Rencana Keji

3.6K 479 13
                                    

Satu gelas minuman kemerahan dihabiskan dalam sekali teguk. Suasana bising dengan teriakan para kawula muda tak sedikitpun membuat Jovic selera berabur dengan mereka.

"Come on, Bro! Jangan diam saja. Nikmati pesta ini karena bulan depan kita akan sibuk perkara skripshit!" seru Jeno menyodorkan satu botol minuman keras untuk Jovic, tetapi laki-laki itu tidak menyambutnya sehingga Jeno meletakkan saja di atas meja.

Pendar mata Jovic terfokus pada arah pintu masuk. Menanti kedatangan seseorang. Arah pandangannya berganti ke depan ponsel yang sedang sibuk dikelola jari-jemarinya.

"Apa kamu menyediakan kamar kosong?"

Jeno yang baru saja meneguk alkohol nyaris tersedak. "Tentu saja. Kamu pikir aku hanya menyewa ruangan ini saja? Come on, aku juga paham pasti ada yang ingin menuntaskan gairahnya di sini," jawabnya sambil tertawa.

"Oke, sediakan satu kamar kosong," tukas Jovic serius.

"Well, siapa perempuan yang akan kamu seret ke dalam sana?" tanya Jeno penasaran.

"Bukan aku, tapi mereka," tandas Jovic menatap lurus pada pasangan yang baru saja tiba, lantas ia menyingkir dari hadapan Jeno.

***

Ayana terlihat sangat gugup ketika memasuki kelab malam. Tidak menyangka jika ia akan menginjakkan kakinya ke tempat tabu ini.

"Kalau kamu ragu, lebih baik kita pulang saja," ucap Edsel seolah tahu apa yang tengah Ayana rasakan.

Jemari Ayana menggenggam ponselnya. Baru saja ia membaca sebuah pesan dari Jovic yang berisi ancaman jika ia tidak menampakkan diri. Mungkin banyak yang berpikir kenapa Ayana tidak buka suara mengenai perlakuan tak senonoh yang Jovic lakukan.

Laki-laki itu memiliki koneksi yang kuat dalam ranah kampus. Selain ancaman pemutusan sepihak beasiswa Ayana, ada satu ketakutan yang paling mengerikan. Tidak tanggung-tanggung, Jovic bisa dengan mudah membuat Ayana dikeluarkan tanpa pertimbangan.

Alasan itulah yang membuat Ayana bungkam dan rela menjadi boneka kesenangan bagi Jovic. Ia juga tak mau melibatkan Edsel karena Jovic sudah mendoktrin otaknya dengan berbagai macam kecemasan dan pikiran-pikiran buruk lainnya yang akan terjadi pada sahabatnya jika mencampuri perkara mereka.

Gadis itu memilih bertahan sampai meraih gelar pendidikan yang tidak akan lama lagi.

"Ayana, hei?" Edsel menyentuh bahu gadis itu.

"Ma-maaf, Ed. Aku pikir Jeno merayakannya di rumah. Aku tidak menyangka pesta yang dimaksud di tempat seperti ini," keluh Ayana menggigit ujung kukunya.

"Seperti yang aku bilang, circle pergaulan Jeno itu terlampau bebas. Makanya aku beberapa kali memastikan keputusanmu datang ke sini."

"Ya, tapi aku benar-benar tidak menduga kalau ternyata--" Ayana terkejut saat tubuhnya didorong hingga punggungnya bersandar pada dinding. Baru saja seorang waiter lewat dengan memegang nampan berisi gelas-gelas alkohol. Kelopak mata Ayana mengerjap saat laki-laki berwajah ras kauskasoid sangat dekat memandangnya.

"Jangan takut. Selama di sini, aku tidak akan melepaskanmu," tukas Edsel menyakinkan ragu dalam diri gadis di depannya.

"Wow, suatu kehormatan mantan ketua senat teladan mau hadir di sini!" sapa Jeno tiba-tiba sudah ada di belakang tubuh Edsel. Cepat-cepat Ayana mengubah posisi agar terlihat tidak sedang macam-macam.

"Selamat ulang tahun, Jeno," ucap Ayana tulus mengulurkan tangan. Lelaki itu membalas dan tersenyum jahil.

"Pilihan yang tepat. Menolak Jovic demi mahasiswa teladan seperti Edsel," sindir Jeno membuat Ayana salah tingkah.

Edsel menjentik kening Jeno hingga si pemilik pesta mengaduh mengusap bagian yang sakit.

"Otakmu masih saja dangkal. Selalu menilai berdasarkan apa yang terlihat saja. Kalau Ayana tidak mengajak, aku juga tidak akan muncul di depanmu," decak Edsel tak suka.

Mendengar percakapan tersebut, Ayana menyenggol perut Edsel dengan sikunya hingga ekspresi meringis membuat Jeno senang karena sudah membalaskan perlakuannya.

"Jadi sekarang kalian jadian? Tidak sia-sia pendekatan yang kamu lakukan, Ed." Jeno menatap penuh arti.

"Kami datang ke sini bukan untuk diinterogasi pertanyaan konyol, tapi untuk memenuhi undanganmu," sungut Edsel ketus.

"Oke, oke, aku paham. Sori, aku terlalu terpesona dengan kehadiran kalian. Thanks, sudah mau datang. Silakan nikmati pestanya."

Ayana mengangguk sungkan. Satu tangannya melingkari lengan kokoh Edsel. Bahkan sedikit mencengkeram. Merasakan kegelisahan Ayana, akhirnya Edsel berinisiatif mencari tempat yang nyaman.

Walau hal demikian tidak akan ada di sini, paling tidak Edsel akan mencari posisi yang lebih tenang.

"Ayana, ternyata kamu datang juga!" pekik Chika antusias. Keduanya saling berpelukan. Ketika menyadari kehadiran Edsel di sisi Ayana, gadis berambut sebahu dengan balutan gaun merah itu menggodanya sehingga Ayana merasa malu dan takut Edsel salah paham pada pernyataan Chika.

"Pantas saja mau datang. Ternyata ada bodyguard tampan yang selalu siap sedia mengantar Tuan Putri ke mana saja," ledek Chika mengerling.

"Kamu sendiri datang dengan siapa?" tanya Ayana mengalihkan topik pembahasan dirinya.

"Aku datang bersama Dean."

"Dean mahasiswa fakultas teknik?"

"Iya, siapa lagi? Cuma satu Dean yang aku gilai," bisik Chika malu-malu.

Ayana menatap setengah tidak percaya. Temannya yang selalu mengoceh perihal perangai buruk Jovic nyatanya mengagumi salah satu teman dekat bad boy menyebalkan itu.

Kepala Ayana menoleh pada Edsel yang tengah berbincang dengan Dean. Cukup terpana jika Edsel mudah bergaul dengan siapa saja dan mampu mengimbangi obrolan.

Mata Ayana menyipit melihat gelas yang ada di tangan kiri Chika. "Kamu minum alkohol?"

"Cu-ma sedikit. Aku hanya menghargai jamuan yang disediakan di sini." Chika mendekati telinga Ayana. "Setelah mencoba sedikit, ternyata rasanya tidak mengecewakan. Kamu mau coba?"

Refleks Ayana menggeleng tegas. Melihat reaksinya yang berlebihan tawa Chika meluncur keras. "Maaf, aku lupa kalau temanku ini memiliki prinsip kuat," selorohnya ketika berhasil meredam tawa. "Mau aku ambilkan jus jeruk?"

"Memangnya ada di sini?" kening Ayana mengerut. Sejujurnya, tenggorokannya sudah mulai kehausan dan butuh kesegaran.

"Tunggu di sini, aku akan meminta waiter membuatkannya." Chika hendak beranjak, Ayana mengekorinya, lalu menahan lengannya.

"Aku boleh ikut?"

"Mau ke mana, Ay?" Suara Edsel menginterupsi keduanya.

Chika menatap gantian pada Ayana dan Edsel. Ia malah terkikik geli melihat respons laki-laki yang datang bersama Ayana seolah tidak mau ditinggalkan. Chika menolak tegas dan membawa Ayana duduk di salah satu kursi kosong. "Kamu tunggu saja di sini." Chika menoleh pada Edsel. "Tolong jaga temanku," titahnya sebelum berlalu.

Menunggu memanglah sesuatu yang menjemukan. Ayana makin tidak nyaman berada di dalam ruangan. "Edsel, aku pamit ke toilet, boleh?"

Laki-laki itu mengerutkan bibir. "Itu hak asasi kamu. Mana mungkin aku melarang."

Bibir Ayana mengerucut.

"Mau aku antar?" tawar Edsel.

"Tidak, kamu di sini saja. Nanti Chika kebingungan kalau kursi ini kosong. Aku juga tidak mau dia berpikiran yang tidak-tidak tentang kedekatan kita."

Binar netra Edsel meredup menatap punggung mungil Ayana yang menjauh. Denyut sakit dalam dadanya tak bisa diredam. Kata-kata yang terlontar dari mulut sahabatnya memang apa adanya, tetapi entah kenapa, rasanya sangat mengecewakan.

.

.

Cerita ini hanya tersedia versi novel cetak 📚
Harga 115.000
Minat? Silakan whatsapp 085691083305





*Kamis, 08 Juli 2021
EL alice

Serpihan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang