Masalah Kompleks

3.3K 492 18
                                    

Keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk mini membungkus tubuh mungilnya, Ayana tidak langsung memakai pakaian yang telah disediakan di atas tempat tidur. Gadis itu berdiri tegak di depan kaca lemari yang memantulkan seluruh tubuhnya. Cukup lama ia mematut diri dengan wajah sendu. Jemarinya menjalar menyentuh kulit wajahnya dan berhenti tepat di depan bibirnya yang pucat terkena air dingin.

Bibir bagian bawah yang memang lebih tebal teksturnya Ayana gigit pelan. Daya ingatnya terlempar pada seseorang yang mencuri ciuman pertamanya. Siapa lagi kalau bukan Jovic Lee Tristan. Berawal dari penolakan cinta mahasiswa teknik malah membuatnya terjerumus. Menjadi sasaran pelampiasan kekesalan lelaki yang merasa terhina atas sikapnya.

"Jovic." Ayana bergumam lirih. Kedua matanya memejam dengan meloloskan buliran bening.

Perlahan, netranya yang memerah terbuka. Tatapan terluka menyorot dalam pantulan dirinya di cermin. Ayana menarik simpul handuk yang mengapit di tengah dadanya, benda tebal itu merosot ke lantai sehingga mempertontonkan seluruh lekukan tubuhnya yang sintal. Kedua telapak tangannya menutupi wajah yang telah banjir oleh air mata.

Ayana merutuki nasibnya. Tak pernah menduga bahwa satu-satunya miliknya yang berharga dikoyak oleh sahabatnya sendiri. Harusnya Ayana sadar diri bahwa tidak ada pertemanan lurus antara laki-laki dan perempuan. Ia terlalu naif membaca gelagat karakter Edsel Ozkan Rainer yang terlalu berlebihan padanya dan mengaku mencintainya.

"Edsel," isaknya tersedu-sedu. Pijakan kakinya meluruh. Bersandar pada pintu lemari dengan kedua kaki menekuk rapat seolah melindungi diri.

Punggungnya bergetar hebat. Potongan adegan tiap adegan kembali terputar bak kaset rusak di atas kepalanya. Ayana sadar, jika malam itu bukan sepenuhnya salah Edsel. Tubuhnya sendiri yang merengek dan menggoda naluri kelelakian sahabatnya. Laki-laki normal mana pun tidak akan melewatkan kesempatan emas itu.

Ayana meremas rambutnya yang basah. Bahkan ada yang ikut tercabut dan menempel di telapaknya. Kekecewaan tak berkesudahan terus melanda jiwanya. Harusnya Edsel membuktikan cintanya dengan menahan diri dari nafsu primitif yang malah merusak masa depan Ayana. Sungguh, hati Ayana bagai teriris pisau belati tajam. Merasa dikhianati oleh status sahabat yang melekat erat.

"Tuhan, apa tubuhku hanya untuk dijadikan objek kesenangan saja?" lirihnya getir.

***

Suasana hati Edsel beberapa hari ini pasang surut. Bahkan penampilannya terlihat berantakan dari biasanya. Raut wajahnya mendung dan cenderung labil emosinya, membuat orang yang selalu berada di sekitarnya merasa aneh. Terkadang melamun, tetapi tiba-tiba melenguh frutrasi tanpa sebab.

"Apa kalian bertengkar?"

Edsel yang tengah tercenung di kursi usai mata kuliah terakhir menoleh tak semangat menatap laki-laki berambut spike berbalut kemeja flanel maroon.

"Hampir satu minggu ini aku tidak melihatmu berinteraksi dengan Ayana. Kenapa? Apa dia sudah mengetahui perasaan terdalam yang kamu simpan rapat-rapat, hem?" tanya Mike--teman yang cukup dekat sejak satu organisasi kemahasiswaan. Sebenarnya keduanya sudah saling mengenal sejak di sekolah menengah atas, tapi tidak terlalu dekat.

Edsel terperangah sesaat. Tak menyangka jika perasaan spesial dipersembahkan untuk Ayana terbaca oleh laki-laki kalem di depannya.

"Tidak perlu kaget begitu. Sikap yang kamu tunjukan sangat jelas. Meski sayang sekali, target terlalu polos dan tidak menyadarinya," kekeh Mike menikmati raut terkejut Edsel yang makin gelagapan.

"Aku ..." Suara Edsel kembali tertelan begitu sesorang yang menjadi bahasan muncul di ambang pintu. Untuk sesaat pandangan keduanya bertautan, tapi gadis itu lebih dulu memutus kontaknya. Ayana malah tidak jadi memasuki kelas.

Punggung Edsel merosot selaras dengan raut wajahnya yang terluka. Kerinduan yang menumpuk dalam dadanya tercerai-berai. Ayana sudah tidak sudi lagi berhubungan dengannya. Bahkan jika Edsel memaksa menemuinya di florist, Ayana mengancam akan mengundurkan diri saat itu juga. Yang bisa Edsel lakukan saat ini mengikuti ultimatum gadis yang dicintainya, karena sesuatu yang terjadi antara mereka malam itu adalah masalah yang kompleks.

Mike memahami situasi hati temannya saat ini. Ia merasa perlu memberi dukungan. "Aku rasa hubungan kalian saat ini memang perlu berjarak." Ia menjeda seaat demi melihat respons Edsel yang terlihat tidak terima, lalu kembali meneruskan, "aku rasa Ayana juga perlu ketenangan. Ingat, tidak lama lagi kita akan menghadapi sidang skripsi. Biarkan fokusnya pada sesuatu yang lebih penting selain urusan asmara," lanjutnya menasehati.

Kata-kata Mike berhasil membuat suasana hati Edsel cukup tenang. Ada benarnya. Ayana butuh waktu untuk menerima malam kelam yang merenggut sesuatu darinya. Mahkota suci yang selama ini dijaga harus terampas olehnya. Walau tak memungkiri, ada kebanggaan di relung paling dasar hatinya.

"Ya, kamu benar. Terima kasih, Mike," ucapnya tulus.

Mike tersenyum senang. "Kamu harus berpikir positif. Aku yakin Ayana pasti akan memilihmu daripada laki-laki sok jagoan fakultas teknik itu."

Edsel sangat tahu laki-laki yang dimaksud Mike.

"Padahal aku berharap, hubunganmu bisa kembali baik setelah dia pindah kampus ke sini," imbuh Mike menatap serius.

"Entahlah. Biarkan dia menikmati rasa bencinya," tukas Edsel mengendikkan bahu.

Mike menepuk-nepuk pelan pundak Edsel. "Suatu saat dia akan menyadari bahwa kamu adalah sosok sahabat yang tidak akan dia temui di lingkar pertemanannya yang sekarang. Aku yakin, dia pasti pernah merasa sepi kehilangan sahabat sepertimu. Penampilan luarnya memang liar, tapi percayalah sisi dalamnya tetap masih sama saat dulu kalian masih dekat."

Mike menahan tawa melihat Edsel tak bisa berkata-kata lagi menimpali petuahnya. Ia lekas keluar membiarkan laki-laki itu menyendiri. Edsel memutuskan untuk beranjak. Tak baik untuk kesehatan hati dan pikirannya jika trlalu larut pada apa yang telah terjadi. Membenahi buku-buku yang masih tergeletak di atas meja, lalu memasukkan dalam tas ransel.

Gerakan tangan Edsel terhenti melihat sebuah benda yang selalu dijaganya. Sebuah sapu tangan warna mustard dengan hiasan bordir ukiran nama gadis yang tersemat dalam hatinya. Seketika pikiran Edsel kembali saat terakhir kali mereka berbicara.

"Walau terpaksa, aku memang melakukannya dalam keadaan sadar. Aku tidak bermaksud mengambil keuntungan di saat kamu tidak sadarkan diri. Jujur, aku sempat dilema dan ragu, tapi rasa di dalam sini begitu kuat." tangan Edsel menekan bagian dada lebarnya . "Aku tidak bisa menahan diri lagi untuk bersikap seolah-olah kamu tidak berharga. Aku terlalu takut melihatmu menyakiti dirimu sendiri akibat pengaruh obat sialan itu. Aku pikir, dengan melakukannya, rasa sakit yang kamu rasakan akan hilang." Edsel merangkum pundak Ayana. "Percayalah, yang aku lakukan bukan semata-mata aku lemah dengan kadar nafsuku, tapi aku merasakan dorongan yang lebih besar lagi."

Keduanya terdiam sejenak. Edsel menarik satu tangan Ayana dan ditempelkan ke depan dada bidangnya. "Aku mencintaimu, Ayana. Sangat mencintaimu. Aku tahu cara yang kulakukan salah, tapi aku melakukannya penuh cinta."

Sepasang manik terang Ayana meredup. Memerah dan terasa pedih oleh kaca-kaca yang bermunculan di bola matanya. "Kalau memang benar mencintaiku, seharusnya kamu berusaha sekuat mungkin untuk menjagaku. Menahan mati-matian perasaan gila yang kamu simpan. Bukan malah menjadi perusak," tukasnya telak seraya menyusut butiran yang meluncur jatuh ke pipi.

Edsel membuang napas besar. Meremas kain di tangannya, lantas memasukkan dalam tas yang telah siap dipakai. Dengan langkah berat, ia keluar dari ruangan. Tentu saja kecamuk dalam otaknya tak bisa sepenuhnya dienyahkan.

.
.

Babang bule salah nganu gak, sih? 🤔




*Selasa, 13 Juli 2021
  EL alice

Serpihan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang