Lima hari sudah Ayana menjaga sang bibi di rumah sakit. Entah berapa nominal rupiah yang dikeluarkan untuk administrasi rawat inap rumah sakit swasta ternama. Ayana tak mengetahuinya karena Jovic tak mau membahasnya.
Dalam kurun waktu selama itu, Ayana tetap bertemu tatap dengan dosen untuk bimbingan terakhir. Minggu depan, jadwal sidangnya akan digelar. Cukup percaya diri karena pelan-pelan ia sudah mengerjakan di saat mahasiswa lainnya tengah mempersiapkan judul sehingga Ayana bisa lebih cepat menyelesaikan dengan tepat waktu.
Selama Bibi Riva dirawat, tak sekalipun Edsel absen menjenguknya. Setiap pulang dari kampus ia menyempatkan datang untuk memantau perkembangan sang bibi. Edsel mengetahui yang terjadi dengan Bibi Riva saat berkunjung ke toko kelontong wanita paruh baya itu dari seorang penjaga toko di sebelahnya. Walau hubungannya dengan Ayana tidak sedekat dulu, tetapi saat Edsel berinteraksi dengan Bibi Riva, sikap Ayana terlihat normal karena tidak mau menimbulkan curiga.
"Semoga bibi cepat sembuh," ucap Edsel pada wanita yang terbaring semakin membaik keadaannya.
"Bibi pasti cepat sembuh supaya melihat Ayana wisuda," jawab Bibi Riva penuh semangat menantikan momen tersebut.
"Minggu depan saja aku baru sidang, Bi," pungkas Ayana menyahut.
"Makanya bibi mau cepat-cepat sembuh, sudah tidak sabar melihatmu memakai toga wisuda," imbuhnya berseru.
Edsel tersenyum bahagia melihat interaksi wanita yang dikasihinya. Begitu pandangannya bertemu manik bening Ayana, gadis itu memutuskan kontak lebih dulu hingga menciptakan rasa nyeri di dada.
"Kalau begitu aku pamit. Bibi harus banyak istirahat. Pasti sudah rindu suasana rumah." Edsel mengelus punggung tangan kiri yang bebas dari jarum infus sebelum berlalu.
"Terima kasih. Ayana, tolong antar Nak Edsel keluar."
Mau tak mau Ayana mengekori Edsel sampai ke depan ruangan. Mulutnya kembali bungkam ketika hanya berdua saja. Perasaan tak nyaman jelas sangat mengganggu, Edsel merasa layaknya musuh yang harus dihindari. Tak ada lagi keakraban yang terjalin antara mereka.
"Mulai besok kamu tidak usah ke sini lagi," tutur Ayana tanpa menatapnya.
"Kenapa? Apa kehadiranku terlalu mengganggu?"
Kepala Ayana mengangguk sekali, menorehkan luka di dalamnya. "Selain itu, dokter juga bilang hari ini bibi boleh pulang karena kondisinya sudah jauh lebih baik," lanjutnya serius.
"Kalau begitu aku akan menunggu sampai dokter datang mengizinkan. Aku akan mengantar kalian ke rumah," saran Edsel menawarkan diri.
"Tidak perlu," sahut Ayana cepat.
"Kenapa?" balas Edsel pelan.
"Semua urusan rumah sakit Jovic yang tangani. Jadi aku--"
"Kenapa kamu jadi bergantung dengannya?" Kilau manik cokelat Edsel meredup.
"Begitulah. Bukankah aku sudah mengatakan padamu kalau rawat inap bibi di sini karena pertolongan dia?"
Denyut sakit dalam dada Edsel mati-matian diredam. Sangat jelas Ayana sudah tidak mau lagi berhubungan dengannya. "Apa dia mengancammu?" tanyanya menyelidik.
"Tidak."
"Lalu kenapa tiba-tiba dia mudah mendekatimu? Pasti ada sesuatu yang--"
"Cukup. Aku tidak mau lagi menjawab pertanyaanmu. Kamu pikir cuma kamu saja yang boleh dekat denganku?" ketus Ayana menohok.
Edsel menggeleng. "Aku hanya merasa kalau dia tidak tulus."
"Sejak kapan kamu bisa membaca pikiran orang lain? Apa kamu pikir yang terlihat berandalan akan selalu buruk perangainya? Nyatanya, aku sudah tidak percaya lagi penilaian klasik seperti itu. Aku sudah berkaca pada kejadian yang aku alami. Sahabat yang aku anggap paling baik, tidak ubahnya laki-laki pengecut yang memanfaatkan kelemahanku," geram Ayana dengan suara bergetar menahan tangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Luka
Romance[ Mature Romance 21+ ] Ketika cinta ditolak. Segala macam cara akan dilakukan untuk mendapatkannya. Sebagai bad boy yang memiliki daya tarik memukau, jelas sangat melukai harga dirinya. Ego dan kebencian yang akan menyeret seorang gadis polos nyata...