Terancam

3.7K 530 84
                                    

Kedua laki-laki yang baru saja keluar dari kelas praktik terlibat obrolan santai. Saking asyiknya sampai tidak menyadari seseorang yang datang dari arah berlawanan sedang menunduk mengikat tali sepatunya yang lepas.

"Ops, sori!" ucap Jeno cepat meminta maaf. Sesungguhnya bukan dia yang menabrak, melainkan teman di sebelahnya yang berparas Idol Negeri Ginseng.

"Ah, ya, tidak apa-apa, Jeno," jawab Edsel tersenyum tipis.

Kelopak mata Jeno menyipit melihat penampilan lelaki bule paling most wanted bernilai plus-plus karena tanpa rekam jejak kenakalan. Edsel terlihat sangat kusut dan penuh beban. "Apa bahan skripsi yang kamu kerjakan begitu rumit?" tanyanya penasaran.

"Tidak juga, tapi memang akhir-akhir ini aku mengerjakannya sampai lupa waktu," tukas Edsel.

"Uh, wow! Mahasiswa teladan memang selalu terdepan," kelakar Jeno dengan tawa renyah.

"Aku rasa bukan hal itu yang membuatnya kacau," celetuk Jovic acuh.

Sontak, Edsel dan Jeno menatap berbarengan ke arah lelaki yang sibuk mengunyah permen karet sambil memainkan smart phone. Merasakan ketegangan antara dua mahasiswa berbeda karakter membuat Jeno panik.

"Kami duluan, Ed!" pamit Jeno menepuk bahu Edsel dan cepat-cepat menjauh dari hadapannya.

Saat melintasi pertigaan yang mengarah ke koridor, Jovic menghentikan langkah. "Jeno, kamu duluan saja. Aku masih ada urusan sebentar."

"Urusan?" Jeno mengangkat dua alisnya, lalu melongok pada tangga di belakang tubuh Jovic yang menghubungkan ruang perpustakaan. "Bilang saja kalau kamu mau menemuinya?" ledeknya sengaja.

Wajah Jovic berubah gugup. Ia memalingkan pandangan untuk menyangkal. "Jangan asal tebak. Aku hanya ingin bermain-main saja dengan perasaan cemas Ayana."

"Tepat dugaanku. Ayana, padahal tadi aku tidak menyebut nama dia," terka Jeno tepat sasaran.

Sial! Jovic terjebak! Tentu saja ia tidak sudi mengakui cibiran tersebut dan memilih diam.

"Akui saja, jika kamu serius tertarik dengannya. Jangan sok bajingan menggunakan perasaan untuk balas dendam. Kamu pikir aku tidak tahu, saat malam itu otakmu seperti tidak waras. Mengumpankan Ayana, tapi kamu sendiri marah-marah dan terus mengumpat seperti tidak terima dia disentuh laki-laki lain." Jeno menatap lekat wajah putih Jovic yang merah padam mendengar kata-katanya. "Aku juga tahu saat kamu mondar-mandir di depan kamar mereka layaknya pria patah hati yang diselingkuhi kekasihnya," kekehnya kian menyudutkan.

"Jeno, kamu terlalu banyak bicara," desis Jovic berang menarik kerah kaos, tapi Jeno tetap santai, tidak merasa takut walau saat ini lehernya nyaris tercekik.

"Keegoisan kamu menghancurkan Ayana dan merusak persahabatan mereka," tambah Jeno menyulut rasa panas, hingga akhirnya Jovic melepas cengkeraman kerah bajunya dengan tatapan menghunus tajam. "Rusaknya persahabatanmu dengan Edsel bukan karena Ayana. Lebih baik akhiri permainan kotor ini sebelum penyesalan kamu hadapi."

"Jangan ikut campur urusanku!" sentak Jovic seraya menendang kuat tong sampah di sebelah kiri hingga lawan bicaranya terlonjak kaget. "Diam lebih baik daripada mencampuri urusan yang tidak kamu ketahui sama sekali. Camkan!"

Jeno menatap nyalang laki-laki yang menaiki dua undakan anak tangga sekaligus. Ia sama sekali tidak tersinggung atas perlakukan teman dekatnya. Justru ia prihatin menyaksikan kebencian Jovic yang tidak mendasar dan terlalu konyol.

***

Buku tebal yang terbuka tampak tak menarik lagi untuk dibaca. Pikiran Ayana seperti tidak ada di tempat. Raut wajahnya mendung tanpa guyuran hujan. Kekecewaan dan kesedihannya hanya bisa dipendam.

Atensi Ayana teralihkan oleh wajah tengil di depannya. Paras rupawan itu berbanding terbalik dengan perangainya.

"Hai, apa kabar?"

Ayana menatap jengah. Suasana hatinya saat ini sedang kacau, kenapa harus bertemu tatap lagi dengan laki-laki berengsek ini. Ayana pikir hidupnya kembali tenang karena beberapa hari tidak mendapatkan gangguan makhluk menyebalkan di depannya.

"Sepertinya kamu senang sekali tidak bertemu denganku."

Bibir Ayana bungkam. Enggan menimpali. Di ruangan terbuka begini ia berani mengabaikan Jovic karena yakin dirinya akan tetap aman dari perlakuan melenceng lelaki itu.

"Kamu juga terlihat berbeda setelah menghadiri pestanya Jeno." Sudut bibir Jovic naik mencetak seringai.

"Apa maumu?" sungut Ayana bertanya.

"Hanya ingin bertanya, ke mana kamu saat aku menunggu kedatanganmu di pesta?" Satu alis hitam Jovic yang bebas dari piercing menukik tajam.

Gelagapan. Ayana merasa seperti tengah dikuliti, padahal laki-laki di hadapannya hanya bertanya. Ia tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. "A-aku ... aku hanya datang sebentar. Setelah itu aku--"

"Check in," sela Jovic meneruskan kata-kata Ayana.

Tatapan Ayana terkejut sekali. Wajahnya memucat seketika, seperti kehilangan aliran darah. Kepalan tangan Ayana di sisi buku mengerat dengan wajah menunduk dan tak berani membalas tatapan intimidasi Jovic yang meremehkannya.

"Kalau tidak ada hal penting yang ingin dibicarakan, aku permisi." Baru saja Ayana mengangkat bokong, lengannya dicekal kuat. Nyali Ayana menciut menatap bidikan tajam netra legam itu.

"Aku punya rahasia penting, dan ini sangat akurat. Aku menyimpannya di sini, apa kamu ingin melihatnya?" tanya Jovic seraya menunjukkan layar ponselnya yang masih gelap.

Dentuman jantung Ayana mulai meresahkan. Menelan liurnya kasar sebelum menolak. "Tidak perlu. Aku tidak suka mencampuri urusan orang lain."

"Orang lain?" cibir Jovic bersandar pada punggung kursi dengan tatapan tak lepas dari wajah cantik yang gugup.

"Maaf, aku harus segera pergi."

Namun, Ayana tak bisa berkutik ketika ponsel milik Jovic telah menyala di depan wajahnya. Sesuatu yang terlihat di layar canggih itu sukses membuat tubuh Ayana gemetar.

"Apa jadinya kalau video ini tersebar?"

Ayana menatap takut-takut ke arah Jovic yang tersenyum pongah. Walau hanya menampilkan potongan video laki-laki yang merangkul pasangannya sedang berjalan di lorong sebuah kelab malam sampai masuk ke dalam kamar, sudah membuat kinerja jantung Ayana melemah. Ketakutan dan berbagai kecemasan lainnya berduyun-duyun datang mencekam.

"Please, Jo ... jangan lakukan itu," lirih Ayana mulai terisak.

"Hei, hei, aku tidak melakukan apa-apa padamu. Harusnya kamu menangis di depan dia," cibir Jovic tersenyum.

Ayana menutup wajahnya dengan tangan. Malu sekaligus takut menghadapi hal berikutnya yang akan terjadi jika seorang Jovic ikut campur. Di saat jiwanya masih merasa gamang, laki-laki picik itu menarik paksa tangannya.

"Ikut aku!"

"Ke mana? A-apa yang ingin kamu perbuat?"

Jovic hanya mengangkat dua alisnya dengan tatapan yang entah apa artinya.

"Aku tidak mau ikut."

"Pilihanmu hanya satu. Menurutiku."

"Aku tidak mau lagi kamu manfaatkan."

Jovic bersiul menanggapi pernyataan lawan bicara yang berusaha tegar. Lingkar tapak tangannya mengerat di pergelangan lembut nan kurus.

"Terlambat, Ayana. Kamu tidak akan pernah bisa lepas dariku. Aku tahu detail kejadian di pesta. Dimana seorang laki-laki meniduri sahabatnya."

.
.
.

Hayolooo... banyak tebaran spoiler loh di Instagram 📲

*Rabu, 14 Juli 2021
EL alice

Serpihan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang