Perhatian Lebih

3.2K 505 24
                                    

Punggung Ayana berjengit mendengar ketukan pintu. Lamunannya buyar seketika. Membenahi diri, lantas memakai syal untuk menutupi bagian leher yang terdapat dua bercak merah ulah mulut liar Jovic. Ayana menarik napas membuka pintu kamarnya sambil mengulas senyuman untuk sang bibi tersayang.

"Masih pusing?"

"Sekarang sudah membaik, Bi."

Wanita paruh baya yang tinggal bersamanya adalah adik dari mendiang sang ayah. Wanita tangguh yang mengabdikan diri merawatnya sejak usia balita hingga sekarang di angka 21 tahun.

Bibi Riva memutuskan tidak menikah. Entah apa yang membuat wanita berumur matang itu enggan berkomitmen. Segilintir cerita yang Ayana dengar sang bibi selalu menolak pinangan lelaki.

Hal itulah yang membuat Ayana enggan menjalin asmara meski banyak gadis-gadis seusianya bergonta-ganti kekasih. Ayana memilih fokus mengejar pendidikan. Tidak ingin membuang percuma biaya yang sudah dikeluarkan selama menjadi mahasiswi yang hanya mendapat subsidi beasiswa lima puluh persen.

"Kenapa malah melamun?" tanya Bibi Riva menelisik raut wajahnya.

"A-aku tidak apa-apa, Bi. Tadi hanya kelelahan karena banyak tugas yang menumpuk," jawab Ayana sembari menyentuh pelipisnya.

"Kalau waktu belajarmu banyak tersita, lebih baik tidak usah lagi ke toko. Tabungan Bibi masih cukup untuk sampai semester akhir," tutur Bibi Riva membelai puncak kepalanya.

"Tidak apa-apa, Bi. Bekerja di toko bunga adalah caraku merefresh otak. Wangi-wangi bunga mahal di sana membuat pikiranku relaks," seru Ayana semangat dan menularkan tawa dari sang bibi. Tidak mungkin ia hanya bergantung pada penghasilan bibinya yang memiliki toko kelontong alat-alat tulis. Sementara kondisi fisik Bibi Riva mulai sakit-sakitan.

"Ini buatmu." Bibi Riva memberikan goody bag berwarna krem. Dari dalam tercium aroma sedap yang berhasil memancing cacing di dalam perut Ayana menjerit lapar. "Sana, bilang terima kasih dulu sama si pemberi."

Kening Ayana berkerut bingung.

"Di depan ada Nak Edsel. Dia ke sini karena panik tidak melihatmu di kampus pada saat maat kuliah terakhir," terang Bibi Riva membuat Ayana paham. "Sudah sana, dia sudah terlalu lama menunggu."

Ayana mengangguk, lantas berjalan ke depan teras masih dengan tangan menenteng goody bag.

"Edsel," sapanya, lalu duduk di kursi bersisian dengan penghalang meja kotak.

Laki-laki berkemeja hitam dengan lengan tergulung sebatas siku mengamati serius wajah Ayana. Terutama pada syal yang melilit leher jenjangnya. "Bibi Riva bilang kamu sakit? Kenapa tidak mengabariku supaya aku bisa mengantarmu pulang dan mengurus absensimu dengan Pak Taka?" tanya Edsel dengan raut wajah cemas.

"Tidak perlu. Cuma sakit kepala dan sedikit demam saja. Jadi tadi aku memutuskan pulang lebih dulu. Maaf, hari ini aku tidak bisa datang ke toko," sesal Ayana bersuara lirih.

Edsel adalah anak pemilik toko bunga tempat Ayana bekerja paruh waktu. Dari situlah kedekatan mereka terjalin. Edsel tak menyangka ibunya memiliki pegawai dari mahasiswi satu angkatan dengannya di kampus. Dari hari ke hari, keakraban terjalin antara mereka.

Entah sudah berapa kali Ayana berbohong. Tiap kali tubuhnya dijadikan sasaran pelampiasan Jovic, ia selalu mengurung diri dan menghindar.

Dalam keadaan kacau seperti itu, tentu saja otak cerdas Ayana tidak bisa dipakai berpikir keras untuk belajar. Bahkan Ayana tidak memiliki kepercayaan diri ketika area intimnya tidak terlapisi celana dalam. Rok panjang sebetis yang digunakan tidak cukup menampung rasa malunya.

"Kamu jangan memikirkan hal itu. Bekerja paruh waktu bukan menjadi prioritasmu. Ibuku juga paham kalau sekarang kamu sedang sibuk dengan tugas-tugas." Tapak tangan Edsel menyentuh kening Ayana yang terasa hangat. "Masih cukup tinggi suhunya. Kamu istirahat saja, Ayana."

Gelagat Ayana sedikit canggung atas perhatian berlebihan sahabatnya. Dengan wajah tampan tepat di depannya membuat dentuman jantungnya meresahkan. Bahkan sepasang manik cokelat itu menatapnya begitu dalam.

"Iya, baiklah. Terima kasih atas pengertian, kunjungan, dan oleh-olehnya," sahut Ayana pada akhirnya. Ia menunjukkan pemberian lezat laki-laki itu.

Edsel tertawa lepas, lantas berdiri tegap memakai tas punggungnya. Saat kakinya berjalan beberapa langkah menuju pagar, ia kembali berbalik badan, membuat Ayana keheranan karena raut wajah lelaki itu berubah serius.

"Kamu harus melawan kalau Jovic macam-macam denganmu. Kalau dia bertindak nekat, adukan saja padaku. Tanganku masih cukup tangguh untuk menghajarnya," pungkas Edsel sungguh-sungguh.

Sejenak Ayana tergugu. Berusaha sebisa mungkin tersenyum manis, lalu mengangguk tanda mematuhi instruksi semangat dari temannya. Dalam hatinya berharap, Edsel tidak mengetahui apa yang telah dilakukan bajingan itu terhadap dirinya.

.
.
.

Harusnya aduin aja ya biar keduanya gelud 🤼‍♂️



*Selasa, 06 Juli 2021
  EL alice

Serpihan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang