Kenyamanan Pertama

2.9K 430 32
                                    

Bersyukur hari ini Ayana libur dari part time. Florist tempatnya bekerja sedang direnovasi bagian depan sehingga Sania--ibunya Edsel meliburkan para pegawai selama satu minggu dengan gaji pokok yang tetap dibayarkan. Wanita anggun berwajah bule itu sangat pengertian mengenai kesibukannya di semester akhir. Ayana merasa beruntung bisa menjadi bagian toko bunga yang selalu ramai pengunjung.

Jantung Ayana mencelus saat menyadari bidikan tajam dari ekor mata laki-laki di depan kemudi. Selama dalam perjalanan keduanya terdiam. Tak ada satu kata pun yang terdengar sehingga membuat Ayana ngeri melihat ekspresi wajah dingin Jovic yang fokus menyetir mobil.

Ayana tak berani bertanya ke mana tujuannya, bahkan sudah pasrah dengan yang terjadi selajutnya. Dengan kondisi badan yang kurang fit, kelopak matanya terasa berat. Ayana tak kuasa lagi menahan rasa kantuk yang menyerang hingga memejam erat.

Sampai tiba di kawasan parkiran mal elit, Jovic mematikan mesin mobil, membuka seatbelt yang membelit, lantas menoleh pada perempuan yang terduduk dengan posisi sedikit merosot.

Tanpa sadar garis bibirnya menipis memerhatikan wajah polos yang tertidur. Bibirnya yang terpoles liptint berwarna soft pink sedikit terbuka, terlihat sangat menggiurkan. Jovic mencondongkan badan demi memusatkan objek penglihatannya.

Dengan pacuan degup jantung yang menghantam keras, tangannya bergerak menyentuh bibir meranum kenyal. Gerakannya sangat hati-hati karena tidak mau mengganggu. Jovic melenguh, merutuki logikanya yang mendadak lemah hanya dengan suguhan bibir perempuan.

Perlahan, tapi pasti kepalanya mendekat, menatap penuh minat pada warna pink yang segar. Namun, ketika tinggal beberapa centi lagi, pemilik bulu mata panjang nan indah mengerjap. Keduanya sama-sama terdiam dalam momen awkward.

Jovic gegas menjauhkan diri. "Tidurmu lama sekali, sampai mulutmu berbuih," selorohnya asal.

Ayana tentu saja terperangah, cepat mendongak pada kaca spion di atas. Di sana tidak menemukan jejak liur yang menempel.

"Tidak perlu dicari, aku sudah menghapusnya," imbuh Jovic mengulum senyum menyapu pipi Ayana yang memerah. "Sekarang cepat turun."

Ayana mengikuti instruksi dan mengekori langkah Jovic. "Ini di mana?" tanyanya masih dengan raut bingung. Area parkiran itu tidak dikenalinya.

"Mall."

"Mall?" Ayana membeo dengan raut aneh.

"Iya, mall. Memangnya kamu berharap kita ke hotel?"

"Tidak, tidak, tidak," pungkasnya tegas dengan gelengan kepala.

Jovic mendekat, menarik lengan Ayana, lalu beralih menutkan jari-jemari mereka. "Kita akan senang-senang di sini."

Tatapan Ayana beralih pada tangannya yang digenggam erat. Rasa hangat membungkus tangannya yang dingin. Jovic meoleh sekilas dan menyunggingkan seulas senyum tipis, membuat Ayana merasaka sesuatu yang asing menjalar cepat ke arteri darah hingga memompa kuat jantungnya.

***

Ayana sempat melongo dengan kegiatan yang mereka lakukan dalam mal. Mulai dari menonton bioskop, belanja, dan di akhiri dengan mengisi amunisi perut kosong. Sunggah, pola pikir laki-laki oriental di depannya tak bisa ditebak, padahal saat mengancamnya Jovic tampak sangat menyeramkan.

Suasana hatinya berubah cukup drastis dari yang dibayangkan Ayana. Ia pikir, Jovic akan melakukan hal keji lainnya mengingat kartu As yang dimilikinya sangat berpengaruh pada kehidupan Ayana.

Hampir senja, Jovic mengantar Ayana pulang. Suasana hatinya sudah jauh membaik. Sebenarnya Jovic cukup terusik oleh kata-kata Jeno mengenai misi balas dendamnya. Panas dalam dadanya membakar cepat pada suasana hatinya.

Serpihan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang