18 : Pulang

124 11 3
                                    

Aku baru saja menulis satu kata saat ponselku berbunyi dan menampilkan tulisan Private Number.

Senyumku melebar. Siapa lagi yang akan menelponku pake Private Number selain Kiki?

Omong-omong soal Kiki, sejak kejadian tahun baruan di kedai bubur itu, sekarang dia menelponku jauh lebih rutin, seenggaknya setiap malam. Mendengar suaranya dan tahu dia baik-baik saja membuatku merasa tenang.

"Aloha~~"

Aku tersenyum. "Hai, Ki."

"Pasti lagi ngerjain PR Bahasa Indonesia, ya? Rajin amat bu."

"Tau aja."

"Lah iya dong, Kiki gituloh." Katanya pede.

"Idihh, nyebelin."

"Nyebelin-nyebelin tapi ngangenin, kan?"

"Ngangenin dari hongkong. Dikangenin Sissy iya kali." Gerutuku.

"Cemburu, ya?" Idih, keluar deh nyebelinnya.

"Ngapain cemburu. Nggak banget." Aku memutar mata.

"Ah, bilang aja cemburu, ya kann?"

"Ki, nyebelin banget, deh. Gue nggak cemburu ya, titik." Aku cuma kesel Kiki deket-deket sama Sissy, kok.

"Serius nggak cemburu? Kok kesel gitu sih ngungkit-ngungkit Sissy? Gue ajak jalan ah~"

"JANGAN!"

"Lah, nggak cemburu kok nyolot?"
Nah, aku juga nggak tau kenapa aku mendadak nyolot. Aku jadi kesal setengah hidup pada Kiki.

"Au ah. Bebas lo mau mikir apa, bebas."

Tit. Aku mematikannya, dan melempar ponselku ke bantal.

Tugas bahasa Indonesia untuk liburan, alias membuat puisi itu bahkan baru judulnya, dan sekarang semua ideku hilang.

Argh, bisa-bisanya dia mengacaukanku karena percakapan telepon yang kurang dari 5 menit.

Beberapa kali semalaman itu ia menelponku, tapi aku memilih untuk me-reject-nya. Malam ini, aku nggak mau diganggu Kiki, apalagi bawa-bawa Sissy.

Mending mikirin hari pertama sekolah besok.

***

Oke, suasana kelas Senin ini suram banget. Maksudku, ini kan hari pertama sekolah. Seharusnya semua orang bergembira, ya nggak?

Plis bilang iya.

Kent yang datang bersama denganku--dia ikut telat karena menjemputku dulu, btw dia masih merasa bersalah karena nggak bisa menghabiskan malam tahun baru denganku--juga memandang bingung ke arah kelas yang, tumben-tumbenan udah lengkap, plus ada Bu Ratih berdiri di depan.

"Oh, Lira sama Kent baru datang? Nggak papa, duduk dulu aja." Kata Bu Ratih saat melihatku dan Kent berdiri di pintu.

"Ada apasih, Den?" Kusikut lengan Dena saat aku sudah sampai di sampingnya.

Dena menggeleng. "Gatau, tapi katanya berita duka."

Berita duka?

Wajah Bu Ratih terlihat sedih. "Anak-anak, Ibu ulangi, ya. Hari ini Ibu mempunyai berita duka untuk kalian." Bu Ratih menghela nafas, lalu melanjutkan kalimatnya. "Tadi pagi, Ibu menerima kabar, kalau Ayah dari Kiki Satya Andiputra meninggal dunia dinihari tadi."

Deg.

Papa Kiki meninggal? Kenapa?

"Itu aja kabar duka yang ingin Ibu sampaikan, dan, oh, Lira, bisa ikut Ibu?" Aku berdiri dan mengikuti langkah Bu Ratih sampai keluar kelas.

Janji [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang