Menagih Balasan

2.1K 380 20
                                    

Ayana keluar dari ruangan dengan perasaan lega. Bibirnya merekah kian manis membentuk lengkungan pelangi indah. Seorang wanita berambut pendek segera menghampirinya.

"Rasanya lega sekali, Chika," ucap Ayana dengan rasa haru. Tapak tangan yang berkeringat berangsur normal dan hangat diterpa udara.

"Aku yakin kamu pasti bisa melewatinya dengan mudah. Secara, kamu menggarapnya dengan serius. Aku saja yang memiliki otak pas-pasan bisa melakukannya, apalagi kamu yang memang cerdas," puji Chika apa adanya. Jadwal sidang Chika memang lebih dulu sehari, dan kemarin Ayana juga memberi dukungan dengan ikut serta menemaninya.

Tangan Ayana mencubit kedua pipi gembil Chika dengan gemas. "Kamu juga pintar, kalau tidak, kamu tidak akan bertemu dan menjadi temanku di kampus ini."

"Itu karena faktor keberuntungan ekonomi keluargaku yang cukup baik, makanya mampu melanjutkan sekolah di sini. Berbeda denganmu yang menjadi mahasiswa beasiswa," tukas Chika.

"Tapi aku tidak sepintar mahasiswa yang menerima beasiswa penuh," sangkal Ayana tertawa.

"Tetap saja kamu jauh lebih pintar dariku," tutur Chika menjawil ujung hidung Ayana.

Saat keduanya masih saling melempar pujian, terdengar suara deheman dari suara berat. Walau laki-laki itu berada di belakang tubuhnya, Ayana sangat mengenali pemilik suara.

"Ayana, selamat, sudah berhasil melewati sidang hari ini," ucap Edsel tulus. Tangannya terulur menunggu sambutan.

Suasana hati Ayana jelas berubah ketika kembali bertemu tatap. Kenapa laki-laki cerdas ini mendadak bebal tidak memenuhi ultimatumnya. Sementara Chika tampak menggaruk kepala melihat ketegangan antara dua orang dikenalnya. Namun, pada akhirnya Ayana membalas jabat tangan mantan sahabat terbaiknya.

"Ya, terima kasih. Semoga lusa sidangmu bisa berjalan lancar tanpa ada hambatan."

Edsel tersenyum lega, Ayana mau berbicara dengannya. "Thanks."

Sejujurnya banyak sekali yang ingin Edsel utarakan, tetapi tertahan di pangkal lidahnya. Ayana mau meluangkan sedikit waktu saja sudah membuat suasana hatinya menghangat. "Hem, boleh aku antar kamu pulang? Aku rasa Bibi Riva perlu mengetahuinya."

"Tidak usah."

Bibir Edsel merapat, menatap lekat bola mata pekat Ayana yang bersinar.

"Aku pulang bersama Chika, ingin bersukacita merayakan hari ini," imbuh Ayana memasang wajah datar.

Merasa namanya diseret, Chika menoleh dengan tatapan bingung. Namun, Ayana segera merangkulnya, seperti sebuah isyarat agar gadis ceria itu membantunya.

"Ah, ya, benar, Ed. Hari ini kami akan menghabiskan waktu ke mall. Sudah lama sekali tidak quality time bersama temanku ini!" seru Chika seraya merangkul pundak sahabatnya.

Manik cokelat Edsel meredup kecewa. Tidak mungkin juga harus memaksakan kehendak. "Baiklah. Selamat bersenang-senang, Ladies."

"Ayana pasti sangat senang bersamaku!" sahut Chika mantap ketika Edsel hendak berpamitan.

Ayana langsung melepas rangkulannya pada lengan Chika ketika Edsel sudah tidak terlihat lagi. "Terima kasih sudah mau bekerja sama."

"Sebenarnya aku cukup penasaran dengan sesuatu yang terjadi pada kalian yang dulunya sangat dekat. Tiba-tiba kamu menganggap Edsel bagai virus yang enggan kamu dekati, padahal terakhir kali aku melihatmu di pesta Jeno, hubungan kalian masih baik-baik saja," tanya Chika penasaran.

"Aku hanya sedang jenuh. Dan sepertinya aku mulai membenarkan pernyataanmu dulu." Ayana menjeda sebentar, "bahwa tidak akan ada persahabatan murni antara lawan jenis."

Serpihan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang