

***

"Kak Rei balik dari Amrik ga kabar-kabarin Aku, malah ngabarin sicunguk." Kataku kesal. Tentu saja, siapa lagi kalo bukan Kiki?

Kak Rei malah tertawa. Tapi image coolnya tidak menguap, malah bertambah.

Ganteng, sih.

Seharian ini Aku menghabiskan hari bersama Kak Rei. Ke Taman Hiburan, Ke Mall, dan terakhir nonton.

"Sampai kapan disini?" Tanyaku.

"Seminggu, paling. Mama kan lagi di rawat di RS." Katanya.

"Tante Rara sakit?" Ia mengangguk. "Aku mau jenguk dong."

Kak Rei menghela nafas. "Kamu kan tahu Mama gak suka sama... kita. Hubungan kita." Ucapan Kak Rei menamparku, mengingatkanku.

Aku ingat kok betapa sinisnya Tante Rara pertama kali Kak Rei mengenalkanku padanya, hampir 2 tahun lalu. Dan selalu berusaha memojokanku, berusaha membuatku tak pantas di mata Kak Rei.

"Buat Mama, Dia bukan wanita yang tepat buat kamu. Dia tidak sebanding sama kita. Ibunya cuma Psikolog, Ayahnya cuma Pengusaha ekspor impor yang gak besar-besar amat. Attitude Dia juga sama aja kayak perempuan kampung." Kata-kata yang pernah Tante Rara ucapkan seakan berputar lagi di kepalaku.

Janji [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang