15 : Am I Dreaming?

113 12 0
                                    

Aku pikir aku sedang bermimpi. Settingnya terlalu romantis--malam gelap dengan taburan bintang--kejadiannya juga diluar logika.

Kiki menciumku. Ciuman pertamaku, lagi. Aku mencubit pipiku keras-keras setelahnya, kupikir semuanya cuma mimpi.

Ternyata, semuanya nyata. Senyum Kiki, lalu pelukannya, semuanya. Sekarang, tiap memikirkan Kiki, pipiku rasanya panas, karena otakku memutar ke kejadian Minggu malam itu.

"Mau sekalian aku anterin, nggak?" Tawar Kak Raia. Ia sudah siap dengan kopernya, hari ini ia harus sudah kembali ke Bandung. Mungkin om gantengnya Kak Raia kangen. Hahaha!

"Boleh. Ma, Lira pergi dulu ya." Aku menyalami tangan Mama, dan sepertinya di ikuti Kak Raia.

"Makasih tumpangannya tante, hehe." Kata Kak Raia.

"Sama-sama, duh, kalo buat cewek cantik begini apa sih yang nggak?" Mama tersenyum pada Kak Raia.

"Dih, gombal amat Ma. Yaudah, yuk jalan, kak?" Aku menarik tangan Kak Raia.

Setelah menunjukkan jalan yang benar menuju ke sekolah--dan juga beberapa petunjuk menuju tol--akhirnya aku sampai di depan gerbang SMA 2 yang tercinta ini.

"Kepagian, ya? Baru jam 6 lewat 10, nih." Kak Raia melirik jam tangannya.

"Ah, nggak papa, kok. Makasih banyak ya, Kak Raia!"

Aku melambaikan tanganku, sementara mobilnya makin menjauh.

Sekolah benar-benar masih sepi. Dengan menahan diri untuk tidak menguap lebar, aku berjalan ke arah kelasku.

Kent belum pulang dari Jakarta, jadi kupastikan tak ada wajahnya pagi ini.

Kayaknya tidur sampai Dena datang dan membangunkanku nggak salah.

Mataku setengah menutup. Semalam, Kak Raia sibuk membereskan kopernya, juga menceritakan banyak hal, membuatku tetap membuka mata sampai tengah malam.

Aku kan paling nggak bisa bergadang.

Tapi, saat baru saja akan tertidur, kurasakan punggungku dicolek.

Dan ketika aku menghadap ke belakang, mataku terbuka sepenuhnya.

"Lo?!"

Orang terkait hanya tertawa kencang. "Kaget ya, liat muka ganteng gue?" Kiki tertawa.

"Ih, PD amat sih. Gue malah sedih, hari-hari gue akan kembali jadi mimpi buruk." Aku berpura-pura sedih.

Ih, padahal kan aku seneng banget dia ada di kelas hari ini.

Kiki mencubit hidungku. "Padahal seneng, kan? Udah deh, nggak usah ngelak dari gue gitu."
Akhirnya, kami tertawa. Aku sudah lama tak melakukannya bersama Kiki.

"Lo tinggal dimana?" Tanyaku penasaran.

"Kenapa ya, sejak gue kenal lo, sifat kepo lo nggak pernah hilang?" Kiki menopangkan wajahnya pada tangannya.

Lalu ia memandangku dengan tatapan yang...berbeda. Tak ada seorangpun yang memandangku begitu.

Seolah, aku ini adalah orang paling berarti. Dan senyum Kiki melengkapi segalanya.

Ternyata, jauh di dalam hati, aku sangat butuh si cecunguk satu ini.

***

Entah kenapa, setelah dua minggu nggak masuk, kedatangan Kiki jadi gosip paling panas di sekolah.

Secara, Kiki kan famous banget. Pantes banyak yang sekedar menyapanya, lalu menanyakan kenapa dia nggak masuk. Perjalanan ke kantin yang harusnya 3 menit mendadak jadi 15 menit. Ah, keburu waktu istirahat yang bentar itu abis.

Janji [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang