12 : Te Trouver (I)

129 11 0
                                    

"Tolong ya, Ra. Tadi sudah dianter supir, kamu ambil aja. Nggak banyak, kok."

"Baik, Tante."

"Makasih banyak, Lira. Tante nggak tahu deh kalo nggak ada kamu gimana."

Aku tersenyum sedikit. "Ini semua bukan apa-apa dibanding apa yang udah Kiki lakuin kok, Tante."

"Hati-hati, ya. Yasudah, tante tutup. Assalamualaikum." Lalu sambungannya putus.

Aku harus bisa ke rumah Kiki hari ini, mengantarkan titipan Tante Elina untuk anaknya tercinta itu.

Tapi kan, masalahnya, Kiki lagi aneh banget akhir-akhir ini. Gimana aku bisa mendekatinya kalo jelas-jelas dia menjauhiku, umm, selama dua hari ini.

"Ih, hari ini tanggal 1 Desember, ya? Bentar lagi libur!" Teriak salah satu anak cewek di kelasku.

Benar juga, sekarang sudah bulan Desember. Yang sebentar lagi adalah ulang tahun Kiki, dan ulang tahunku juga sih.

"Pagi, Lira." Kent mengenggam tanganku segera setelah duduk di sebelahku.

Pipiku langsung memanas. Aih, aku kayak remaja baru puber aja.

Eh, emang iya deng. Ya skip.

"Kenapa? Mukanya pucet banget? Sakit?" Tanya Kent dengan wajah khawatir. Ih, Kent mah ngapain aja ganteng.

"Nggak kok, lebay deh." Kemudian aku tertawa kecil. Kent malah mencubit hidungku.

Ah, kalo melihat Kent tersenyum gitu aku jadi ingat saat Kent menembakku di restoran Prancis--aku lupa namanya, padahal spelling bahasa prancisku nilainya sering A--dua malam lalu. Tanggal 28 November rasanya bakal jadi malam paling tak terlupakan.

"Eh, Kiki belum dateng?" Celetukan Dena--yang masih berdiri karena ada Kent disampingku--membuatku otomatis memutar tubuh ke belakang. Iya juga, Kiki belum dateng.

Dan sampai bel pulang berbunyi, Kiki masih juga belum kulihat. Kent duduk sendirian.

Kemana Kiki? Di buku absen, hari ini namanya ditandai dengan tulisan A. Alfa.

Kemana Kiki? Meneleponku saja nggak. Berhubung Kiki jarang tidak masuk, sekalinya bolos(atau izin) dia pasti akan meneleponku.

"Lira, mau kemana?" Tanya Kent lembut. Aku tersenyum melihatnya. Seriusan, melihat dirinya aja sudah membuatku melayang jauh ke langit ketujuh.

"Ada urusan, Kent."

"Mau kuanter?"

Aku menggeleng. "Nggak usah, ngerepotin." Nggak mungkin aku minta anterin Kent ke apartemen Kiki, kan?

"Kamu ini, kayak ditawarin orang asing. Ini aku, pacarmu."

Pipiku memerah lagi. "Tapi seriusan, deketttt banget kok dari sini. Lagian, kamu kan ada jadwal ngajarin privat piano?" Ucapku. Kent melirik jam tangannya, lalu tersenyum kecil.

"Geara pasti udah nunggu. Yaudah, hati-hati ya? Kabari aku kalau sempet. Dah, Lira." Kent mengecup keningku, tersenyum kemudian berlalu.

Dan aku masih seneng setengah mati hanya karena perlakuannya.

Karena nggak mungkin naik angkot dengan paper bag segede ini, aku akhirnya menyetop taksi. Untuk apartemen Kiki nggak sejauh rumahnya.

Ting-Tong! Suara bel terdengar dari dalam. Kenapa nggak dibuka juga? Ting-Tong-Ting-Tong-Ting-Tong! Aku menekan tombol bel dengan emosi. Apa Kiki pergi, ya?

Atau jangan-jangan, sakit di dalam?

Di bawah bel, ada interkom dan sederetan angka untuk membuka pintu.

Janji [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang