Ajakan ke Pesta

3K 502 20
                                    

Jantung Ayana berdebar kencang ketika tubuhnya ditarik kuat. Tubuh jangkung yang selalu mengganggu ketenteramannya di kampus tengah menyudutkan dirinya di sebuah ruangan sepi. Mulutnya terbungkam tapak tangan besar. Kilat manik pekat itu selalu bisa mengintimidasinya.

"Jangan macam-macam, Jo. Di sini banyak mahasiswa yang lewat," sergah Ayana setelah mulutnya terbebas.

Peringatan itu dibalas senyuman sinis. "Sepertinya kamu sangat berharap aku melakukannya di sini."

Ayana memalingkan wajah. Tak dimungkiri kedua pipinya memerah membuat Jovic mengulum senyum.

"Besok malam kamu harus datang ke pestanya Jeno," imbuh Jovic.

Bibir Ayana terbuka, bersiap memberikan jawaban, tetapi Jovic sudah lebih dulu memangkas.

"Ini perintah. Kamu harus datang. Lagi pula kamu satu kelas dengannya, tidak sopan jika kamu tidak hadir karena semuanya diundang."

"Tapi, Jo ..." Ayana menatap takut-takut.

"Tidak ada alasan. Kamu harus datang. Atau ... kamu mau benda unik ini beredar dalam kelas?" Jovic mengeluarkan kain tipis yang sangat pribadi milik Ayana.

Benar-benar sinting. Kain segitiga berwarna putih itu masih saja dibawa-bawa, bahkan digunakan untuk mengancam.

"Cuma datang saja, kan? Tidak akan ada rencana busuk lainnya?" tanya Ayana penuh antisipasi.

Jovic tertawa sumbang. "Kalau kamu sukarela menyerahkan tubuhmu, mungkin kita bisa--"

"Oke. Aku akan datang," pungkas Ayana cepat. Tidak ingin mendengar kalimat merendahkan untuknya.

Ayana hendak beranjak, tetapi laki-laki itu menarik tangannya ketika akan keluar. Jovic mendahului langkahnya, lantas mengecup sebelah pipi Ayana membuat gadis itu terkejut bukan main karena takut ada yang melihatnya.

Dengan rasa gugup yang masih mencekal denyut dadanya, Ayana berjalan meneruskan langkah menuju perpustakaan. Pikiran dalam isi kepalanya mulai mengacau. Mengenai pesta yang harus dihadiri atas perintah donjuan berengsek.

"Apa kamu masih tidak enak badan?"

Punggung Ayana terlonjak mendengar suara yang berada tepat di telinganya.

"Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkanmu. Tadi aku sudah memanggilmu beberapa kali, tapi tidak ada respons," tutur Edsel dengan raut wajah khawatir.

"Memanggilku? Sejak kapan?" Ayana tampak was-was.

"Tadi saat kamu berbelok dari sana."

Jawaban Edsel membuatnya lega. Itu artinya, lelaki ini tidak melihatnya keluar ruangan bersama Jovic.

"Ikut aku!"

Ayana menarik lengan Edsel dan mengajaknya menjauh dari keramaian. Sebuah taman kampus yang cukup tenang adalah tempat yang cocok untuk berbicara hal serius. Keduanya terduduk di rumput hijau. Ada beberapa mahasiswa yang berkumpul dan juga asik dengan kesibukannya sendiri.

"Kenapa diam saja? Apa yang kamu cemaskan?" Edsel tak sabar sedari tadi melihat gelagat Ayana yang gelisah.

"Kamu tahu Jeno?"

"Dia satu kelas dengan kita, Ay. Mana mungkin aku tidak mengenalnya. Apalagi dia juga mengundang kita semua ke pestanya besok malam," jawab Edsel diselingi tawa ringan.

Ayana terlihat serba salah. Hanya menatap sekilas Edsel dan memilih melempar pandangan ke arah lain. "Apa kamu akan datang?"

"Kamu mau datang ke sana?" balas Edsel balik bertanya.

Ayana berdecak, bibirnya mengerucut sebal. "Pertanyaanku saja tidak kamu jawab, kenapa malah bertanya balik."

Edsel menatap lekat dengan senyuman jahil. "Kamu jawab saja, maka itu akan jadi jawabanku juga."

"Apa itu berarti kalau aku mengatakan akan datang, kamu juga akan melakukan hal yang sama?"

"Of course," sahut Edsel mantap.

Ayana menarik garis bibirnya hingga memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

"Apa kamu yakin ingin menghadiri pesta Jeno? Kamu pasti sudah cukup mengenal lingkup pertemanan dia?" Edsel berkata ragu-ragu.

"Justru karena aku tahu siapa dia makanya aku bertanya padamu. Setidaknya aku merasa aman jika datang bersamamu, Ed. Tidak akan ada yang berani menggangguku jika datang bersama mantan ketua senat," celoteh Ayana tersenyum manis hingga membuat denyut jantung Edsel berdentam-dentam. Tanpa sadar tangan laki-laki itu menyentuh bagian dadanya sendiri. "Dada kamu kenapa?" lanjutnya bertanya.

Mendadak Edsel salah tingkah. Jari tangannya yang berada di depan dada digerakkan seperti sedang menggaruk. "Ti-tidak apa-apa, Ay. Kalau begitu, besok malam aku akan menjemputmu."

Ayana mengangguk senang. "Terima kasih. Lega rasanya. Aku jadi tidak bingung menjelaskan pada bibi kalau kamu yang menjemputku." Gadis itu bangkit membenahi diri, lalu berpamitan.

"Ayana." Edsel memanggil sebelum gadis itu menjauh.

"Ya. Ada apa lagi, Ed? Hari ini aku pasti akan datang ke toko."

"Bukan itu."

"Lalu?"

Edsel berjalan mendekat. "Hem, nanti sepulang dari sini, bagaimana kalau kita ke butik?"

"Kamu mau beli baju?" tanya Ayana polos.

Kepala Edsel menggeleng, tangannya menyentuh satu pundak gadis di depannya. "Kamu pasti butuh gaun untuk dipakai ke pesta besok malam."

Sejenak Ayana terdiam, menatap raut gugup di wajah tampan sahabatnya. "Tidak usah. Gaun yang kamu berikan sebagai kado ulang tahunku saja baru aku pakai sekali. Itu masih sangat cantik untukku pakai besok malam."

"Tapi, Ay, itu--"

"Kalau masih banyak tanya aku akan membatalkannya."

Bola mata Edsel membulat. "Maafkan aku," sesalnya sembari mengusap tengkuk leher.

"Sampai jumpa besok malam, Ed!" Ayana melambai singkat, lantas berlari menjauh.

Sepasang manik legam yang membidik tajam sedari tadi memerhatikan interaksi keduanya. Mulutnya yang sedang mengunyah permen karet tampak menyeringai, lalu berbalik badan melangkah santai menyusuri koridor kampus.

.
.

Nah, loh, konflik awal dimulai 😎

*Rabu, 07-07-2021
  EL alice

Serpihan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang