7 : Closer

158 14 2
                                    

There are so many things I couldn't say.
You never heard them before, but I'm not someone who loves anyone I see.
Because among many people in this world, I could see only you.

***

Bel pulang yang ditunggu hampir seribu anak SMA 2 akhirnya berbunyi juga. Aku membereskan tasku. Dena tidak masuk hari ini, membuat Rafa buru-buru keluar kelas paling duluan. Aku tahu Ia akan langsung ke rumah Dena.

"Lira! Gue anter pulang, yuk?" Suara Kiki berada tepat di samping telingaku, membuatku hampir melompat.

"Belum mau pulang." Jawabku.

"Mau kemana dulu ra?"

"Toko Buku." Yah, Aku emang males pulang lebih cepat sih. Lagian, Mama dan Papa juga tidak ada di rumah.

"Bareng yuk!" Aku mengerutkan keningku. Biasanya Kiki paling malas diajak ke toko buku. Tapi aku hanya mengangguk.

Tidak butuh waktu lama untuk menemukan buku yang kucari. Sedangkan Kiki terlihat tak suka berada di antara buku-buku.

"Apa kata gue. Lo kan alergi toko buku." Celetukku.

"Yah gapapalah sekali-kali." Katanya, sembari mengikutiku ke kasir. "Abis ini lo langsung pulang?"

"Gatau."

"Mau ke rumah Gue dulu?" Aku membelalakkan mataku. Kiki mengajakku ke rumahnya? Ini bukan mimpi kan? "Gimana? Mau gak?" Tanyanya. Aku melirik motor merah Kiki di tempat parkir, menimbang-nimbang.

"Errr..... Oke deh." Ia terlihat senang.

"Wah, kedatengan tamu kerajaan!" Ucapnya semangat.

"Tapi... di rumah lo ada siapa?"

"Mmm... ga ada siapa-siapa.... kali." Katanya ragu. Mencurigakan. "Yaudahlah, ayo!" Kiki menarik tanganku, lalu menyuruhku naik.ke atas motornya.

Apa boleh buat, sudah terlanjur. Seperti biasa, Kiki melajukan motornya hingga 90 km/jam. Kayak punya 9 nyawa aja.

Sejujurnya, ini pertama kali aku mengunjungi rumah Kiki. Biasanya kan dia yang datang ke rumahku, baik diundang maupun jadi tamu gelap.

Tak sampai 20 menit, kami sampai di sebuah perumahan mewah dan berhenti di rumah dengan nomor 24. Seorang laki-laki paruh baya membuka pagar hitam tinggi yang melindungi rumah Kiki. Dan kemudian, terlihat halaman yang luas dengan taman, juga pintu rumah Kiki yang berwarna putih. Aku hanya melongo kesana-kemari, terpukau.

Aku nggak pernah tahu rumah Kiki sebesar ini.

"Ayo masuk!" Kiki menyadarkanku. Dalam rumah Kiki sama luasnya. Aku meletakkan tasku di sofa yang ada di ruang tamu luas.

"Bentar ya." Kiki kemudian pergi menaiki tangga besar yang ada di tengah rumah.

Dari arah lain--mungkin dapur atau taman belakang--datang seorang perempuan berumur sekitar akhir 40. Dengan anggun, dia berjalan ke arahku. Wajahnya agak familier.

"Lira?" Aku yang bingung harus merespon apa hanya mengangguk. Ia tersenyum. "Halo, Lira. Kenalin saya Elina, Bundanya Kiki. Apa kabar?" OH, aku pernah melihatnya di ponsel Kiki.

"Siang Tante, saya baik-baik aja kok Tante." Aku menyalami tangannya.

"Bunda? Kapan pulang? Bukannya di Jakarta?" Kiki turun dengan tergesa-gesa.

"Ya Bunda kan bosen. Jadi balik lebih awal 2 hari. Kenapa?"

"Gapapa sih bun. Oh iya, ini..."

"Lira." Potong Tante Elina. "Kamu sering nunjukkin fotonya sampe Bunda hafal." Wajah Kiki memerah. Kiki sering menunjukkan fotoku? Jangan-jangan yang ditunjukkan itu foto-foto aneh aibku!

Janji [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang