22 : I'm Sorry

116 8 0
                                    

Alohaa!!!

Kangen nggak sih sama penulisnya--eh salah--sama Kiki dan Lira?

Sama, aku juga kangen sama mereka.

Oke skip, let's begin!

***

"Jadi, kita ke Gunung Rentani besok?"

"Yup. Udah, keperluan kita berdua udah gue lengkapin. Lo tinggal bawa baju-baju tebel sama alat mandi lo."

"Besok pagi jam berapa?"

"Umm...jam 5 deh gue jemput lo. Mobilnya jam 6 dari sekolah. Mayan kan 3 jam dari sini sampe ke Rentani. Eh, ra, udah dulu, ya? Rafa udah jemput nih, hehe."

Dasar Dena. Kalo udah ketemu Rafa aja.

Kupandangi ponselku di tanganku. Notifikasi LINE terus-menerus muncul, padahal sudah kuhapus berkali-kali dari panel notifikasi.

Aku tahu, pengirim pesan itu adalah orang yang sama.

Dan, aku belum siap membalas apapun.

Ah, bodo amat. Lebih baik aku bersiap untuk besok pagi.

***

"Udah semua, ra? Den?" Mama memastikan barangku dan Dena.
"Udah, tan, tenang aja selama ada Dena mah." Dena tersenyum narsis. Mama tertawa.

"Yaudah, hati-hati, ya? Usahakan kalo ada sinyal, kabarin Mama, oke?"

"Siap, bos!" Aku memposisikan tanganku di pelipis.

"Udah, sana, nanti telat!" Mama mendorong tubuh kami berdua.

Tak lama, mobil Dena yang dikendarai supirnya sampai di halaman sekolah, terlihat Rezky dan yang lainnya menunggu kami.

"Sorry, lama. Namanya juga cewek." Sapa Dena, membuat mereka tertawa.

"Busnya udah siap, ayo, peralatannya diperiksa satu-satu lagi." Perintah Pak Mochtar. Dia guru Kimia kami sih, tapi dia juga penanggung jawab klub Pecinta Alam. Pak Mochtar adalah salah satu dari sedikit guru yang nggak strict.

Yah, kurasa perjalanan ini akan menyenangkan.

"Ra?" Dena menyadarkan lamunanku ketika ia sudah duduk di sampingku.

"Hm?"

"Gue udah ngabarin Rafa kita mau pergi. Lo nggak mu ngabarin Kiki? Gue bahkan yakin kalo dia gak tau kita mau daki gunung Rentani." Ujar Dena.

Aku mendadak memikirkannya. Iya, ya. Aku tak mengabarinya sedikitpun. Aku juga bahkan tak menjawab telpon dan LINE-nya.

Ah, nggak penting juga ngabarin dia. Dia kan sudah punya Sissy.

"Nggak usah." Kumasukkan ponselku ke tas pinggang kecil yang melekat di tubuhku.

Dena menghela nafas. "Gue nggak tahu kalian berdua kenapa, dan gue cukup tahu diri kalo lo nggak mau nyeritain itu sama gue, tapi, ra, gue cuma pengen ngasih tahu lo. Emang lo bisa kehilangan sahabat yang selalu ada di samping lo selama hampir 3 tahun, dan ngorbanin apa aja buat lo?"

Apakah aku bisa?

Pertanyaan itu tak bisa kujawab.

***

Tanpa terasa, hari ini hari Minggu, kami sudah mulai menyiapkan perlengkapan, membereskannya karena kami akan pulang.

Waktu terasa cepat. Aku, Dena dan yang lainnya mengalami pengalaman seru yang mungkin tak terlupakan.

Termasuk Dena yang hampir jatuh ke sungai dan Rezky yang menyelamatkannya. Mungkin bagian itu takkan kuceritakan, apalagi pada Rafa. Pendiam-pendiam gitu dia gampang banget cemburuan.

Aku menikmati tanah yang memenuhi sepatuku, tenda berwarna biru tua dengan sleeping bag yang dibeli Dena, sunrise di puncak gunung Rentani, aliran air sungai kecil ketika kami beristirahat, dan perjalanan kami turun gunung sekarang.

Jam 10 pagi, kami tiba di depan sekolah.

"Thanks buat semuanya, guys!" Ucap Rezky.

"Gue seneng banget, sebelum UN dikasih refreshing kayak gini," Kata Tio, disetujui Rezky dan Dena.

"Thanks ya, ra, Den, udah mau ikut. Gue seneng kalian ikut." Rezky berterimakasih pada kami, namun ia memandang Dena.

Danger.

"Makasih juga kalian yang udah bantuin gue dan Lira sebagai pemula." Senyum Dena.

Ohya, mumpung sudah ada sinyal, aku harus mengabari Mama.

Missed Call : Mom 1
Kiki 23

Hah? Banyak banget missed call Kiki selama aku ke Rentani?

Anehnya, tak begitu dengan pesan LINE. Hanya ada pesan lama, dan pesan terbaru hanya ada empat pesan.

Friday
Kiki S.A. : Kenapa sih, lo jauhin gue tiba-tiba? Gue ada salah apa sama lo? Plis kasih tahu karena gue nggak pekaan.07.30

Saturday
Kiki S.A. : gila, rasanya lamaaa banget lo nggak ada. Lo kenapa sih? Serius, gue nggak peka, nih. Tadi pas gue ke rumah lo, kata Tante lo lagi ke gunung Rentani sama anak PA. Kok lo nggak pernah bilang sama gue kalo lo mau ke Rentani? Gue kangennnnn banget sama lo.08.56

Kiki S.A. : Ra, gue udah tahu salah gue, dan gue mau ngomongin semuanya sama lo. Kapan lo pulang? Gue mau cerita banyak hal sama lo. Gue capek, ra, dan gue kehilangan orang yang bikin gue hidup. Plis, setelah lo balik dari Rentani, jangan diemin gue lagi kayak gini. Gue butuh elo, ra, gue capek. 19.47

Kiki S.A. : Mungkin emang nggak ada harapan lagi buat gue. Makasih ya ra, udah bikin hidup gue jauh lebih indah 3 tahun ini, gue seneng pernah ngelewatin banyak hal bareng cewek sehebat lo. Sori kalo gue nggak pernah jadi sahabat yang baik buat lo, gak pernah jadi sahabat yang sempurna buat lo. Gue harus pergi, ra. Gue nggak bisa tetap tinggal tanpa lo.
Cepet pulang dan temuin gue, ra. 19.59

Hanya itu pesan terakhirnya, malam minggu tadi.

Apa maksudnya? Kenapa aku nggak mengerti?

Trrrrtt! Ponselku bergetar. Kiki! Aku segera mengangkatnya.

"Halo?! Ki? Lo kenapa? Gue baru balik dari Rentani!" Ujarku terburu-buru.

"Lira?" Suara perempuan. Rasanya seperti de javu, dan aku benci keadaan ini.

Pasti ada yang nggak beres.

"Lira? Ini kak Nina. Kamu bisa ke rumah, sekarang?" Kak Nina terdengar mendesak, suaranya serak.

"Kenapa, kak?"

"Ini soal Kiki."

Jawabannya membuatku tambah bingung dan kalut. "Kiki kenapa, kak?"

Sejenak hanya ada desing angin. "Kak? Tolong jawab Lira. Kiki mana?"

"Lira, cepat kesini. Kiki...udah nggak ada."

To be continued...

Janji [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang