Suasana makan malam sangat hening. Sesekali terdengar denting alat makan dari pergerakan tangan Ayana. Tak berani mengangkat wajahnya karena rasa malunya masih mengerat kuat. Ayana terus saja merutuki pikiran kacaunya. Bagaimana bisa ia begitu percaya diri mengartikan keinginan laki-laki dingin yang kini terlihat sibuk mengunyah makanan di suapan terakhir.
"Apa makanannya tidak enak?"
Ayana menyendok tanpa minat hanya mengaduk-aduk makanan di atas piringnya. Wajahnya menunduk dengan kecamuk bermacam-macam.
"Aku tidak tahu menu kesukaanmu, mungkin masakan yang disediakan pelayanku tidak masuk seleramu," ucap Jovic sudah berpindah tempat di kursi samping Ayana yang terkejut hingga menjatuhkan sendok makan ke lantai.
"Ke-kenapa kamu bisa ada di samping?" Ayana menatap bingung pada kursi di seberangnya yang telah kosong.
"Mau aku suapi?" tawar Jovic mengalihkan bahasan.
"Ti-tidak perlu, Jo," tolak Ayana, tetapi sendok berisi makanan telah berada di depan mulutnya. Mau tak mau Ayana membuka celah bibirnya lebih lebar agar suapan itu masuk.
"Mungkin lain waktu aku akan menyuruh pelayanku mencacah dagingnya lebih halus supaya kamu lebih mudah memakannya," cetus Jovic seraya menyendok sisa terakhir di piring Ayana, lalu menyuapi lagi.
Perkataan Jovic diserap dan diartikan Ayana sebagai bentuk rencana jika suatu saat ia akan diajak kembali berkunjung ke sini.
Satu gelas air mineral tandas untuk mendorong dan melegakan tenggorokannya. Perut yang telah terisi makanan terasa penuh hingga Ayana menutup mulutnya dengan tangan supaya sendawa kecil bisa dikeluarkan tanpa ketahuan. Namun, gerakan Ayana sedari tadi tak lepas dari intaian mata tajam hingga laki-laki itu mengulum senyum dengan ide jahil melihat tingkahnya.
"Kamu mau apa?" Ayana mulai waspada ketika tubuh Jovic condong ke depan. Wajah tampannya membuatnya gugup karena begitu dekat hingga deru napas hangat lelaki itu menyapu kulit pipinya yang merona.
Jovic hanya menatap sekilas, tapi tidak menjawab maksud dan tujuannya merangsek tubuh mungil yang tidak bisa bergerak ketika dua tangan kokoh Jovic memerangkapnya.
"Jovic," lirihnya seraya memejamkan mata.
"Ayana," bisik Jovic serak. Sepasang matanya mulai redup penuh kabut gairah yang menyelimuti. "Kamu sengaja menyisakan makan di sudut bibir kamu, hem?" selorohnya menahan tawa.
Kesadaran Ayana cepat menghampiri. Kelopak matanya terbuka dan langsung menarik lembaran tisu yang tersedia. Melap sudut bibirnya dan terbukti tidak ada noda yang membekas. "Kamu berbohong?"
Tawa lepas Jovic membuat Ayana mendengus kesal karena telah masuk jebakan.
"Jangan menggodaku terus, Jo!"
"Sepertinya kamu yang minta digoda, Ay."
Bibir Ayana mengerut. "Aku mau pulang!"
"Yakin mau pulang?" Satu alis bekas piercing Jovic terangkat.
"Iya. Nanti bibiku cemas kalau aku terlalu malam pulang," tukas Ayana.
"Uh, sayang sekali, padahal aku menantikan balasan yang ada dalam pikiranmu," tutur Jovic dengan kerlingan menggoda.
Refleks Ayana memukul-mukul pundak Jovic dan lelaki itu pura-pura mengaduh kesakitan.
"Sudah puas menggodaku?"
"Belum, tapi bisa dilanjutkan lain waktu."
Ayana membulatkan mata, lantas berdiri. Namun, kedua tangan Jovic menahan pundaknya. Lelaki itu telah menjulang tinggi di depannya dengan tatapan lekat yang menelusuri tubuhnya. "Cocok. Manis juga dipakai kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Luka
Romance[ Mature Romance 21+ ] Ketika cinta ditolak. Segala macam cara akan dilakukan untuk mendapatkannya. Sebagai bad boy yang memiliki daya tarik memukau, jelas sangat melukai harga dirinya. Ego dan kebencian yang akan menyeret seorang gadis polos nyata...