Salah Menduga

2K 359 30
                                    

Jovic baru melepaskan bibir Ayana ketika dirasa napas gadis itu mulai memburu. Perlawanannya juga tidak seimbang karena Ayana hanya diam saja. Walau demikian, perlakuan Jovic justru semakin menjadi. Mengecap buas isi mulut Ayana yang terasa manis dan segar sampai perempuan itu kewalahan menerima gerakan impulsif Jovic yang menekan bibirnya kuat-kuat.

Ringisan pelan terdengar bersamaan dengan kebebasan bibir Ayana yang membengkak. Wajahnya menunduk guna menghindari tatapan yang mungkin saja akan berkilat marah kerena Ayana menggigit bibir lihai Jovic. Jika tidak begitu, dipastikan laki-laki itu akan terus menghujaninya dengan cumbuan yang lebih seduktif lagi. Bahkan, terparahnya bisa saja akan melucuti pakaiannya di dalam mobil.

"Maaf, Jo, aku tidak bermaksud melawanmu, tapi—"

Aliran darah dalam tubuh Ayana berdesir ketika kecupan lembut menutup bibirnya yang sedang bicara. Dan Jovic juga menekan kunci sabuk pengaman di tubuh mungil Ayana hingga terbebas.

"Turunlah," titah Jovic seraya membuka pintu. Bagai terkena sihir, Ayana tak lagi membantah keluar dari mobil dan disusul dengan Jovic.

Masih tetap bungkam, Ayana mengikuti langkah kaki lelaki yang membawanya. Matanya sempat menatap takjub saat pertama kali memasuki bangunan megah nan mewah. Ayana merasa tengah memasuki hunian raksasa karena jarak lantai ke atap sangat tinggi.

Namun, ketika Jovic memergoki rasa kagumnya, Ayana menunduk dan kembali fokus pada langkah kakinya yang mulai menaiki anak tangga. Sampai tiba di sebuah pintu putih tinggi, Jovic mempersilakan Ayana masuk ke dalam.

"Masuklah. Di dalam sana kamu bisa membersihkan tubuhmu dan berganti pakaian."

Kepala Ayana terangkat dan bertautan pandangan. Keraguan terpatri jelas dari raut wajahnya.

"Jangan banyak berpikir. Turuti saja perintahku karena itu termasuk bagian dari balasan yang kutagih," tekan Jovic.

"Ya," sahut Ayana pasrah, lantas memasuki kamar mewah yang lagi-lagi membuat Ayana takjub untuk ke sekian kali.

"Ini handuknya, dan di sana kamar mandinya," ucap Jovic memberikan sebuah handuk lembut berwarna putih sambil menunjuk pintu bathroom di samping walk in closet. "Cepat benahi dirimu sebelum hipotermia menyerangmu," lanjutnya sebelum keluar menutup pintu.

Dalam kamar yang terasa hangat udaranya, tak ada yang gadis itu lakukan selain duduk termenung di depan cermin hias. Hoodie yang tadi dikenakan sudah dibuka hingga menampilkan setelan kemeja dan celana jeansnya. Bukannya membuka pakaian basah yang melekat di tubuhnya, Ayana malah menyisiri rambutnya yang lepek dan cenderung kusut.

Sudah lima belas menit pergerakan Ayana masih stuck di depan meja rias. Sejak tadi pikirannya penuh dengan praduga dan pertimbangan. Tubuhnya yang menggigil dalam balutan pakaian basah mulai mengganggu kenyamanan. Ayana membukanya. Kini, hanya tersisa pakaian dalam saja yang sudah lembap karena ikut menyerap air hujan.

Ayana beranjak, mematut tubuhnya di depan cermin yang lebih besar dekat lemari. Di sana ia mematut tubuh mungilnya yang tampak sensual. Tak terasa, satu liquid bening lolos dari ujung matanya dan langsung diusapnya.

Apalagi balasan yang Jovic minta dariku selain tubuh ini?

Bibir Ayana mengukir senyum getir. Sepertinya kali ini ia memang harus merelakan menjatuhkan harga dirinya di depan laki-laki yang beberapa minggu lalu menjadi penolong Bibi Riva. Lagi pula, Ayana pikir tidak ada lagi yang patut dipertahankan dari tubuhnya sekarang. Bahkan kesuciannya sudah terenggut percuma oleh sahabat karibnya.

"Kenapa masih mengenakan pakaian basah?"

Punggung Ayana berjengit mendengar suara berat di belakangnya. Dari pantulan kaca terlihat laki-laki muda dengan wajah segar dan rambut acak-acakan yang masih lembap sehabis keramas. Jovic berjalan mendekat sambil menenteng paper bag dari brand butik ternama.

"Ayana, apa kamu sengaja menggodaku?" bisiknya parau.

Kedua tangannya menyilang bagian dada. Kepala Ayana menunduk dalam dengan mata rapat memejam. "Jovic, aku tahu tujuanmu membawaku ke sini."

Tanpa Ayana sadari kedua mata tajam Jovic melebar seketika, tapi ia cepat-cepat menormalkan seiring detakan jantungnya yang mulai menggila.

"Kamu sangat tahu bahwa aku tidak akan mampu mengganti semua biaya perawatan di rumah sakit yang sudah kamu keluarkan. Jadi, aku sudah paham dengan cara apa aku harus melunasinya." Ayana membalik tubuhnya hingga saling berhadapan. Dalam jarak sedekat itu, Ayana bisa melihat jelas kabut gelap yang mulai menyelimuti iris mata pekat yang selalu membidik tajam telah berubah sayu. Ayana melepas tangan yang menutupi bagian dadanya dan membiarkan Jovic menikmati pemandangan indah tubuhnya. "Kamu boleh melakukan apa pun dan sesuka hatimu ... pada tubuhku," ucapnya lirih dan sedikit gemetar.

Pancaran mata Jovic tampak nanar. Pupil matanya mengecil dengan fokus pada tubuh molek yang menyuguhkan terpaksa untuknya. Jovic tak menampik jika saat ini nafsunya telah meroket dan siap menerjang gadis di depannya. Namun, ia tak mau melakukannya. Tidak, bukan Jovic munafik. Bisa saja saat ini juga ia menguasai Ayana sesuka hati.

Namun, melihat sorot mata teduh Ayana yang pasrah pada keadaan membuatnya kuat menahan segala hasratnya untuk wanita itu. Jovic memang sangat ingin menyesap seluruh sari pati tubuh Ayana dengan rakus, tetapi untuk hal intim, ia ingin Ayana menyerahkan dirinya dengan sukarela—atas dasar mau sama mau—tanpa paksaan.

"Sepertinya otakmu mulai rusak. Aku memintamu membersihkan diri dan berganti pakaian. Hanya karena aku terlambat membawakanmu pakaian ganti, pikiranmu sudah ngawur dan cenderung konyol," kelakar Jovic dengan suara yang masih terdengar parau. Detik berikutnya ia merubah ekpresi wajahnya menjadi serius. "Kalau aku menginginkanmu dengan cara memaksa, aku pasti sudah melakukannya sejak lama. Nyatanya, aku lebih memilih bersabar menunggumu menyerahkan diri sukarela."

Ayana menatap heran atas sikap Jovic yang menurutnya bertolak belakang dengan keinginan lelaki itu. Sampai kemudian Ayana mengaduh pelan saat keningnya dijentik.

"Apa mau disentil lebih kencang supaya kesadaranmu kembali?" Satu alis Jovic menukik.

Menyadari hal itu, rasa malu Ayana tiba-tiba mendera. Ia berlari cepat ke arah tempat tidur dan bersembunyi di dalam selimut untuk menenggelamkan diri. Ternyata Ayana salah menduga. Ia tetap tidak mau membuka meski tawa lepas Jovic mengalun di ruangan.

"Ayana, aku beri kamu waktu sepuluh menit untuk berganti baju. Setelah itu susul aku ke bawah. Kita akan makan malam bersama," pungkasnya tegas sebelum berlalu.

Mendengar suara pintu tertutup, Ayana membuka selimut. Di tepi tempat tidur ada sebuah paper bag yang sengaja Jovic tinggalkan. Di dalamnya berisi setelan pakaian dalam dan sebuah gaun cantik berwarna putih dengan hiasan bordir bunga yang berwarna-warni kalem.

Ayana ingat, gaun ini adalah yang dia kagumi ketika menemani Jovic ke mal tempo hari. Setelah menonton dan makan, Jovic mengajaknya ke sebuah butik. Meskipun laki-laki itu menyuruhnya untuk membeli, Ayana menolak dan keluar dengan tangan kosong. Tanpa diduga, Jovic ternyata malah membelikan gaun yang memang sempat mencuri perhatiannya saat menungguinya di luar kamar pas.

Suara dari dalam tas ransel Ayana membuyarkan lamunan. Mengambil cepat ponselnya untuk membaca sebuah pesan singkat yang masuk dari aplikasi hijau.

[ Aku tidak suka menunggu lama! ]

Kontak dari Jovic sukses membuat bola mata Ayana melotot seketika, lantas bergegas membawa paper bag dan memasuki bathroom untuk berganti pakaian.

.
.
.

Cerita lengkap bisa baca di aplikasi/web KARYAKARSA. Tidak berbayar & GRATIS ✅

📚 Novel cetaknya ready stock 📚
Langsung order saja jika berminat

Bisa follow instagram aliceweetsz utk kepoin spoiler next part 📲

.
.
.
.

*Selasa, 14 September 2021
EL alice

Serpihan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang